Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Melawan "pen-pen chu-i": musim ...

Film, klub-klub dansa, pakaian mesah, sudah boleh dinikmati di cina. dan orang asing tak perlu lagi takut berbicara dengan orang-orang cina kalau berkunjung ke negeri itu. (ln)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GREGORY Peck kabarnya muncul di sebuah bioskop di Peking. Apa nama film yang dibintanginya belum jelas. Tapi jelas bahwa itu terjadi di Cina di musim gugur 1978. Bukan musim gugur yang biasa. Dalam kata-kata wartawan Perancis Georges Suffert yang baru-baru ini berkunjung ke RRC dan menulis untuk majalah Le Point, inilah "musim gugurnya sebuah revolusi". Film Amerika dengan bintang Gregory Peck hanyalah salah satu petunjuk perubahan yang tengah terjadi di negeri luas itu. Di sebuah toko serba ada Peking, sesosok boneka wanita muda kini dipasang untuk memamerkan pakaian. Puluhan penduduk seperti terpukau memandanginya bahu boneka mannequin itu terlindung oleh mantel bulu. Bergerakkah Cina ke arah kehidupan dengan konsumsi mewah? Mewah sekali belum. Hanya nampaknya "kenikmatan" hidup mulai diperkenankan. Pakaian warna-warni (tak cuma celana biru dan baju putih) mulai dijual, dan lipstik mulai dipakai. Resminya untuk membeli sepeda seorang pekerja masih harus minta ijin, tapi kini makin banyak pejabat tinggi berani membeli motor buat ditempelkan ke sepeda mereka. Bahkan seorang pengusaha Barat yang kesana pernah pernah mencatat TV hitam-putih dan berwarna di toko-toko sudah laku. Dan sementara nyonya-nyonya pejabat tinggi mulai tampil di depan publik -- seperti terlihat waktu Wakil Perdana Menteri Teng Hsiao-p'ing dan rombongan berkunjung ke Jepang disertai para isteri -- pasangan pacar di taman-taman mulai nampak berpegangan tangan. Bersamaan dengan itu, Cina pun lebih terbuka. Dua pekan yang lalu misalnya apa yang belum pernah terjadi sejak 12 tahun gara-gara Repolusi kebudayaan tiba-tiba jadi berita penting: sebuah acara dansa dibuka di klub internasional Peking. Dengan karcis masuk AS$ 3, orang-orang asing boleh berdansa malam Minggu itu. Tak heran bila tamu Amerika, Jepang, Eropa, Arab, Afrika, Australia dan Rusia berjejal datang. Dituntun oleh musik walsa kuno dan blues tahun 30-an yang malu-malu, malam itu kemudian menyeret diri hingga jam 24.30 -- setelah diselingi nyanyian Elvis Presley serta musik rock dari Saurday Night Fever yang pitanya disumbangkan oleh seorang diplomat Perancis. Malam itu memang tidak dipakai orkes, "buat sementara ini," kata penyelenggara. Dan para pelayan wanita yang menyajikan bir, wishki dan fu-te-ka alias vodka Cina menolak untuk diajak berdansa. Tapi petugas Cina di klub itu menyatakan bersedia menerima kritik. Nampaknya para tamu sudah lebih dari bersukur. Satu-satunya keluhan datang dari seorang Argentina: malam itu ia belum mendengar irama tango. Tapi bagi turis yang kini membanjir datang, (dari AS saja akhir tahun ini akan mencapai 15.000), mereka sudah dengarkan suara sambutan yang benarbenar hangat. Meskipun mereka harus menghadapi keadaan tanpa AC, air es dan es batu di banyak hotel, para turis tahu mereka bukan orang asing yang aneh dan dicurigai. Bahkan pemerintah Peking bersama Intercontinental Hotel Corp. akan mendirikan hotel di kota-kota besar. Bila selesai nanti tahun 1981, RRC akan mengalahkan Jerman Barat sebagai pasaran Intercontinental. Semuanya ini buat turis. RRC sedang memerlukan devisa, dari mereka. Juga, di kalangan penduduk, orang nampak menginginkan kontak dengan orang luar, setelah sekian lama tertutup. Ini misalnya terlihat dalam mulut mereka yang mencoba bahasa asing. Orang-orang Cina kini bertambah banyak yang tak takut-takut bercakap-cakap dengan para tamu. Mereka menyapa dalam bahasa Inggeris. Mereka, agaknya, melatih diri. Hasrat belajar tercetus meluas. Seorang ahli bahasa dari Inggeris yang diminta berceramah di Wuhan di depan 400 orang, ternyata harus menghadapi lebih banyak peminat, hingga ia terpaksa berbicara lewat televisi untuk 1000 orang. Buku pelajaran bahasa Inggeris Radio Peking, terjual lebih sejuta kopi di Peking saja dalam tempo singkat. Pemerintah sendiri punya rencana besar di bidang ini. Ribuan mahasiswa ilmu dan teknologi akan dikirim ke negeri industri Barat. Mereka rata-rata belum siap karena faktor bahasa. Mungkin karena itu, seperti misalnya rencana untuk Jerman Barat, Peking menghendaki mahasiswanya dapat tinggal bersama keluarga setempat. Yang pasti kini Cina memerlukan kurang lebih 500.000 guru bahasa asing, untuk sekolah dasar. Menurut Liag Cheng-cheh, wakil ketua Kongres Nasional, pelajaran bahasa itu sebaiknya tak dimulai di sekolah menengah, sebab "akan terlambat". Semangat seperti ini disertai saran pula: setiap orang Cina yang punya pengetahuan bahasa asing supaya dikerahkan. Orang luar atau keturunan Cina yang tinggal di luar negeri juga dipersilakan datang. Untuk mengajar. Tak ayal lagi, pertengahan pertama tahun ini saja sudah ada 90 ahli luar negeri yang datang ke Cina, buat mengajar macam-macam dari ilmu fisika sampai dengan bahasa Arab. RRC memang dalam keadaan butuh ahli dan sarjana. Tenaga ilmu pengetahuan mereka sendiri masih terbatas: oleh sumber Barat diperkirakan jumlahnya hanya 1,2 juta, suatu kelompok kecil buat penduduk yang 950 juta. Bahkan menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan RRC sendiri, Prof. Chou Pei-yuan, RRC kini cuma punya 60.000 ilmiawan dan ahli mesin. Baru di tahun 1985 jumlah itu diharap mencapai 800.000. Ciutnya jumlah itu tambah dipepet oleh Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan almarhum Mao Tse-tung di tahun 1966. Dalam sebuah studi yang dilakukan di seluruh RRC dan dikomentari harian Kwangming yang terbit di Peking baru-baru ini, dapat diketahui telah terjadi suatu "kemubaziran besar" di bidang tenaga ilmiah. Dalam masa Revolusi Kebudayaan, kaum ilmiawan dan cendekiawan lain banyak yang dituduh "kanan" dan menyeleweng dari ideologi negara. Mereka pun dikirim untuk "diperbaiki" ke pabrik atau sawah-ladang sebagai pekerja. Dan sesuai dengan semangat Mao yang mengecam keahlian spesialis, pernah misalnya para ahli radar dipekerjakan di bidang pembelian babi. Keahlian mereka semula tentu saja macet. Pemerintah Peking yang kini praktis ditokohi Teng Hsiao-p'ing -- ia sendiri korban utama Revolusi Kebudayaan -- mencoba mengoreksi "kemubaziran" itu. Untuk menggiatkan penelitian ilmiah, pemerintah selama beberapa bulan terakhir menyatakan bahwa Partai Komunis akan mengendorkan kontrolnya atas lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. Hasilnya belum nampak. Yang sudah nampak baru pengendoran kontrol di sektor lain kalangan cendekiawan: di bidang seni, dan terutama sastra. Bukubuku asing, karya Hans Christian Andersen atau Shakespeare, luas dijual. Karya para sastrawan RRC sendiri, yang semula dianggap "kontra-revolusi" oleh para tokoh Revolusi Kebudayaan, mulai diterbitkan kembali. Tapi yang paling menarik tentu saja lima jilid novel sejarah Yao Hsueh-yin, Li Tzu-ch'eng. Yao mulai mengerjakan novel besarnya ini di tahun 1958. Bagian pertamanya terbit di tahun 1963. Bagian keduanya tak jadi diselesaikan. "Gerombolan Berempat", para penguasa Revolusi Kebudayaan, menghendaki agar propaganda anti-Konfusianisme yang gampangan dimasukkan dalam novel. Yao menolak. Setelah "Gerombolan Berempat" dimakzulkan, barulah keseluruhan novel tentang pemberontakan petani di masa dinasti Ming ini bisa terbit. Dan ternyata, seakan rakyat sudah merindukan bacaan yang bukan slogan, novel itu laris. Tercatat laris juga ialah lukisan tradisional, yang tiba-tiba kembali subur. Para pelukis yang selama Revolusi Kebudayaan dilarang menggambar apa saja selain gambar yang "revolusioner", kini dengan senang menjual lukisan adegan novel klasik Impian Ruang Merab atau lukisan makam dinasti Ming -- suatu pembaharuan yang segar setelah lukisan poster yang itu-itu juga bertahun-tahun . Lebih segar lagi ialah gejala surat pembaca di koran resmi Partai Komunis, Harian Rakyat. Orang kini kian banyak menyatakan fikiran serta keluhannya di sana. Koran nasional atau pun daerah bahkan kini menyatakan surat-surat yang mereka terima merupakan petunjuk penting opini rakyat. Dan jumlahnya menggelombang di Harian Rakyat saja, dari 1.500 di bulan Maret 1977 mencapai 40.000 Juni 1978. Kini 30 anggota staf redaksi dikerahkan buat membaca dan memilih surat-surat masuk. Dan konon kalau ada yang tak layak diterbitkan, staf itu ikut meneruskan keluhan yang dikemukakan ke alamat yang dituju. Ini berbeda dari dua tahun sebelumnya: Maret 1976, Komite Revolusioner yang waktu itu mengawasi Harian Rakyat menyerahkan lebih 50 surat dari pembaca . . . kepada polisi. Para penulisnya kemudian ditankap. Sementara perubahan itu berjalan pembersihan terhadap sisa-sisa pengikut "Gerombolan Berempat" di kalangan atas rupanya masih belum selesai. Bahkan pengganyangan terhadap almarhum Lm Piao --orang yang pernah disebut Mao sebagai calon penggantinya tapi kemudian dikutuknya sendiri -- belum berhenti. Yang menarik ialah, bahwa Lin Piao kini dipukul dengan tongkat baru. Kampanye "ganyang Lin" dimulai 1972. Pada mulanya adalah malam 12 September 1971, ketika sebuah pesawat jet Trident milik Angkatan Udara RRC dikabarkan jatuh di wilayah tetangga, Republik Mongolia. Kesembilan penumpangnya (dua di antaranya wanita) diketemukan mati, hancur dan tak dikenal. Di saat yang sama sebuah helikopter yang mencoba berangkat dari kampus Universitas Tsinghua di Peking, menuju ke perbatasan Mongolia, dipaksa mendarat kembali. Kecuali satu orang, semua penumpangnya bunuh diri. Cerita resmi yang kemudian diedarkan kepada para pejabat Partai ialah: Menteri Pertahanan Marsekal Lin Piao bersama isteri dan anaknya, seoran perwira Angkatan Udara, disertai sejumlah pengikut, tewas dalam kecelakaan pesawat Trident itu. Mereka mencoba mela rikan diri, setelah diketahui tiga kali gagal mencoba membunuh Ketua Mao Betulkah? Banyak hal yang belum tersingkap, dan cerita yang disiarkan masih meragukan kebenarannya. Tapi nampaknya jelas: Lin Piao dan para pengikut dekatnya telah mati, setelah kalah dalam suatu pergulatan politik di tingkat atas. Ada dugaan, bahwa pergulatan itu terjadi antara Lin yang memimpin kalangan militer dengan Perdana Menteri Chou En-lai yang mempunyai dukungan di kalangan Partai serta birokrasi. Yang menang dengan demikian Chou. Tapi lebih tragis lagi bagi Lin Piao ialah bahwa ia sendiri seakan dikhianati sang Ketua, dan dibiarkan oleh kawan-kawannya yang lima tahun sebelumnya bersama-sama menggerakkan Revolusi Kebudayaan. Lin Piao-lah yang mengobarkan pemujaan kepada pribadi Mao Tse-tung kalangan Pengawal Merah, pada saat sang Ketua membutuhkannya untuk menghadapi musuh-musuh politiknya yang kuat bertahan dalam Partai, antara lain Presiden Liu Shao-chi dan Teng Hsiao-ping. Lin Piao-lah, melalui aparat tentara, yang mencetak "Buku Merah Kecil" berisikan kutipan-kutipan ucapan Ketua Mao, yang dibawa para pemuda Pengawal Merah bagaikan kitab suci. Dia juga yang mengumandangkan bahwa "sang Ketua adalah jenius revolusi dunia". Dan Lin pula yang mula-mula mempersilakan isteri Mao, Chiang Ching, untuk tampil sebagai juru bicara sang Ketua di bidang kebudayaan. Tapi lima tahun setelah disebut Mao sebagai "calon pengganti"nya, ia rupanya jatuh merk. Awal Juni 1971 namanya tak boleh disebut-sebut lagi dalam ucapan selamat yang disampaikan ke pimpinan RRC. Sebelumnya bahkan Chiang Ch'ing sengaja mengedarkan potret Lin Piao dalam keadaan tanpa topi -- dan dengan demikian tampak kepala botaknya, suatu rahasia yang konon dicoba sembunyikan oleh orangnya sendiri. Dan setahun setelah ia dikabarkan tewas dalam pesawat Trident itu, Chiang Ch'ing dan teman-temannya dan juga Mao sendiri, menggerakkan kampanye menghabisi sisa-sisa reputasinya: Lin Piao, pemimpin Tentara Merah yang termashur semasa perang gerilya itu, dikutuk berbareng dengan Kong Hu-cu. Apa dasar kutukan tersebut belum jelas benar. Nampaknya, ia hanya dijadikan "setan" bersama oleh pelbagai kelompok dalam lapisan penguasa. Tapi kini, setelah Chiang Ch'ing dan "Gerombolan Berempat"nya tersingkir dan diganyang, kutukan kepada almarhum Lin Piao nampak mencerminkan suatu perubahan pemikiran yang lebih mendasar. Lin Piao dianggap sebagai pelopor pemujaan buta kepada kata-kata Mao Tse percaya kepada tiap perubahan terakhir garis resmi. Ucapan yang serupa bergema juga di harian K1Dangmin. Lin Piao dan kaum radikal, kata koran ini, telah memperlakukan Marxisme-Leninisme dan pemikiran Mao dengan sikap ketaatan agama. Itu berarti mengubah ilmu menjadi theologi. Akibatnya adalah kebrutalan, kegelapan dan teror seperti di zaman lampau. De-Mao-isasi? Mungkin tidak sekeras itu. Tapi dewasa ini jelas RRC sedang mencoba mengakhiri sikap yang disebut oleh seorang jenderal di Kanton sebagai pen-pen-chu-i -- yang kurang-lebih berarti ketaatan secara harfiah kepada tiap kata dan kalimat Mao. Bahkan suatu koreksi terhadap pemikiran sang Ketua secara setengah tersembunyi ditampilkan. Seorang tokoh partai di wilayah Liaoning, Jen Chung-yi, baru-baru ini misalnya mengatakan: "Seandainya Ketua Mao masih hidup sekarang, kami yakin ia tak akan mengulangi ucapan yang pernah dikatakannya sebelumnya." Andaikata Mao masih hidup sekarang, mungkin ia tetap akan melabrak jalan yang kini ditempuh Teng Hsiaoping -- musuh lamanya itu -- sebagai "jalan kapitalis". Tapi jika 12 tahun yang lalu ia masih bisa melancarkan Revolusi Kebudayaan untuk mencegah "jalan kapitalis" itu, kini, dalam kubur, tak banyak yang dapat dilakukannya. Orang yang kemudian ia pilih sebagai pengganti, Ketua Hua Kuo-feng, belum jelas pendirian serta kekuatannya dalam menghadapi Teng. Jandanya yang bersemangat, Chiang Ch'ing, kini mungkin berada dalam tahanan, dan kabarnya menderita kanker dada. Para pengikutnya yang doktriner dari masa Revolusi Kebudayaan di mana-mana dicopot. Tapi siapa tahu. Hasrat modernisasi dan sikap pragmatis, yang kini sedang dipraktekkan di daratan Cina -- seperti di mana juga -- bisa menimbulkan ekses atau dianggap berlebihan. Pengaruh asing, ketergantungan kepada bantuan luar, perbedaan sosial-ekonomi yang akan terlihat, bisa saja menimbulkan radikalisme baru. Sejarah Cina modern penuh dengan contoh. Maoisme bisa kembali. Pasang surutnya siapa bisa menduga?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus