Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qana mencekam. Sehari setelah pengeboman mengerikan, tak terlihat warga lokal di desa itu. Yang tampak hanya wartawan atau orang-orang Tyre, warga desa tetangganya di Libanon Selatan. Selebihnya, sebuah panorama menco-rong: reruntuhan bangunan-bangunan yang berserakan dan menjadi satu de-ngan debu. Ada yang rompal sebagian, ada yang rebah sama sekali.
”Kami hanya bertemu dengan tiga warga lokal,” cerita Nadim Houry, pe-neliti dari lembaga pemantau hak asasi manusia Human Right Watch ketika dihubungi Tempo pekan lalu.
Ya, mereka telah angkat kaki dari sana. Sebagian besar berjubel di suatu rumah sakit di Tyre. Seorang petani yang berusia 51 tahun membuka cerita: dia lagi berada di pintu rumah tetangganya ketika bom jatuh pertama kali sekitar pukul 1 dini hari.
Getaran bom membuatnya terhempas dari rumah yang sesak dan dihuni dua keluarga itu. Bangkit, dia pun mencoba meraih orang-orang yang bisa dia jangkau untuk diselamatkan. Namun, lima menit kemudian, bom kedua meledak di sisi lain bangunan. ”Saya tidak bisa apa-apa. Yang terlihat hanya asap. Saya tidak bisa bernapas. Saya lari,” ujar pria itu, seperti ditirukan Nadim.
”Setelah serangan kedua, tak seorang pun di dalam gedung itu selamat,” kata Nadim. Hingga kini, rumah sang pria masih tegak, tapi rumah tetangga-nya yang berlantai tiga runtuh, tinggal -puing-puing. Di lantai dasar, tempat dua keluarga besar itu bersembunyi, ajal menjemput mereka.
Serangan ke bangunan berlantai tiga tersebut bukan satu-satunya serangan di pagi buta itu. Israel masih terus membombardir Qana. Bahkan ambulans pertama baru bisa datang sekitar pukul 7 pagi. Itu pun setelah melesat melewati jalan berliku, menghindari bom-bom Israel yang terus menghujani kawasan sekitar, termasuk jalan-jalan menuju Qana. Proses pencarian korban terhambat, sesekali harus berhenti, karena serangan yang tak berakhir itu.
Inilah tragedi kedua yang menimpa Qana. Sepuluh tahun silam, kejadian serupa terjadi—aktor dan tujuan serangan masih sama seperti sekarang. Artileri Israel menghujani markas PBB yang menjadi tempat penampungan 800 peng-ungsi Libanon. Saat itu, 106 warga si-pil tewas. Serangan itu merupakan upaya Israel untuk menghukum Hizbullah karena terus melakukan serangan ke tanah Israel.
Kini Palang Merah Libanon menya-takan: 56 orang tewas dalam serang-an di Qana, termasuk 34 di antaranya adalah anak-anak.
Libanon berteriak. Dalam pidato di stasiun televisi, Perdana Menteri Libanon Fouad Siniora menuduh Israel melakukan kejahatan perang dan membatalkan pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice. ”Kami menyeru kepada rakyat Libanon dan saudara-saudara bangsa Arab lainnya, juga seluruh dunia, untuk bersatu menghadapi penjahat perang Israel,” ujarnya.
Di Beirut, jendela-jendela kantor PBB dilempari dan lobinya dikuasai demonstran. Ribuan warga juga berkumpul- di lapangan terbuka, protes. Di Pa-ris, se-perti dikutip AP, kantor Presiden Prancis Jacques Chirac menyatakan kecamannya atas tindakan sewenang-wenang ini yang menunjukkan perlu-nya gencatan senjata segera. Diharapkan semua ini berakhir tanpa mengulang tragedi yang sama: jatuhnya puluhan korban sipil . Dari Amman, Raja Yordania Abdullah II juga mengutuk dan menyebut tindakan Israel pelanggaran hukum dan semua konvensi internasional.
Respons membingungkan muncul da-ri Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa langsung mengadakan sidang darurat. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan kembali menyeru gencatan senjata sepenuhnya, namun Amerika Serikat dan Inggris masih menentangnya.
Sementara itu, Israel menyatakan kese-dihannya atas kematian warga sipil. Na-mun, militer Israel menyatakan Qana te-lah menjadi target karena Hizbullah meng-gunakannya sebagai tempat pe-lun-curan roket ke Israel. ”Ada serang-an datang dari sana sebelum serangan udara. Kami tak tahu ada warga sipil di lantai dasar gedung itu,” ujar seorang juru bicara Angkatan Bersenjata Is-rael se-perti dikutip The Guardian. Bom yang di-gunakan untuk menyerang Qana ada-lah jenis bom kendali yang pekan sebelumnya telah menghancurkan kantor PBB di Khiyam. Empat pengamat PBB te-was ketika itu.
Israel kemudian menghentikan se-rangan sementara seraya memberikan- waktu 48 jam untuk investigasi membongkar kasus itu. ”Serangan ini me-rupakan ke-salahan dan kami akan me-lakukan in-vestigasi,” ujar juru bicara pe-merintah -Is-rael, Miri Eisen, kepada CNN.
Tapi Nadim yang lantas men-da-tangi dan menyidik Qana mengaku tidak me-ne-mukan bukti, baik keberadaan pasuk-an Hizbullah ataupun senjata atau sisa-sisa senjata milik kelompok itu. Petani yang ditemui Nadim di rumah sakit juga bersumpah tidak melihat tanda-tanda be-kas Hizbullah di lantai dasar. ”Is-rael telah melakukan kesalahan dalam serangan ini,” ujarnya.
Di mata Nadim, Israel telah melanggar hukum kemanusiaan internasional dan Konvensi Jenewa karena menyerang target-target sipil sejak 12 Juli lalu, ter-masuk serangan ke Qana. Dalam skala berbeda, ia juga mengakui bahwa Hiz-bul-lah juga melakukan hal yang sama.
”Dilarang dalam situasi apa pun untuk melakukan serangan langsung ke war-ga sipil. Kalau itu dilakukan dengan se-ngaja, itu adalah kejahatan perang,” de-mi-kian sikap Human Rights Watch se-per-ti ditulis di situsnya. Demikian juga ka-lau mengenai sasaran-sasaran sipil.
Israel sebagai negara seharusnya ber-ha-dapan dengan Hizbullah yang sudah dianggap kombatan (pasukan tempur), bu-kan warga sipil. ”Jadi, jangan hajar tar-get-target nontempur,” ujar Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Ke-wi-layahan Departemen Luar Negeri Indonesia, Arif Havas Oegroseno. Seperti halnya Nadim, Oegroseno pun yakin: ”Israel dengan sengaja menyerang target-target sipil, bahkan ada perempuan dan anak-anak.”
Sejumlah hukum internasional telah dilanggar dan mengakibatkan korban sipil luar biasa banyak. Tak ada jalan lain kecuali mendesak Dewan Keamanan berbuat sesuatu. Ini, katanya, ”Ha-rus ditanggapi dengan sanksi Dewan Keamanan yang kuat.”
Namun, Dewan Keamanan belum bertindak, Israel belum juga berhenti me-nye-rang target-target sipil. Dengan mudah orang bisa menebak: ada kepentingan yang dianggap lebih utama dari kemanusiaan. Apa boleh buat, sosok seperti Nadim hanya bisa mendesak PBB untuk segera mengirim tim pencari fakta.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo