Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAGAM isi toko kelontong di Keude (Pasar) Peunayong, Banda Aceh, tak akan bisa menandingi isi gudang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Itu bila impornya dilakukan sehebat izin yang diberikan pemerintah. Sebut saja: kikir kuku, kunci Inggris, tank dan kendaraan tempur lapis baja—boleh dilengkapi senjata. Atau yacht dan kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kereta bayi, bahkan mesin pemerah susu.
Inilah sebagian barang bekas—di antara deretan truk dan perkakas rehabilitasi—yang izin impornya diperoleh BRR. Adapun 190 jenis barang bekas itu tercantum dalam lampiran surat keputusan bersama Menteri Perdagangan dan Perindustrian perihal izin impor untuk keperluan rehabilitasi pascatsunami di Aceh dan Nias.
Surat yang ditandatangani pada 3 Ja-nuari 2004—sepekan setelah bencana tsunami—itu habis masa berlakunya awal tahun ini. Setelah diperpanjang Juli kemarin hingga 2009, salinannya beredar di pers pekan lalu. Lalu ramai-lah suara protes. Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris sama merasa kecolong-an. Keduanya tak tahu apa-apa tentang lampiran susulan yang memuat tank dan kereta bayi.
Kesalahan ada di administrasi, yakni penggunaan pos tarif Harmonized System (HS). Ini nomor klasifikasi barang empat digit di perdagangan internasio-nal. Nomor pos tarif yang tertera di lampiran itu terlalu luas kelompoknya, se-olah-olah barang yang terdaftar bakal langsung diimpor. Padahal, belum tentu barang itu yang dimaksud. ”Tak ada aturan pos tarif dalam lampiran ha-rus empat atau sepuluh digit,” Direktur Perdagangan Impor Luar Negeri, Alberth Yusuf Tubogu, beralasan.
Menteri Perdagangan Mari Pangestu- tak menilainya sebagai kelalaian. Pasal-nya, daftar pos tarif sejak dulu tak ber-ubah. Surat itu diterbitkan untuk mempermudah BRR mengakses barang demi rekonstruksi Aceh dan Nias. ”Ada salah pengertian,” katanya. ”HS terlalu luas, sampai reaktor nuklir masuk.” Mari lalu berjanji merevisi lampiran dengan daftar yang lebih terperinci.
Untung, pengertiannya cepat diluruskan. Pos tarif yang demikian longgar memberi celah pihak nakal jadi penumpang gelap. ”Ini modus lama,” kata pejabat industri transportasi kepada Tempo. ”Ibu Mari harus hati-hati karena dari bawah sering ada titipan.”
Soal lain, pos tarif tak menjelaskan mengapa BRR diberi izin mengimpor remeh-temeh macam kikir dan gergaji ta-ngan bekas. Sebelum dirampingkan Mari, daftar 190 jenis barang itu berjumlah lebih dari seribu. Datanya sen-diri berasal dari permintaan instansi pemerintah saat jenazah korban bencana masih menumpuk. Saat itu BRR belum terbentuk. Tapi daftar itu kemudian bergulir panjang di sejumlah instansi. Tak ketahuan lagi siapa memasukkan apa. ”Saya tak tahu bagaimana kikir bisa masuk,” Alberth mengelak.
Sekretaris Jenderal BRR, T. Kamaruzzaman, mengatakan, BRR tak pernah meminta barang secara spesifik. Kebutuhan utama BRR berkisar pada alat-alat berat seperti ekskavator, buldoser, pengeruk tanah, tongkang, atau truk pengangkut. ”Speknya terserah departemen teknis,” katanya.
Tak perlu khawatir, kata pemerintah. Surat itu dibekali sejumlah aturan untuk membentengi penyelewengan, misalnya perusahaan pengimpor harus rekanan BRR, dan barang yang diimpor tak boleh diperjualbelikan. Tak bisa juga berope-rasi ke luar wilayah Aceh dan Nias. Impor tak bisa dilakukan tanpa evaluasi Departemen Perindustrian. ”Kalau tak berkaitan dengan rehabilitasi, kami tolak,” kata Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Tapi, kalau kereta bayi pun masuk dalam daftar, siapa yang bisa menjamin suatu saat tak bakal berakhir di toko kelontong Keude Penayong?
Kurie Suditomo, R.R. Ariyani, Ferry Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo