Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Baru Sebatas Rangkulan

Bekas milisi dan gerilyawan GAM berdamai di Aceh Tengah. Harus dibawa ke komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI itu bergerak maju-mundur. Kakinya mengentak ke tanah, langkahnya patah-patah. Kain hitam ber-sulam benang cerah dikepak se-perti sayap elang. Dia sedang menari Guel, tarian khas Gayo. Syairnya yang mu-ram itu menyambut tetamu yang tiba di pekarangan Masjid Babussalam, Re-de-long, Kabupaten Bener Meriah, bekas -wi-layah Aceh Tengah, Jumat pekan lalu.

Sejak pagi, warga Bener Meriah mulai mengalir ke masjid itu. Mereka- ter-gabung dalam Front Perlawanan- Se-paratis. Dulu, kelompok ini getol mem-buru gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka memakai bambu runcing dan kelewang tajam. Kadang menenteng senjata rakitan. Tak lupa, ikat kepala merah-putih. ”Kami membela Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Misriadi, kerap dipanggil Adijan. Dia tokoh front di Bener Meriah.

Orang-orang menyebutnya milisi, tapi mereka lebih suka dipanggil Pembela Tanah Air (Peta). Dan hari itu mereka menanti para bekas gerilyawan GAM tiba. Dua kubu itu dulu seperti kucing dan tikus. Untunglah, kini tak ada bambu runcing, apalagi senjata api. Di pekarangan, 3.000 orang menyemut. Panitia menyiapkan santap siang. Tiga sapi jantan rebah di kuali.

Menjelang tengah hari, di gerbang masjid, 200 sepeda motor menderum. Suaranya menggetarkan. Rombongan bekas gerilyawan tiba, dipimpin Pang-lima GAM Linge Fauzan Azima, lelaki gempal dan berkulit cerah. Acara pokok pun dimulai. ”Kami islah, kami berdamai,” ujar Fauzan. Dia tertawa renyah.

Hari itu, semua pertikaian dikubur. Di teras masjid, Misriadi dan Fauzan maju ke mimbar. Mereka membaca ”Musara Pakat Redelong 28 Juli”. Lima butir perjanjian damai diteken dua kubu. Isi-nya, kedua kelompok akan mendukung pemerintahan Aceh yang demokratis, taat kepada perjanjian damai GAM dan RI di Helsinki, tidak saling curiga, dan saling bahu-membahu. Terakhir, siapa melanggar akan dihukum secara adat maupun hukum nasional.

Semua yang hadir tampak lega, termasuk pula tamu penting seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar, Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Supiadin A.S., Wakil Kepala Polda Aceh Brigjen Rismawan, dan pejabat setempat.

Isi ”Ikrar Redelong” itu sejalan dengan butir kesepakatan damai di Helsinki. Fauzan berharap semua perselisihan sebelumnya di Bener Meriah dan Aceh Tengah dihilangkan. ”Ini wujud reintegrasi,” ujar Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Bener Meriah itu. Komite itu adalah wadah baru bekas serdadu GAM setelah perdamaian.

Benar Meriah adalah benteng front Pembela Tanah Air. Saat konflik dulu, bendera Merah Putih berkibar di tiap sudut kampung. Sesekali pecah konflik senjata dengan GAM. Kadang, situasi di daerah penghasil kopi terbesar di Aceh itu sangat mencekam. Operasi memburu gerilyawan dilakukan sampai ke hutan.

Sebelum perjanjian Helsinki, usaha da-mai Aceh pernah dirintis oleh Henry Dunant Center, lembaga berbasis di Swiss. Tapi usaha itu justru gagal di dae-rah ini. Dari Bener Meriah, sekelompok warga pro-Merah Putih menyerbu kantor Join Security Council (JSC) di Take-ngon pada 2003. Kantor itu tutup, dan ak-si yang sama menular di berbagai tem-pat. Lalu, operasi militer pun dimulai.

Maka, bagi Fauzan, ikrar Redelong membawa kepastian. ”Agar damai terjaga,” ujarnya. Selama ini, gesekan antara dua kubu riskan terjadi. Misriadi berpendapat serupa. Kata dia, tak semua warga mengerti perjanjian Helsinki. Saling curiga masih menyala. Karena itu, agar terhindar dari salah paham, acara damai pun digelar. ”Peta dan GAM harus saling berangkulan,” ujar Misriadi.

Tapi, damai model Redelong belum me-nular ke daerah lain. Di Aceh Utara, misalnya. Di sana, hubungan antara be-kas gerilyawan dan front masih di-ngin. Saling ledek berbuntut ricuh kerap terja-di. ”Saya sudah minta pemda agar meng-upayakan damai seperti di Redelong,” ujar Satria Insan Kamil, bekas Ke-tua Benteng Rakyat Anti-Separatis (Be-rantas). Organisasi itu kini bersalin ru-pa menjadi Beurata (Benteng Rakyat Aceh).

Karena baru bersifat lokal, Ketua Front Perlawanan Separatis GAM selu-ruh Aceh, Sofyan Ali alias Yan P.T., agak gusar. Dia minta pemerintah daerah mengupayakan islah yang sama. Tokoh front harus dipertemukan dengan pe-tinggi GAM. ”Itu jalan terbaik,” ujar Sof-yan.

Di Banda Aceh, suara petinggi GAM pun kedengaran lebih bijak. ”Damai itu bagus. Tapi, jangan lupakan penyelesaian politik,” ujar Irwandi Yusuf, perwakilan senior GAM di Aceh Monitoring Mission. Dia berharap penyelesaian konflik itu ditempuh lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang segera dibentuk di Aceh, sesuai dengan perjanjian Helsinki.

Nezar Patria, Imran M.A. (Lhok Seumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus