Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menabur Mimpi di Musim Panas

Pemerintahan transisi Irak terbentuk tanpa aral. Pengadilan Saddam dan pemilihan umum menjadi komoditas politik utama. Rakyat lebih rindu keamanan.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada pagi yang masih ranum, di pojok Bagdad, Sabtu lalu, sebuah minibus meledak dan terbakar. Tak ada korban jiwa, tak ada pelaku, juga saksi mata. Hanya patung Al-Wathiq—yang tegak berdiri angkuh di perempatan jalan—yang menjadi korbannya. Kini patung penyair pada zaman Dinasti Abbassiyah itu tak lagi berlengan, terimbas ledakan. Pagi di musim panas seperti ini di Bagdad tak banyak yang sudah beringsut dari ranjang.

Lewat jendela kaca tempat TEMPO menginap, yang tak lebih dari 100 meter dari patung nahas itu, tak tampak ada denyut keterkejutan orang ramai. Suasana masih saja singup. Polisi Irak yang merapat ke lokasi sepuluh menit kemudian tak juga segera mendapatkan kepastian muasal peristiwa.

Pada saat yang hampir bersamaan, Hotel Sheraton pun dihunjam rudal kawanan tak dikenal. Ledakan-ledakan itu terjadi sehari setelah gambar pengadilan Saddam Hussein ditayangkan. Peristiwa pagi itu memberikan sedikit gambaran, agaknya ketenteraman yang diimpikan pasca-serah terima pemerintahan di Irak masih jauh dari harapan. Dan masuk akal jika pemilihan umum nanti masih akan diliputi kecemasan.

Serah terima kekuasaan dari tentara pendudukan koalisi kepada Perdana Menteri Iyad Allawi dan Presiden Ghazi al-Yawer pada Senin pekan lalu berlangsung begitu sempurna, dan tak terduga. Dijadwalkan semula 30 Juni 2004, tiba-tiba prosesi dimajukan dua hari. ”Ini mengantisipasi serangan teroris-teroris yang berencana mengacaukan peralihan kekuasaan,” kata Iyad Allawi.

Bukan hanya hari pelantikan perdana menteri dan presiden yang dirahasiakan. Bahkan tempatnya pun dirahasiakan. Undangan dibatasi hanya untuk kalangan kabinet dan bekas anggota pemerintahan transisi sebelumnya. Jurnalis yang diberi kesempatan meliput ke ruang pelantikan juga dipilih. TEMPO merasa beruntung termasuk dalam lima kuota jurnalis asing, selain 20 jurnalis lokal. Satu unit bus disiapkan khusus guna mengangkut kami ke tempat tujuan.

Di mimbar pelantikan—yang dihiasi 13 bendera Irak, sebagai simbol 13 provinsi—tak henti-hentinya Iyad Allawi mengumbar senyum. Sesekali dia melambaikan tangan. Wajahnya tampak cerah, ringan serasa tanpa beban. Tapi orang yang melihatnya tahu, kini di pundaknya, seluruh hajat hidup rakyat Irak—dengan segala petaka dan harapan—dititipkan.

Berbeda dengan yang terjadi di dalam auditorium gedung, di jalanan rakyat kebanyakan seperti tidak hirau akan pelantikan perdana menteri dan presiden. Suasana perdagangan di pasar rakyat di Simpang Tahreer, misalnya, tetap seperti biasanya. ”Wah, saya tidak tahu-menahu soal pelantikan. Pokoknya, saya mau hidup tenteram tanpa perang,” kata Jabbar Yusuf, pedagang kelontong. Dia sudah tak peduli lagi negerinya punya pemerintahan atau tidak.

Lain lagi Ali Karam, mahasiswa Universitas Bagdad yang terus ikut mencermati perkembangan pemberitaan. Baginya, serah terima kekuasaan ini semu belaka. ”Yang terjadi lebih mirip transfer administrasi, bukannya penyerahan kedaulatan,” katanya sengit. Peristiwa penting ini diduga tak akan banyak mengubah situasi negerinya. Toh, serdadu koalisi masih bertahan di Irak sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Bahkan tak satu pun bangunan pemerintah yang dijadikan markas serdadu koalisi dikembalikan ke pemerintahan transisi. Istana Saddam di Karrada Maryam, misalnya, masih dijaga ketat.

Di sudut-sudut kota, sepekan kemarin, juga tak tampak adanya persiapan khusus menyambut ”perayaan kemerdekaan”. Toko dan rumah makan di sepanjang jalan Saadoon, Karrada Dalam, Bab Al-Muadham, dan juga Batawin buka dengan aktivitas seperti biasa. Seolah tak ada bedanya lagi apakah mereka masih di bawah pasukan koalisi atau sudah punya presiden baru. Tak satu pun rumah penduduk yang tampak proaktif memasang bendera Irak. Tak terdengar toko kaset yang memutar lagu-lagu perjuangan—seperti yang mereka lakukan saat Saddam belum jatuh.

Namun, bagaimanapun suasana dan reaksi yang ada, serah terima kedaulatan tetap bisa dicatat sebagai sejarah baru Irak. Kebijakan memilih Allawi banyak dinilai sebagai hal yang jitu. Penganut Syiah ini bukanlah politisi karbitan. Sekitar 20 tahun lalu, ia tergolong tokoh penting di Partai Baath pimpinan Saddam Hussein. Karena tak sepaham dengan sepak terjang Saddam, sekaligus menghindar dari kekejamannya, Allawi menyingkir ke Eropa. ”Dia orang yang tahu bagaimana harus mengatur negeri ini,” kata Ahmed Mukhtar, guru bahasa Inggris di Universitas Bagdad.

Perdana Menteri Iyad Allawi baru merilis pidato politiknya sehari setelah pelantikan. ”Saddam akan segera diadili,” begitu katanya. Bagi Abbas Masoudi, pengusaha ekspor-impor di Bagdad, agenda pertama yang dilakukan pemerintah Allawi ini adalah strategi menarik simpati rakyat sebelum melaksanakan tugas berat, yaitu menyelenggarakan pemilihan umum sebelum akhir Januari 2005.

Memang prestasi pertama yang diraih Allawi setelah menduduki jabatan Perdana Menteri Irak cukup menjanjikan, yakni transfer dokumen dan tahanan perang Saddam Hussein. Bersama Saddam, bakal diadili pula 11 tahanan lain yang tergolong kroni diktator Irak itu. Dari tawanan perang, kini status mereka sudah berubah menjadi tahanan kriminal di bawah otoritas Kementerian Kehakiman Irak.

Sumber TEMPO menangkap isyarat lain. Rencana pengadilan Saddam lebih digunakan untuk membaca situasi politik ”terkini” bagi pemerintah baru Irak. ”Allawi bisa mengukur siapa dan di mana saja kekuatan pro-Saddam masih berpengaruh,” kata sumber tadi. Selain itu, pemerintahan transisi berharap bisa mengoleksi simpati dari kelompok-kelompok anti-Saddam, yang ditengarai jumlahnya jauh lebih banyak tapi tidak terkoordinasi.

Di Irak kini, masalah keamanan datang seperti ombak. Menggulung dan tak habis-habisnya. Sedangkan tentara dan polisi Irak masih juga belum sepenuhnya siap. Patroli polisi di sudut jalan Simpang Kahramana, misalnya, belum semuanya menenteng senjata. Dari lima personel, hanya kepala regu dan seorang anak buahnya yang menggenggam pistol. ”Kami siap mati menangkap para teroris dan pengebom,” kata Letnan Polisi Malek.

Jalanan di Bagdad tampak dipenuhi aparat kepolisian. Sedangkan aparat militer Irak lebih berkonsentrasi di jalan-jalan penghubung antarkota. Tapi mereka tidak bisa berpatroli sendirian. Dalam patroli keamanan yang TEMPO lihat di kawasan Mustansirya, di barat Bagdad, misalnya, satu jip tentara Irak diiringi humvre pasukan koalisi. ”Kami tetap menaruh serdadu-serdadu terbaik untuk menemani mereka,” kata juru bicara pasukan koalisi, Brigadir Jenderal Mark Kimmitt.

Semangat baja dan siap berkorban yang dimiliki polisi dan tentara Irak ini sangat dipuji Letnan Jenderal Ricardo Sanchez, komandan pasukan koalisi. ”Mereka punya semangat tempur tinggi, bahkan rela berkorban nyawa,” katanya kepada TEMPO. Menurut dia, semangat itu penting dimiliki sebagai modal utama melawan teroris di Irak.

Letjen Sanchez, yang namanya sempat dikait-kaitkan dengan pelecehan tahanan di Abu Ghuraib, kini sudah tak lagi menjabat komandan pasukan koalisi. Seiring dengan serah terima kekuasaan, terjadi pula pergantian komandan pasukan Kamis lalu. Letjen Sanchez digantikan Jenderal George Casey. Mereka kini sepenuhnya harus berkoordinasi dengan Duta Besar Amerika di Irak, John D. Negroponte.

Menurut Sanchez, proses peralihan kekuasaan Irak memang membutuhkan waktu lama. ”Tidak bisa sekejap seperti halnya menyerahkan berkas,” katanya. Sebagai kelanjutannya, perlu diatur manajemen aparat keamanan dan kepolisian. Kimmitt menambahkan dengan merujuk pidato Perdana Menteri Allawi atas legitimasi keberadaan serdadunya. ”Perdana Menteri sendiri yang meminta kami bertahan untuk membantu menangkap teroris dan membenahi aparat keamanan,” kata Kimmitt.

Perhelatan serah terima komandan pasukan koalisi itu dilangsungkan di bekas istana Saddam di kawasan Al-Faw, tak jauh dari Bagdad Internasional Airport, kawasan barat Bagdad. Bangunan megah bertingkat tiga yang dikelilingi danau buatan itu kini dijadikan Kamp Kemenangan. Keamanan menuju kamp tampak berlapis-lapis sehingga mustahil bisa ditembus lawan. Menurut informasi yang berkembang, di kawasan inilah Saddam dan kroninya ditahan.

Kini semua menanti gebrakan baru yang bakal ditempuh Perdana Menteri Allawi dan Presiden Yawer. Apakah kebijakannya akan efektif untuk bisa membangun Irak baru dan mendapat dukungan dari rakyat? Semuanya bergantung pada situasi yang berkembang. Soalnya, kedua pemimpin transisi itu—karena situasi keamanan—mengendalikan pemerintahan dari ”tempat persembunyian”. Kesenjangan komunikasi antara pemimpin dan rakyat diperkirakan akan menjadi hambatan yang tidak kecil.

Rommy Fibri (Bagdad)


Dari Agresi Menuju Berdaulat

20 Maret 2003
Sekitar pukul 02.30 GMT (sekitar 9.30 WIB), tak lama setelah 48 jam tenggat bagi Saddam Hussein untuk mundur berakhir, Amerika melancarkan invasinya ke Bagdad.

9 April
Marinir Amerika membantu rakyat Irak menjatuhkan patung raksasa Saddam Hussein di Bagdad. Wakil Presiden Amerika, Dick Cheney, menyatakan rezim Irak telah jatuh.

15 April
Pertemuan politik pertama yang melibatkan berbagai kelompok Irak di pangkalan udara di luar Nassiriyah. Kelompok Syiah melakukan tindakan boikot.

18 April
Puluhan ribu orang berdemonstrasi di Bagdad menentang pendudukan Amerika.

21 April
Pensiunan jenderal Amerika, Jay Garner, tiba di Bagdad sebagai penguasa administrasi sipil pasca-perang di Irak.

24 April
Sekjen PBB Kofi Annan menyeru kepada pasukan multinasional pimpinan Amerika supaya menghormati hukum internasional sebagai kekuatan pendudukan di Irak.

25 April
Mantan Deputi Perdana Menteri Irak, Tariq Aziz, menyerahkan diri kepada pasukan Amerika.

9 Mei
Amerika dan Inggris merancang cetak biru Irak pasca-perang, menyebut diri sebagai ”kekuatan pendudukan” dan mendapatkan kontrol atas pendapatan dari minyak Irak.

12 Mei
Kepala pemerintahan interim pimpinan Amerika, Paul Bremer, tiba di Bagdad.

22 Mei
Dewan Keamanan PBB melakukan voting, 14-0 untuk membatalkan sanksi ekonomi ke Irak dan menyerahkan kekuasaan sementara ke Amerika dan Inggris.

13 Juli
Dewan Pemerintahan Irak (IGC) melakukan pertemuan pertama.

22 Juli
Uday dan Qusay, anak-anak Saddam, tewas dalam baku tembak.

28 Juli
Tony Blair dan menteri-menteri Inggris lain diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) oleh pengacara Yunani, dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pelaksanaan perang terhadap Irak.

19 Agustus
Bom truk menghancurkan fasilitas kemanusiaan internasional dan menghancurkan sebagian kantor PBB, menewaskan Kepala Misi PBB di Irak, Sergio Vieira de Mello.

29 Agustus
Ayatollah Mohammed Baqir al-Hakim, pemimpin Syiah, tewas dalam serangan bom mobil di Najaf.

2 Oktober
Kepala Tim Inspeksi Senjata Amerika, David Kay, yang bertugas memimpin pencarian senjata pemusnah massal Saddam, mengakui tak ada stok senjata kimia yang ditemukan.

18 September
Mantan Ketua Inspektur Senjata PBB, Hans Blix, menyatakan dia yakin Irak telah menghancurkan kebanyakan senjata pemusnah massalnya 10 tahun lalu.

10 Desember
Pentagon mengeluarkan negara-negara penentang invasi dari proses tender kontrak rekonstruksi di Irak.

13 Desember
Saddam Hussein ditemukan di lubang persembunyiannya di dekat Tikrit.

1 Maret 2004
Dewan Pemerintahan Irak mengumumkan konstitusi sementara.

28 Maret
Surat kabar Al-Hawza dibredel. Koran ini tampak membela Moqtada Sadr, yang dituduh memicu perlawanan dan kebencian terhadap pasukan Amerika dan sekutunya.

19 April
John Negroponte diangkat sebagai Duta Besar Amerika untuk Irak. Dia yang menggantikan penguasa pemerintahan sipil, Paul Bremer, begitu kedaulatan diserahkan.

29 April
Foto-foto penyiksaan dan serangan seksual terhadap tawanan Irak di Penjara Abu Ghuraib ditunjukkan di televisi CBS.

28 Mei
Anggota Dewan Pemerintahan memilih Iyad Allawi, mantan petinggi Partai Baath yang dekat dengan CIA, menjadi perdana menteri.

1 Juni
Dewan Pemerintahan memilih Ghazi al-Yawer sebagai presiden baru Irak.

28 Juni
Serah-terima kekuasaan dilakukan, maju dua hari dari rencana. Irak seharusnya mulai berdaulat.

Purwani D. Prabandari (The Guardian, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus