Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Misteri Katak Cacat

Tim IPB menemukan sejumlah katak yang cacat di persawahan. Untung, belum terbukti ini adalah tanda awal kerusakan lingkungan.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumpun padi di hamparan petak sawah itu seperti menari tertiup angin. Langit cerah. Di atas, matahari bersinar terang. Cahayanya memantul di permukaan air yang menggenangi tanaman padi berumur kurang dari sebulan itu.

Di pematang sawah berjongkok Mirza Dikari Kusrini, 37 tahun, kandidat doktor bidang ilmu biologi tropikal dari Universitas James Cook, Townsville, Australia. Ia tampak berkonsentrasi. Matanya menatap benda hijau di sela-sela rumpun padi. Lalu, hup?, tangannya bergerak cepat. Seekor katak hijau yang terlambat meloncat kini sudah di genggamannya. Sekilas Mirza mengamati katak yang matanya berkedip-kedip pasrah itu. Tapi Mirza terkejut. Katak itu cacat, salah satu kakinya tidak ada.

Temuan Mirza sebetulnya hanya kebetulan. Saat itu staf pengajar di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini tengah mengadakan studi soal pemanenan katak yang berkelanjutan di Indonesia. "Tak disangka, kami menemukan cacat katak. Ya sudah, kami dokumentasikan," kata Mirza.

Katak cacat memang sepele bagi orang awam, tapi tidak bagi dunia sains yang digeluti Mirza. Di mata biolog, bila ada katak cacat, ini berarti ada sesuatu yang salah di lingkungan sekitarnya.

Ya, katak adalah salah satu bioindikator penting kerusakan lingkungan. Katak menjadi penanda penting karena hewan kecil ini amat rentan terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ini bertalian dengan telur katak yang tak berpelindung, unshelled, serta kulit yang bisa ditembus. Akibatnya, bila terjadi sedikit saja perubahan di habitatnya, akan langsung terlihat pada bentuk fisik katak.

Mirza lalu berkisah tentang salah satu temuan perubahan bentuk fisik katak. Syahdan, suatu hari di musim panas ta-hun 1995, delapan siswa sekolah menengah melakukan studi ekologi sederhana di danau kecil di daerah Henderson, Minnesota, Amerika Serikat. Dengan ceria mereka mengendap-endap mencari katak tutul seperti diperintahkan gurunya.

Betapa kagetnya anak-anak ini manakala sebagian katak yang mereka temukan cacat. Ada yang kakinya lima, bahkan enam, tujuh. Lalu, ada lagi katak yang bentuknya mengerikan, mirip monster dalam buku Goosebump atau film-film fiksi. Dari 22 ekor katak yang mereka kumpulkan, separuhnya cacat alias mengalami deformasi, perubahan bentuk fisik.

Temuan ini menggegerkan pemerhati lingkungan di sana. Dinas pengawas polusi pun segera menerjunkan tim peneliti. Dan tim ini menemukan puluhan jenis katak dengan cacat yang lebih parah: tanpa kaki belakang, hanya bermata satu, atau tumbuhnya kaki kecil tambahan di bagian pantat.

Area penelitian kemudian diperluas. Tim peneliti diterjunkan ke seluruh penjuru Amerika yang dicurigai menjadi habitat katak cacat. Laporan pun masuk dengan deras. Ternyata, di hampir semua negara bagian, malformasi terjadi tak hanya pada katak. Tercatat sedikitnya 60 spesies, termasuk kadal, mengalami perubahan bentuk yang tidak lazim.

Belum ada biolog yang bisa menyimpulkan apa penyebab rusaknya tubuh katak Minnesota itu. Yang bisa mereka duga, kemungkinan penyebab kerusakan sangat beragam: mulai dari pencemaran logam berat hingga penggunaan pestisida terlarang, bahkan parasit yang sudah merusak telur katak hingga cacat ketika menetas.

Sebetulnya, perubahan bentuk di keluarga amfibi seperti katak bukan hal aneh. Penelitian pada awal 1990-an menunjukkan bahwa sebagian kecil individu dari setiap populasi akan mengalami mutasi genetis. Tapi angka yang dianggap wajar berada pada 4-5 persen dari seluruh populasi. Kalau sudah lebih dari itu, seperti terjadi di Minnesota, "Pasti ada faktor luar yang harus dicurigai," ujar Mirza.

Faktor luar yang disebut Mirza itu bisa beragam. Misalnya radiasi sinar ultraviolet, kontaminasi senyawa kimia?termasuk pestisida?juga parasit yang berepidemi. Menurut penelitian Blaustein (1994-1998), radiasi sinar ultraviolet bisa membunuh embrio dan larva amfibi, kerusakan pada mata katak dewasa, serta berbagai jenis deformasi pada katak dan kadal.

Namun, sedahsyat apa pun radiasi ultraviolet, faktor ini tak akan membuat katak lahir dengan kaki tambahan. Apalagi amfibi tergolong jenis makhluk yang bisa menghindari terpaan sinar matahari. Jadi, pasti ada faktor lain. Salah satu kemungkinan adalah telah terjadi polusi air di habitat katak-katak itu. Apalagi banyak laporan menyebut amfibi yang cacat umumnya berasal dari daerah dengan penggunaan pupuk dan insektisida tinggi.

Sayangnya, di Indonesia belum pernah ada laporan lengkap tentang kondisi katak. "Jangankan soal itu, berapa jenis spesies katak yang hidup di Indonesia pun kita belum punya," kata Mirza. Catatan agak lengkap hanya ada di Museum Zoologi Bogor. Di sini ada tercatat jenis katak (Fejervarya limnocharis) yang kehilangan satu kaki (amelia) yang ditangkap pada 16 November 1921. Setelah itu, hanya Leong, biolog Singapura, yang mencatat temuan katak cacat jenis Rana chalconota di Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, pada 2001.

Mirza sendiri sudah menekuni katak sejak 2001 hingga 2003. Ia meneliti 26 titik di 11 lahan sawah, dan 28 titik di 6 sungai yang tersebar di Bogor, Sukabumi, Kara-wang, dan Subang. "Itu pun tidak berfokus pada deformasi katak," kata Mirza.

Dari 4.331 ekor katak (23 spesies, habitat sawah dan sungai) yang ditelitinya, Mirza menemukan 170 ekor (9 spesies) mengalami deformasi. Ini artinya hanya 3,62 persen. "Angkanya kecil dan tidak signifikan," kata Mirza. Selain itu, sebagian besar cacat tadi, menurut Mirza, bukan karena cacat perkembangan, tapi akibat trauma.

Meski demikian, Mirza sempat mendapati katak yang mengalami cacat pertumbuhan. Jenis cacat yang sudah teridentifikasi antara lain dua jari kaki depan yang menempel, tulang punggung bengkok, kaki depan atau belakang tidak ada, dan jari kaki belakang yang bercabang. "Apa penyebabnya, masih perlu studi lanjutan," tutur Mirza. Dugaan awal, menurut Mirza, ini terjadi karena penggunaan pestisida.

Untunglah, sejauh ini, dari beberapa sampel di wilayah yang diteliti Mirza, penggunaan pestisida belum sampai tingkat berlebihan. Ini misalnya terlihat di Desa Cikuntul, Karawang, Jawa Barat. Menurut Sarwan, seorang petani di sana, mereka menggunakan pestisida cair tiap musim tanam sampai enam liter untuk areal sawah seluas satu hektare. Tapi, "Pemakaian pestisida selalu menurut aturan," kata Tarya, kawan Sarwan.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Iman Sumantri, membenarkan hal ini. Menurut data kantornya, pemakaian pestisida saat ini bahkan belum memenuhi standar yang ditetapkan. Maka, "Katak di sini masih banyak," kata Duloh. Selain berlimpah, kualitasnya juga yahud, "Selalu jadi buruan bandar bangkong," ujar Sarwan.

Pengakuan itu klop dengan hasil penelitian Mirza. "Kasus katak cacat di Cikuntul memang rendah, hanya 12 ekor dari ratusan populasi yang diambil," katanya. Temuan terbesar justru pada lokasi penelitian di Caringin, Kabupaten Bogor. Di sini tingkat kecacatan mencapai angka 8 persen. Tapi, ya itu tadi, ini pun lebih didominasi karena trauma fisik. "Cacat pertumbuhannya paling sekitar 4 persen," kata Mirza.

Tetap saja Mirza penasaran dengan temuan sampingannya ini. Ia pun mengukur kandungan residu pestisida pada sampel tanah, air, dan katak cacat yang ditemukan. Harapannya, misteri katak cacat bisa diungkap. Ia berharap, pada akhir tahun ini pengambilan sampel dan pemeriksaan laboratorium sudah selesai. Temuannya sendiri, "Biarlah jadi data observasi awal," kata Mirza sambil menambahkan bahwa untuk sementara, "Terlalu buru-buru mengaitkan angka kecacatan katak ini dengan pemberian pestisida berlebihan."

Agus Hidayat, Nanang Sutisna (Karawang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus