KapteN Haitham bergegas menghampiri mobil Daewoo yang baru saja dihentikan anak buahnya di ujung Jalan Sadoon, pusat Kota Bagdad. Begitu pintu mobil dibuka, matanya menyapu seisi ruangan, seolah tak ingin ada barang apa pun terlewatkan dari pandangannya. "Siapa tahu mereka membawa bahan peledak dan senjata," ujar Kapten Haitham kepada TEMPO pekan lalu. Haitham dan anak buahnya memang sangat sibuk belakangan ini.
Sejak serah-terima kekuasaan dilakukan Senin lalu, polisi serta tentara Amerika dan sekutunya, juga polisi Irak, menghambur di jalan-jalan di Bagdad untuk melakukan razia persenjataan. Bisa dimengerti jika kegiatan ini dilakukan dari pagi hingga malam. Sebab belakangan ini hampir seluruh Irak seolah dilanda banjir kekerasan. Dalam sebulan terakhir saja, sudah sekitar 300 orang tewas dalam berbagai serangan oleh kelompok antipendudukan. Alasan keamanan ini pula yang menyebabkan dimajukannya hari acara serah-terima kekuasaan yang sedianya dilakukan pada 30 Juni menjadi dua hari lebih cepat.
Harus diakui, pemerintahan baru Irak di bawah pimpinan Perdana Menteri Iyad Allawi dan Presiden Ghazi al-Yawar belum memiliki pasukan dan polisi yang cukup kuat untuk menangkal semua ancaman dan serangan yang makin menggila di negeri Hikayat Abunawas itu. Sebagaimana yang dipantau TEMPO di jalanan di Bagdad, polisi Irak lebih banyak sebagai penerjemah. Mereka belum tampak menjadi aparat keamanan yang semestinya.
"Masalah keamanan di sini begitu kompleks, mereka belum mampu menanganinya," ujar juru bicara pasukan Amerika di Irak, Brigadir Jenderal Mark Kimmitt. Agaknya Kimmitt tidaklah berlebihan. Bayangkan, hingga sekarang baru ada sekitar 120 ribu polisi yang terdaftar. Itu pun hanya 89 ribu yang bekerja dan separuh lebih dari angka tersebut belum mendapatkan pelatihan.
Belum lagi soal disiplin yang kedodoran, korupsi yang telah membudaya, serta desersi di tubuh aparat keamanan sejak rezim Saddam, hingga soal desersi aparat ke kelompok lawan. Itu semua bukan hal mudah diatasi. Rencananya, mereka akan dipecat dalam waktu dekat.
Adapun jumlah tentara juga masih seperlima dari yang dibutuhkan. Hingga kini baru ada 5 ribu tentara. Itu pun masih dalam proses pelatihan, dengan perlengkapan dan senjata yang sangat terbatas. Dari total 253 ribu senjata yang dipesan, baru 141 ribu yang tiba. TEMPO juga menyaksikan di jalanan, tidak semua polisi Irak memegang senjata. Bahkan sering satu senjata dipakai untuk tiga orang. Seorang komandan seperti Haitham hanya menggenggam revolver kaliber 45.
Perlengkapan lain untuk aparat keamanan yang masih kedodoran juga terjadi pada alat transportasi. Misalnya, dari 25 ribu kendaraan yang direncanakan, kini baru sepertiga yang datang. Demikian pula dengan baju antipeluru yang jumlahnya masih kurang dari separuh dari yang dibutuhkan.
Penyelesaiannya? Milisi dari berbagai kelompok dikerahkan. Juga akan ada penempatan pasukan secara proporsional. Di daerah yang dianggap tidak begitu bergejolak, keamanan tidak perlu ketat. Tetapi di daerah yang dianggap rawan serangan seperti Bagdad atau Najaf, dilakukan pengerahan polisi dan tentara besar-besaran. Pelatihan bagi tentara dan polisi Irak juga terus dijalankan.
Selain itu, seperti kata mantan komandan pasukan asing di Irak, Letnan Jenderal Ricardo Sanchez, pasukan Amerika dan Sekutu yang jumlahnya mencapai ratusan ribu personel masih akan terus menemani pasukan "bau kencur" Irak ini, sampai dianggap mampu berdi-ri sendiri. "Bisa bulanan, tapi bisa juga tahunan," ujar Kimmitt. "Tergantung kapan mereka siap dilepas," ia menambahkan. Alias wallahualam.
Purwani D. Prabandari, Rommy Fibri (Baghdad)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini