KETIKA berkunjung ke Washington, Perdana Menteri Jepang Yasuhiro
Nakasone membuat kejutan. Ia menyatakan kesediaan memperkuat
pertahanan negaranya - persis seperti yang dianjurkan Amerika
Serikat.
Kini giliran negara-negara ASEAN yang deg-degan menunggu. Siapa
tahu Nakasone, yang akan memulai lawatan ke Indonesia, Thailand,
Filipina, Brunei, Singapura, dan Malaysia, Sabtu ini, membikin
kejutan lagi. Sekalipun Menlu Shintaro Abe (lihat: Ke Mana Yen
Mengalir) sudah mengatakan negaranya tidak akan pernah lagi
tampil sebagai kekuatan militerisasi, orang masih meragukannya
sebab penegasan itu tidak senada dengan tekad militer Nakasone.
Hasrat Nakasone untuk meningkatkan potensi militer Jepang telah
merisaukan banyak pihak - di dalam maupun di luar negeri. Di
kalangan LDP - partainya sendiri - tak urung terdengar kecaman
ke alamat PM itu. Khawatir Nakasone telanjur memberi "terlalu
banyak" konsesi di bidang perdagangan dengan AS, mereka juga
cemas tuntutan Washington dalam hal pertahanan melonjak terlalu
jauh. Poll pendapat umum 10 April silam menunjukkan
popularitasnya merosot.
Negara-negara ASEAN juga risau. Bahkan di kalangan ini tumbuh
kekhawatiran baru terhadap "saudara tua" yang pernah malang
melintang dengan gagasan Asia Timur Raya-nya. Belum lagi praktek
kerja sama ekonomi yang selalu membuat "saudara muda" di ASEAN
ternganga-nganga oleh tindakan Jepang yang sering tak terduga.
Hal-hal yang merugikan Jepang di mata internasional ini berusaha
dipupus Nakasone. Terkesan ia berusaha lebih keras dari PM
Jepang terdahulu untuk menghentikan praktek-praktek yang
dirasakan kurang adil itu. Dalam kaitannya dengan ini,
barangkali, Shintaro Abe menyuarakan komitmen pemerintahnya
untuk tidak membiarkan Jepang kembali tumbuh sebagai kekuatan
militer.
Apakah realistis, misalnya, bagi Jepang sendiri untuk sekadar
puas dengan perannya sekarang: sebagai kekuatan ekonomi dunia
yang terus-menerus dikagumi tanpa peran politik berarti? AS
cenderung memberi kesempatan pada sekutunya di Timur ini untuk
lebih berperan - setidaknya dalam mewujudkan keseimbangan
militer di kawasan Pasifik. Dengan kata lain berbagi tugas
dengan AS, sesuatu yang amat dirasakan perlu, sejak pertengahan
tahun 1970-an. Ketika itu Rusia mulai membangun armada
Pasifiknya dengan 120 kapal selam, (30 antaranya bersenjatakan
rudal antarbenua) plus 70 pesawat pengebom Backfire (sebagian
berkemampuan mengangkut senjata nuklir), dan 108 rudal SS-20.
Bagaimanapun potensi militer Rusia itu bukan sekadar angka.
Belum lagi provokasi militernya di empat pulau kecil di utara
yang dahulu milik Jepang - kini termasuk wilayah Uni Soviet.
Tapi sebegitu jauh, seperti dikatakan Menlu Shintaro Abe, Jepang
akan mempertahankan persahabatan dengan Uni Soviet. Rakyatnya
bukan tidak terganggu dengan provokasi Rusia itu, tapi belumlah
cukup alasan bagi mereka untuk melihat Soviet sebagai musuh.
Dan kini sesudah kejutannya di Washington, nampak Nakasone lebih
berhati-hati. ASEAN sebagai sahabat nampaknya akan lebih
diperhitungkan dan diperhatikan. "ASEAN adalah kawasan yang
secara ekonomis paling dinamis di dunia dewasa ini," sanjung
Nakasone di hadapan utusan kantor berita Asia Pasifik (OANA), 20
April lalu. Maka sebelum berangkat, PM Jepang itu menawarkan
kembali kerja sama di bidang budaya, ilmu, ekonomi, dan
pertukaran teknologi. Tawaran yang perlu ditunggu buktinya dan
perinciannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini