Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rezeki bukit kapur

Kehidupan di desa kemiri, gunung kidul, berubah setelah penduduk desa tersebut menambang bukit kapur untuk dijual ke pabrik gula gondang baru, dan ceper. (nas)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA menggembirakan dari Kabupaten Gunung Kidul. Daerah tandus yang berbukit kapur ini, sebagian penduduknya tidak lagi makan tiwul - lambang kemiskinan. "Di sini semua orang sudah mampu membeli beras," ujar Martodikromo dengan bangga. Ia salah seorang penduduk Desa Kemiri, Gunung Kidul, yang punya pekerjaan baru sejak Februari lalu: menambang bukit kapur. Pekerjaan ini melibatkan separuh penduduk desa yang berjumlah 800 KK (sekitar 4.000 jiwa). Dengan bersenjata martil, linggis, dan pacul mereka menggempur bukitbukit di sekitar desanya. Batu kapur itu dibuat sebesar tinju, kemudian disusun di tepi jalan, siap untuk dijual. "Petani batu" yang bekerja berkelompok tiga sampai lima orang ini sehari bisa mengumpulkan satu meter kubik. Sebuah kontraktor di sana, PT Sidomulyo membelinya Rp 1.100 per meter kubik. Batu itu dijual ke pabrik gula Gondang Baru dan Ceper, keduanya di Kabupaten Klaten. Batu kapur itu digunakan sebagai bahan pemurni. Prosesnya, batu dibakar di tobong pabrik untuk mendapatkan CaO dan CO2. Kedua zat ini berfungsi mengendapkan kotoran sehingga gula yang dihasilkan pabrik lebih putih dan berkualitas bagus. PG Gondang Baru dan PG Ceper masing-masing membutuhkan 8.000 ton dan 7.500 ton batu kapur dalam setiap musim giling. Dulu batu kapur diperoleh dari Cawas, tak jauh dari lokasi kedua pabrik itu. Tetapi kadar CaO-nya hanya 48%. Tahun 1982 batu kapur Gunung Kidul diteliti. Hasil penelitian Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) Pasuruan, menunjukkan kadar CaO mencapai 54,9%. "Berarti gula yang dihasilkan lebih bagus," kata Soetomo, 40 tahun, kepala Bagian Pabrika PG Ceper. Sejak Februari lalu, batu kapur Gunung Kidul mengalir ke luar. Setiap bulan seorang penduduk bisa mendapatkan Rp 30.000. Uang itu tentu sangat berarti. Penduduk bisa membeli beras untuk makanan sehari-hari. Bahkan sudah banyak yang membeli kambing. "Dari hasil ini saya bisa membayar ongkos perawatan anak saya di rumah sakit," kata Martodikromo, penduduk Desa Kemiri. Kehidupan di Desa Kemiri, 51 km sebelah selatan Yogya memang nampak berubah. Sepanjang tahun desa itu kekurangan air, dan penduduk baru memperoleh air setelah jalan kaki sejauh 6 km. Kini banyak di antara mereka yang sudah mampu membeli air, dari uang batu kapur itu. Carik Desa Kemiri, Harjo Semedi melihat pula perubahan lain. "Tanah yang sudah diambil batu kapurnya, bisa ditanami," katanya. Ada lagi, "sejak batu itu bisa dijual, penduduk desa jarang berburuh ke kota," lanjutnya. Batu itu pun memberi pemasukan kas Pemda Gunung Kidul. "Pemda memungut retribusi Rp 50G, untuk setiap truk yang membawa batu kapur ke luar Gunung Kidul," ungkap Murdianto, Staf Bagian Perekonomian Gunung Kidul. Sehari ada 8 truk pulang pergi membawa batu kapur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus