BERITA menggembirakan dari Kabupaten Gunung Kidul. Daerah tandus
yang berbukit kapur ini, sebagian penduduknya tidak lagi makan
tiwul - lambang kemiskinan. "Di sini semua orang sudah mampu
membeli beras," ujar Martodikromo dengan bangga.
Ia salah seorang penduduk Desa Kemiri, Gunung Kidul, yang punya
pekerjaan baru sejak Februari lalu: menambang bukit kapur.
Pekerjaan ini melibatkan separuh penduduk desa yang berjumlah
800 KK (sekitar 4.000 jiwa). Dengan bersenjata martil, linggis,
dan pacul mereka menggempur bukitbukit di sekitar desanya. Batu
kapur itu dibuat sebesar tinju, kemudian disusun di tepi jalan,
siap untuk dijual.
"Petani batu" yang bekerja berkelompok tiga sampai lima orang
ini sehari bisa mengumpulkan satu meter kubik. Sebuah kontraktor
di sana, PT Sidomulyo membelinya Rp 1.100 per meter kubik. Batu
itu dijual ke pabrik gula Gondang Baru dan Ceper, keduanya di
Kabupaten Klaten.
Batu kapur itu digunakan sebagai bahan pemurni. Prosesnya, batu
dibakar di tobong pabrik untuk mendapatkan CaO dan CO2. Kedua
zat ini berfungsi mengendapkan kotoran sehingga gula yang
dihasilkan pabrik lebih putih dan berkualitas bagus.
PG Gondang Baru dan PG Ceper masing-masing membutuhkan 8.000 ton
dan 7.500 ton batu kapur dalam setiap musim giling. Dulu batu
kapur diperoleh dari Cawas, tak jauh dari lokasi kedua pabrik
itu. Tetapi kadar CaO-nya hanya 48%. Tahun 1982 batu kapur
Gunung Kidul diteliti. Hasil penelitian Balai Penelitian
Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) Pasuruan, menunjukkan kadar
CaO mencapai 54,9%. "Berarti gula yang dihasilkan lebih bagus,"
kata Soetomo, 40 tahun, kepala Bagian Pabrika PG Ceper.
Sejak Februari lalu, batu kapur Gunung Kidul mengalir ke luar.
Setiap bulan seorang penduduk bisa mendapatkan Rp 30.000. Uang
itu tentu sangat berarti. Penduduk bisa membeli beras untuk
makanan sehari-hari. Bahkan sudah banyak yang membeli kambing.
"Dari hasil ini saya bisa membayar ongkos perawatan anak saya di
rumah sakit," kata Martodikromo, penduduk Desa Kemiri.
Kehidupan di Desa Kemiri, 51 km sebelah selatan Yogya memang
nampak berubah. Sepanjang tahun desa itu kekurangan air, dan
penduduk baru memperoleh air setelah jalan kaki sejauh 6 km.
Kini banyak di antara mereka yang sudah mampu membeli air, dari
uang batu kapur itu.
Carik Desa Kemiri, Harjo Semedi melihat pula perubahan lain.
"Tanah yang sudah diambil batu kapurnya, bisa ditanami,"
katanya. Ada lagi, "sejak batu itu bisa dijual, penduduk desa
jarang berburuh ke kota," lanjutnya.
Batu itu pun memberi pemasukan kas Pemda Gunung Kidul. "Pemda
memungut retribusi Rp 50G, untuk setiap truk yang membawa batu
kapur ke luar Gunung Kidul," ungkap Murdianto, Staf Bagian
Perekonomian Gunung Kidul. Sehari ada 8 truk pulang pergi
membawa batu kapur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini