ANJING pelacak tak jadi didatangkan polisi. Tapi itu tak membuat
semangat ratusan penduduk, yang dibantu beberapa anggota Wanadri
dan dukun, mengais reruntuhan bukit itu jadi turun. Dengan
mengandalkan penciuman, di samping mantera, maka begitu ada yang
mengendus bau bangkai, tanah pun segera digali beramai-ramai.
Dan dengan cara itu, sampai akhir minggu lalu, sudah ditemukan
13 mayat yang tertimbun di reruntuhan Bukit Cadasgantun - 8
korban lainnya masih dicari.
Ketika Bukit Cadasgantung, lokasi pencarian tras di Desa Gudang
Kahuripan, Lembang, runtuh 19 April, 24 penggali pasir sedang
bekerja di sana. Mereka, berikut 3 truk pengangkut pasir, kontan
tertimbun pasir dan batu bukit itu. Yang selamat cuma tiga orang
karena mereka kebetulan lagi beristirahat agak jauh dari lokasi.
"Kejadian itu begitu tiba-tiba sehmgga teman-teman, yang
bergelantungan di tebing bukit itu, tak sempat menghindar," kata
Enong, 31 tahun, salah seorang yang selamat.
Bukit Cadasgantung, yang terletak di tepi jalan Bandung-Lembang,
sudah lama dimanfaatkan penduduk sebagai lokasi pengambilan
tras. Tapi penorehan besar-besaran baru dilakukan 10 tahun
terakhir - sejak kebutuhan batu-batuan yang dipergunakan untuk
bahan bangunan itu meningkat. Bukit yang terban kemarin itu
seluas 2 hektar.
Tras di Bukit Cadasgantung itu sebetulnya adalah hasil endapan
abu gunung api (tufa) - yang sifatnya sangat kurang mengikat
(loose). Sehingga wilayah itu merupakan daerah yang sangat
labil. "Sedikit gerakan saja sudah cukup untuk membuat
bukit-bukit itu runtuh," ujar Kepala Direktorat Vulkanologi
Adjat Sudradjat.
Alat pencatat gempa (seismografl Stasiun Meteorologi dan
Geofisika di Lembang, dua hari sebelum peristiwa, mencatat gempa
di daerah sekitar situ dengan kekuatan 1 sampai 2 skala visual.
Diduga gempa itu ikut mempercepat runtuhnya Bukit Cadasgantung.
Pengambilan tras di daerah itu telah menimbulkan ancaman serius
bagi lingkungan setempat. Di beberapa tempat,
penggalian-penggalian sudah mendekati jalan raya
Bandung-Lembang. Juga sudah ada yang mengasak ke kawasan
peneropong bintang Bosscha. Direktur Bosscha Dr. Bambang Hidayat
sudah melayangkan belasan surat protes ke berbagai instansi di
Ja-Bar sejak 1981. Tapi hasilnya baru keluar Februari lalu.
Bupati Bandung mencabut semua iin penggalian di kawasan itu.
Larangan bupati itu ternyata tak sepenuhnya ditaati. Masih saja
ada penduduk yang diam-diam menoreh tras dari bukit-bukit di
sana. "Penduduk bukan tak menyadari bahaya yang ditimbulkan
akibat penggalian. Tapi mereka tak punya pilihan lain untuk
mencari nafkah," kata Kepala Desa Gudang Kahuripan Amar Sumarna.
Lebih dari 65% penduduk Gudang Kahuripan, yang berjumlah 7.500
jiwa, menggantungkan hidup di Bukit Cadasgantung. Mulai dari
penggali, kernet dan sopir truk pengangkut pasir, sampai buruh
pabrik batako yang bahan bakunya berasal dari pasir tras.
Rata-rata 150 sampai 200 m3 pasir digali dari 6 lokasi
pengambilan pasir di desa itu setiap hari. "Satu hari bu pasir
bisa menghasilkan Rp 2.000," ujar Amar Sumarna.
Sumber nafkah lain penduduk Desa Gudang Kahuripan adalah sebagai
petani dan buruh kebun sayur. Tapi ini mulai ditinggalkan
rakyat. "Karena upah buruh sayur cuma Rp 1.000 sehari," itu pun
musiman. "Artinya: di musim paceklik mereka menganggur.
Lapangan pekerjaan lain di Gudang Kahuripan tak ada. Karena desa
itu terdiri dari perbukitan terjal, "di sini tak ada sawah,"
ujar Amar Sumarna. Dari statistik terlihat penghasil utama kas
desa itu, Rp 100.000 per bulan, adalah dari retribusi pasir.
Selama dua pekan terakhir memang tak terdengar lagi suara mesin
truk atau gemerisik skop dan cangkul mengikis punggung Bukit
Cadasgantung. Tapi, sampai kapan? Sebab, seperti kata Amar
Sumarna, "kalau tak menggali pasir, penduduk mau makan apa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini