SAKSI kekejaman rezim militer Argentina berangsur-angsur keluar kubur. Sejak pekan lalu, Komisi Penyelidik Desaparecidos (orang hilang), yang dibentuk Presiden Raul Alfonsin, mulai menggali mayat-mayat dari makam tak berpapan nama. Dari penggalian yang dilakukan di Desa Rafael Calzada, yang terletak sekitar 30 km di selatan Buenos Aires, ditemukan 15 kerangka manusia. Di Desa Moreno, sekitar 40 km di barat ibu kota itu, 14 kerangka. Penggalian, pada hari-hari mendatang, masih akan berlangsung. Di sekitar Buenos Aires saja, menurut komisi penyelidik itu, telah ditemukan 1.500 makam tak berpapan nama. Belum lagi di tempat lain. Sejak junta militer menggulingkan pemerintahan Nyonya Isabella Peron, 1976, diperkirakan 6.000 sampai 30.000 orang telah hilang tak tentu rimbanya. Organisasi Ibu-ibu dari Plaza de Mayo, yang mempunyai kantor di Buenos Aires, mengumpulkan 91 kasus anak-anak dari para desa parecidos. Amnesty International, yang bermarkas di London, pernah mencatat kesaksian oran-orang yang selamat bahwa sebuah Sekolah Teknik Angkatan Laut telah dijadikan kamp tawanan. "Di situ pernah dieksekusi 4.000 orang," kata mereka. Eksekusi dilakukan rezim militer dengan bermacam cara. Seorang pengusaha Amerika Serikat di Buenos Aires pernah mendengar cerita "suster terbang" dari mulut dua perwira junta. Kisah itu ternyata tentang dua wanita anggota gerakan hak-hak asasi manusia berkebangsaan Prancis yang diterjunkan ke laut dari sebuah pesawat helikopter. Korban kekejaman di Argentina juga menyangkut banyak warga asing. Di antara para desaparectdos itu, tercatat 400 warga negara Italia, 35 orang Spanyol, dan 15 warga Prancis, termasuk dua "suster terbang", Leonie Duquet dan Alice Domon. Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari desaparecidos, rezim militer Argentina mencoba menyerbu Kepulauan Falkland, koloni Inggris yang terletak di selatan, awal 1982. Tapi gagal. Kekalahan itu mengakibatkan rezim militer jatuh pamor. Pemilu akhir 1983 silam menghasilkan pemerintahan sipil di bawah Alfonsin. Sebelum mengoperkan kekuasaan kepada Alfonsin, junta militer mencoba mencuci diri dari perbuatan pada masa lalu. Mereka minta rakyat Argentina "berjiwa besar demi kesatuan bangsa". Maksudnya agar pemerimtah baru tak mengusut kejahatan militer sebelumnya. Pimpinan junta seiak 1976 adalah Jorge Rafael Videla, Roberto Viola, Leopaldo Galtieri, dan Reynaldo Bignone - semuanya berpangkat jenderal. Tapi, Alfonsin, 58, ahli hukum dan pendiri Majelis Permanen Hak-Hak Asasi Manusia Argentina, tak luluh oleh permintaan itu. Ia, sebagaimana janjinya waktu kampanye pemilu, tetap bertekad mengusut kekejaman rezim lama. Pelaku utama yang dituntut Alfonsin adalah Videla, Viola, Galtieri, dan Bignone. Tiga nama pertama dituntut bertanggung jawab atas kebijaksanaan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan massal. Mereka diancam hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan Bignone, presiden terakhir junta, dituntut karena melenyapkan dua konsep Akademi Militer di San Martin, sewaktu ia menjadi direktur akademi itu pada tahun 1976. Selain itu, ia juga diminta bertanggung jawab atas hilangnya teknisi keturunan Italia, Alfredo Giorgi, tahun 1978. Pengusutan terhadap tokoh-tokoh junta tampak tak mudah. Sebab, masih banyak bukti yang harus dicari, mengingat korban yang digali dari kubur, menurut para ahli forensik, sudah sulit dikenali. Tapi pengadilan Argentina tetap optimistis. "Banyak saksi akan tampil sebagai juru bicara tengkorak-tengkorak itu," kata mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini