KISAH bermula dari juru sita yang dilempari batu di pinggiran Kota Rotterdam, Rabu siang pekan lalu. Keesokan harinya, para pelempar batu, yang tak lain adalah pemuda keturunan Maluku, bentrok dengan polisi Belanda. Lima polisi cedera, seorang pemuda Maluku luka tertembak. Kabarnya, senjata terpaksa digunakan karena polisi berada dalam bahaya. Sudah sejak 1978 tidak terbetik berita tentang pemuda-pemuda Republik Maluku Selatan (RMS), yang radikal dan sering berbuat onar, sampai insiden kecil di Rotterdam itu terjadi. Dan kerusuhan itu, yang meletup tiga bulan sebelum ulang tahun ke-34 RMS, segera mengingatkan kembali pada masyarakat asal Maluku yang hijrah ke Negeri Belanda, lalu dari sana memperjuangkan berdirinya RMS di Indonesia. Lewat tiga dekade, cita-cita itu belum juga kesampaian, sementara di negeri orang mereka tumbuh sebagai minoritas yang terpencil. Lebih-lebih, sejak penyanderaan kereta api di Beilen, delapan tahun silam, yang mengakibatkan tiga orang Belanda meninggal. Dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan itu, benih keresahan tumbuh dengan subur. Sebenarnya, kejadian di Rotterdam tidak ada hubungan dengan cita-cita RMS. Di pinggiran kota pelabuhan itu ada enam keluarga Maluku yang diusir dari rumah yang mereka tempati, karena tiga tahun menunggak sewa. Mereka ini kontan dibela segerombolan pemuda, mungkin karena rasa setia kawan, mungkin juga terdorong ambisi petualangan belaka. Apapun motivasinya, enam keluarga yang dibela itu justru mematuhi peraturan. Mereka meninggalkan kompleks kediaman orang Maluku itu tanpa membayar pemilik rumah, Theodoor Sandberg, sepeser pun. Kuat dugaan bahwa pengusiran serupa terpaksa dilakukan Sandberg tahun depan, karena masih ada 120 keluarga Maluku yang menunggak sewa sejak Juni 1983. Berurusan dengan orang-orang asal Maluku itu rupanya memang tidak mudah. Sesudah insiden Rotterdam, Sandberg dapat mengatakan bahwa sengketa sewa rumah dimanfaatkan untuk tujuan politik RMS. Dikatakannya, gagasan itu sengaja dibangkit-bangkitkan lagi agar terbuka kesempatan untuk menyalahkan pemerintah Belanda. Tuduhan itu sangat masuk akal mengingat kehidupan orang Maluku di sana boleh dibilang sulit. Sementara itu, beberapa tokoh tua masih bermimpi tentang sebuah negara RMS yang akan diperjuangkan terus. Tekadnya, kalau Israel sanggup berjuang 2.000 tahun, mengapa mereka tidak? Tapi Belanda, yang jadi tumpuan harapan selama ini, lewat sebuah nota Kabinet van Agt, secara resmi tidak menerima gagasan RMS seraya membantah adanya janji untuk memberi kemerdekaan bagi Maluku Selatan. Dalam nota tahun 1978 ini tercakup rencana untuk mengintegrasikan minoritas Maluku secara penuh ke dalam masyarakat Belanda. Tapi maksud baik itu, sayang, cuma ada dalam rencana. Dalam pelaksanaannya orang-orang Maluku ditempatkan dalam perumahan modern, terpisah dari tetangga orang Belanda. Dan rumah itu pun mesti disewa. Berjumlah sekitar 37.000 orang, menurut catatan tahun 1979, orang-orang Maluku di Belanda terbagi dalam tiga golongan: mereka yang berstatus sebagai warga negara Belanda sebanyak 18.000 orang, yang berstatus sebagai warga negara Indonesia 9.000 orang, dan sisanya stateless (tanpa kewarganegaraan). Diduga, sumber kerusuhan selama ini adalah kelompok stateless itu, yang diperkuat barisan pemuda sakit hati yang banyak berkumpul di Assen, Cappelle aan den Ijssel, dan Boven Smilde.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini