Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian negara anggota ASEAN tak mengecam langsung Rusia.
Pemerintah Indonesia tak menyebut nama “Rusia”.
Singapura satu-satunya negara yang menjatuhkan sanksi ekonomi.
UKRAINA berusaha menggalang dukungan dari berbagai negara dan lembaga internasional untuk membantu mereka menghadapi Rusia. Namun upaya itu kadang diganggu oleh pihak-pihak yang diduga berhubungan dengan Rusia. Gangguan itu antara lain terjadi di tengah konferensi pers virtual Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, pada Rabu siang, 2 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Vasyl Hamianin sedang menyampaikan situasi terakhir Ukraina, kotak pesan diserbu seruan “jayalah Rusia” dalam bahasa Ukraina secara beruntun. Lalu sebuah akun mengaktifkan mode suaranya dan gambar profilnya berganti video mesum. Admin Kedutaan Besar Ukraina buru-buru menendang akun tersebut keluar dari forum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamianin kemudian melanjutkan pidatonya mengenai situasi Ukraina mutakhir. Baru beberapa menit dia berbicara, lagi-lagi gangguan datang. Sebuah akun tiba-tiba memutar sebuah lagu berbahasa Arab. Admin Kedutaan kembali menyingkirkan akun pengganggu ini.
“Mereka tidak akan dapat menghentikan kami,” kata Hamianin. “Saya selalu melihat orang-orang yang tak mengerti dan tak percaya ini terjadi. Ini membenarkan keprihatinan orang terhadap teroris Putin dan negara teroris Rusia. Saya ulangi, tak ada yang membenarkan pembunuhan sipil dan anak-anak, serta kerusakan negara kami.”
Hamianin meminta semua bangsa, termasuk Indonesia, mendukung negerinya dalam mengatasi perang ini. Namun respons negara-negara di dunia berbeda-beda. Pernyataan negara-negara di Asia Tenggara malah dinilai lemah.
Dalam cuitannya pada Kamis, 24 Februari lalu, beberapa jam setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukannya menyerang Ukraina, Presiden Joko Widodo menulis, “Setop perang. Perang ini menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.” Sumber Tempo menyebutkan bahwa draf pernyataan Jokowi itu semula disusun oleh Rizal Sukma, mantan Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Irlandia, dan Organisasi Maritim Internasional. Tapi belakangan draf itu tak digunakan.
Rizal Sukma membantah telah diminta Jokowi menulis draf itu. “Ketemu Pak Jokowi saja nggak sejak saya pulang dari London bulan Juli 2020,” katanya melalui pesan pendek kepada Tempo pada Kamis, 3 Maret lalu. Rizal pulang dari London pada 2020 setelah menyelesaikan masa tugasnya sebagai duta besar.
Kementerian Luar Negeri RI juga menyatakan tidak bisa menerima serangan itu. “Serangan itu juga sangat membahayakan keselamatan rakyat dan mengancam perdamaian serta stabilitas kawasan dan dunia,” kata Kementerian dalam rilisnya pada Jumat, 25 Februari lalu. “Indonesia meminta agar situasi ini dapat segera dihentikan dan semua pihak agar menghentikan permusuhan serta mengutamakan penyelesaian secara damai melalui diplomasi.”
Sejumlah pengamat menilai pernyataan Kementerian lebih keras daripada pernyataan Jokowi. Menurut Rizal Sukma, pernyataan Kementerian sudah mewakili posisi Indonesia karena, “Invasi ke negara berdaulat, apa pun alasannya, tidak dapat diterima.” Dalam hal Rusia, menurut dia, mungkin alasannya “bisa diterima”, tapi tindakan invasinya “tidak bisa dibenarkan”.
Baik pernyataan Jokowi maupun Kementerian Luar Negeri tidak mengecam langsung Rusia, seperti pernyataan keras sejumlah negara lain. Keduanya bahkan tak menyebut nama "Rusia”. “Apakah semuanya harus disebutkan secara jelas? Sebab, secara maknawi, orang sudah bisa mengetahui dan media asing pun mengutip yang sama,” tutur Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, kepada Tempo pada Jumat, 4 Maret lalu.
Sikap negara-negara Asia Tenggara menjadi perhatian karena tak semua negara secara tegas mengecam Rusia. Pernyataan negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bahkan dinilai lemah. “Pernyataan ASEAN tentang invasi ke Ukraina lemah, begitu pula sebagian besar respons nasional, kecuali Singapura,” kata Ben Bland, direktur program Asia Tenggara di Lowy Institute, dalam cuitannya pada Kamis, 3 Maret lalu.
Bland menilai alasan Indonesia “bermain aman” dengan pernyataannya adalah karena posisi indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini. Pemihakan dalam perang Ukraina, misalnya mengecam Rusia, akan memutuskan semua jalur komunikasi dengan Moskow. “Ini akan membahayakan agenda G20 Jokowi sepanjang tahun kepresidenannya,” tulis Bland di situs Lowy Institute.
Menteri-menteri luar negeri ASEAN mengeluarkan dua pernyataan mengenai perang Ukraina pada 26 Februari dan 3 Maret. Keduanya bernada sama, yakni menyerukan gencatan senjata dan dialog menuju perdamaian. Tak ada kecaman terhadap invasi Rusia di sana. Nama Rusia juga tak disebut sekali pun.
Phil Robertson, Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, mengkritik pernyataan ASEAN ini. “Ternyata nilai sebenarnya dari ASEAN adalah memungkinkan anggotanya untuk ‘tiarap’ dan menghindar untuk mengambil sikap terhadap isu-isu sensitif seperti invasi Rusia ke Ukraina,” katanya.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, meskipun tak mengikat, punya dampak politik dan mencerminkan opini internasional. Dalam pemungutan suara pada 2 Maret lalu, 141 dari 193 negara mendukung resolusi, yang menegaskan kedaulatan dan kemerdekaan Ukraina serta menuntut Rusia segera menarik semua anggota pasukannya dari Ukraina. Lima negara—Belarus, Korea Utara, Eritrea, Rusia, dan Suriah—menolak dan 35 negara abstain dalam pemungutan suara.
Di antara negara ASEAN, Vietnam dan Laos memilih abstain. Keduanya punya hubungan sejarah dan militer yang kuat dengan Rusia. Meskipun sebagian besar anggota ASEAN mendukung resolusi PBB, tiap negara mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri yang juga lemah.
Malaysia, Thailand, dan Kamboja tidak mengecam Rusia secara terbuka. Bahkan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha menyatakan kepada kabinetnya bahwa negara itu bersikap netral dalam masalah Rusia-Ukraina karena hubungan lama antara Bangkok dan Moskow harus diperhitungkan. Adapun Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr. menyatakan bahwa negaranya “secara eksplisit mengecam invasi ke Ukraina”.
Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang bersikap paling keras dengan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia. Kebijakan semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya di antara negara-negara Asia Tenggara.
Pemerintah Singapura menyatakan akan menangguhkan ekspor barang-barang yang dapat digunakan Rusia sebagai senjata di Ukraina. Negara itu juga akan memblokir beberapa transaksi perbankan dan keuangan yang berhubungan dengan Rusia. “Kami menyaksikan invasi militer yang tidak beralasan dari negara berdaulat.... Invasi Rusia ke Ukraina adalah pelanggaran yang jelas dan berat terhadap norma-norma internasional dan preseden yang sama sekali tidak dapat diterima,” ujar Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan di depan parlemen pada Senin, 28 Februari lalu.
Balakrishnan menyatakan terlalu mudah bagi sebuah negara kecil untuk terjebak dalam permainan geopolitik negara-negara besar. Negara-negara kecil harus menghindari menjadi pion korban atau digunakan oleh satu pihak melawan pihak lain. Dia mengutip pidato mantan perdana menteri Lee Kuan Yew yang mengatakan bahwa “ketika gajah berkelahi, rumput menderita”.
Singapura, kata Balakrishnan, menyadari posisinya dan bekerja keras untuk menjaga hubungan baik dengan semua tetangga dan kekuatan besar. Namun, ketika muncul suatu situasi, penilaian dan tindakan harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang jelas yang merupakan kepentingan nasional jangka panjang. “Alih-alih memihak, kita akan menjunjung tinggi prinsip,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo