Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Komisi Pengayom Keluarga  

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri memberikan penghargaan kepada istrinya sendiri. Budaya dan integritas KPK tak lagi independen.

5 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua KPK Firli Bahuri dituding melanggar kode etik karena memberikan penghargaan kepada istri sendiri.

  • Kultur di internal KPK berubah pasca revisi UU KPK.

  • Integritas pegawai KPK sudah mulai luntur.

ADA kebiasaan yang berbeda menjelang akhir tahun lalu di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Biasanya, semua pelantang suara ruangan mengalunkan lagu-lagu kebangsaan setiap hari pada pukul 08.00 dan 17.00.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Desember 2021, ada lagu baru yang terdengar asing bagi para pegawai komisi antirasuah. “Katanya itu lagu mars KPK yang dibuat istri Pak Ketua,” kata salah seorang pegawai KPK yang ingin dipanggil dengan nama Muhammad, Rabu, 2 Maret lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari sebelum pemutaran lagu itu, atau pada 22 Desember 2021, semua pegawai KPK menerima kiriman e-mail berisi memo berjudul “Informasi Internal”. Surat elektronik itu mengabarkan Ardina Safitri menghibahkan lagu himne dan mars KPK. Siapa Ardina Safitri? 

Di e-mail itu tak ada keterangan yang menyebutkan Ardina adalah istri Ketua KPK Firli Bahuri. “Mereka meminta pegawai untuk memberikan saran dan masukan dalam menginternalisasi dan mengejawantahkan nilai-nilai yang terkandung dalam lagu tersebut,” ujar Muhammad.

Para pegawai KPK pun bergunjing soal memo internal itu. Para pegawai merujuk pada Pasal 4 Peraturan Komisi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di KPK. Pasal ini menyebutkan setiap pegawai KPK harus mendeklarasikan semua benturan kepentingan dalam pekerjaan mereka. Ini prinsip dasar yang dipegang teguh pegawai KPK sejak lembaga ini didirikan pada 29 Desember 2003. 

 “Siapa Ardina Safitri, tidak semua pegawai tahu dia istri Ketua KPK,” kata Muhammad. “Apakah jika istri saya yang menghibahkan lagu itu akan diterima dan digunakan sebagai mars dan himne?” 

Rupanya, gunjingan dan kasak-kusuk pegawai tak sampai ke ruangan para komisioner KPK. Atau, kata Muhammad, mereka tahu tapi tidak mau tahu. Soalnya, pada Kamis, 17 Februari lalu, Firli Bahuri malah membuat seremoni penyerahan piagam penghargaan kepada Ardina Safitri atas jasanya membuat himne KPK. Kini semua pegawai KPK tahu Ardina memang istri Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri.

Sejumlah pegawai KPK, mengikuti upacara pelantikan dan pengambilan sumpah menjadi Pegawai Negeri Sipil secara daring di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 1 Juni 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Tanpa canggung, dalam pidatonya, Firli meminta semua pegawai KPK meresapi kata-kata dalam mars dan himne KPK ciptaan istrinya. “Semoga lirik dalam lagu ini bisa menjadi inspirasi seluruh insan KPK dalam bekerja dan menguatkan kecintaan kita pada bangsa Indonesia,” ucap Firli.

Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penghargaan kepada Ardina merupakan hal biasa. Dia menyamakan pemberian penghargaan dari “Bapak Firli kepada Nyonya Firli” itu dengan pemberian apresiasi kepada pelapor gratifikasi dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). 

Penghargaan pelapor gratifikasi dan LHKPN, tutur Fikri, diberikan setiap perayaan Hari Antikorupsi Dunia pada 9 Desember. “Semua sudah melalui mekanisme aturan yang berlaku sebelum penghargaan diberikan,” katanya.

Penghargaan kepada Ardina hanya gambaran kecil yang terjadi di KPK saat ini. Para pegawai, baik yang bertahan maupun keluar karena dipecat, menilai integritas KPK doyong sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Undang-undang ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam revisi, KPK bukan lagi lembaga independen, melainkan menjadi bagian rumpun eksekutif yang bertanggung jawab kepada presiden.

Muhammad dan seorang pegawai lain menyebutkan salah satu imbas dari revisi undang-undang itu adalah hilangnya budaya kritis di KPK. Dulu, setiap pegawai bisa mengutarakan pendapat serta berdiskusi tanpa hambatan apa pun di grup e-mail kantor.

Sejak revisi Undang-Undang KPK berlaku dan status pegawai menjadi aparatur sipil negara, sifat kritis menjadi barang haram di Gedung Merah Putih. Syahdan, ada seorang pegawai bertanya di grup e-mail tentang pengiriman undangan suatu acara. Ia menanyakan hal ini karena ada beberapa temannya yang tidak menerima undangan. 

Meski disampaikan dengan sopan, pertanyaan itu berujung teguran dari seorang direktur kepadanya. Padahal, saat melantik pegawai KPK menjadi ASN pada awal Desember 2021, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berjanji budaya kritis pegawai KPK akan dipertahankan untuk menjaga marwah lembaga ini. “Si direktur mengaku ada titipan dari atasannya untuk menegur karyawan itu,” tutur seorang pegawai KPK lain.

Hierarki atasan-bawahan juga kian terasa setelah peralihan status pegawai KPK. Sebelum berubah menjadi ASN, seorang deputi bisa membawa anggota staf saat ikut rapat pimpinan KPK. Anggota staf ini diajak karena mengetahui masalah yang akan dibahas.

Di era Firli, rapat pimpinan hanya boleh dihadiri minimal pejabat berpangkat eselon I. “Kalau deputi sakit atau berhalangan hadir dengan alasan mendesak lain baru bisa diwakilkan ke direktur,” ucap Muhammad.

Perubahan lain yang turut dirasakan adalah skema pembiayaan perjalanan dinas. Semula, pegawai KPK setiap bertugas keluar kota atau ke luar negeri mendapat biaya at cost. Artinya, semua pengeluaran harus dipertanggungjawabkan penggunaannya kecuali jatah uang makan harian.

Setelah beralih status, KPK menerapkan sistem lump sum alias dana perjalanan dinas diberikan di awal dengan batas tertinggi. Sistem ini membuat pegawai berebut melakukan perjalanan dinas untuk mendapatkan lump sum, yang nilainya bisa sama dengan gaji sebulan. 

Nasib serupa dialami oleh seorang ahli coding (bahasa kode dalam pemrograman komputer) yang dipindahkan ke bagian pengurusan administrasi perjalanan dinas dan surat-menyurat. Pimpinan KPK merotasi 70-an pegawai pada awal 2022. Reorganisasi ini menjadi bahan pembicaraan internal karena tak mengacu pada basis data analisis kebutuhan personel dan kapasitas pegawai KPK yang disusun pada 2018-2019.

Contohnya, seorang pegawai jabatan fungsional yang ahli di bidang Teknologi Informasi Kedeputian Informasi dan Data dipindahkan ke Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kedeputian Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat. Tugasnya sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. “Padalah tim teknologi selalu kekurangan orang,” ucap salah seorang pegawai yang tak mau disebut namanya.

Mantan Penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha. Istimewa

Ditanya soal berbagai perubahan ini, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tak membalas pesan Tempo hingga Sabtu, 5 Maret lalu. Sementara itu, Ali Fikri membantah bahwa ada pengekangan pendapat. “Kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kritik bersifat membangun dan argumentatif berdasarkan fakta dan data oleh siapa pun, termasuk pegawai sendiri, dibutuhkan dalam pelaksanaan kerja-kerja KPK,” katanya.

Mantan pegawai KPK, Muhammad Praswad Nugraha, menyayangkan tumbuhnya budaya kerja yang tidak baik di KPK. Menurut dia, hal ini sudah pasti terjadi sebagai konsekuensi revisi Undang-Undang KPK. “Gimmick yang disampaikan pemerintah, KPK akan kuat dengan revisi undang-undang,” tuturnya. “Padahal, ketika independensi dihapus, lembaga ini pasti menjadi lemah.”

Praswad dulu adalah penyidik KPK. Ia dianggap tak lulus tes wawasan kebangsaan yang dibuat oleh komisioner di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Ada lebih dari 57 penyidik yang dianggap tak lulus tes ini. Anehnya, meski tak lulus, Markas Besar Kepolisian RI mau menampung para penyidik ini.

Praswad mengisahkan dulu perbedaan pendapat antara atasan dan bawahan merupakan hal yang lazim di KPK. Seorang anggota staf biasa tak akan merasa takut beradu argumen dengan atasannya. Bahkan para pegawai tak segan mengkritik bos mereka yang melanggar kode etik KPK. Hukum internal juga tegak jika ada pegawai yang melanggar aturan, termasuk ihwal konflik kepentingan. “Sekarang mudah saja Ketua KPK memberikan penghargaan kepada istrinya sendiri,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus