Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi Hong Kong menggeruduk kantor koran Apple Daily, yang kerap mengkritik Beijing.
Pendirinya, jutawan Jimmy Lai, ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan pihak asing.
Setelah Jimmy Lai ditahan, oplah Apple Daily malah melonjak jadi 500 ribu eksemplar.
PADA Rabu dinihari, 12 Agustus lalu, Jimmy Lai Chee-ying melangkah keluar dari Kantor Polisi Mong Kok, Hong Kong, bersama empat pengacaranya. Pendiri Apple Daily, koran yang dikenal sebagai pendukung gerakan demokrasi, itu dibebaskan dengan uang jaminan setelah ditahan 40 jam lebih. Lai harus membayar jaminan sebesar HK$ 300 ribu atau Rp 568 juta lebih ditambah tanggungan sekitar Rp 373 juta. Pria 72 tahun itu ditahan dengan tuduhan telah berkolusi dengan pihak asing, suatu pelanggaran terhadap Undang-Undang Keamanan Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan wartawan dan simpatisan menyambutnya. Mereka berseru: “Dukung Apple! Dukung sampai akhir!” Lai hanya melambaikan tangan dan langsung masuk ke mobil. Dia baru buka suara pada Kamis pagi, 13 Agustus lalu, dalam siaran daring (online) yang diasuh The Heritage Foundation, lembaga penelitian yang berbasis di Washington, DC, Amerika Serikat. Dia berharap sikap Cina akan berubah karena tindakan mereka “bertentangan dengan nilai-nilai internasional”. “Jika kita tidak mengubah (Cina), dunia tak akan damai,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jimmy Lai ditahan polisi pada Senin, 10 Agustus, bersama sembilan orang lain di tempat yang berbeda. Polisi menciduk Lai pada pagi hari di kediamannya di Ho Man Tin. Dua putranya, Timothy dan Lai Kin-yan, juga diangkut. Polisi kemudian menahan sejumlah pejabat Next Digital, induk perusahaan Apple Daily. Sorenya, polisi menangkap Agnes Chow dan Wilson Li, keduanya aktivis Scholarism, organisasi mahasiswa prodemokrasi yang kini telah dibubarkan. Andy Li, anggota Misi Pemantau Pemilihan Umum, juga ditangkap. Dakwaan terhadap mereka semua sama: berkolusi dengan pihak asing.
Pada hari itu, 200 personel polisi juga menggerebek kantor Apple Daily di Tseung Kwan O, operasi kepolisian terbesar sejak Undang-Undang Keamanan Nasional diterapkan Beijing di kota itu pada 30 Juni lalu. Mereka menggeledah kantor itu sambil menggiring Jimmy Lai. Beberapa wartawan media itu menayangkan siaran langsung penggerebekan tersebut.
Tindakan polisi menuai banyak protes. Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo mengatakan Cina telah menghapus kebebasan Hong Kong. Partai Demokratik Hong Kong menilai penggerebekan itu menunjukkan bahwa kebebasan pers dan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang Dasar sedang dalam bahaya. Serikat Jurnalis Nasional Inggris (NUJ) dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mengecamnya dan menuntut pemerintah mencabut dakwaan terhadap Jimmy Lai.
Leo Tang Kin-wa, peneliti pada Konfederasi Serikat Buruh Hong Kong (HKCTU), mengatakan penangkapan itu menunjukkan bahwa pemerintah Cina kini tidak hanya menyasar politikus terkenal, tapi juga keluarganya dan pers. “Ini tipikal cara Partai Komunis Cina untuk menekan masyarakat sipil,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 13 Agustus lalu. “Ini melanggar kebebasan pers yang sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu.”
Aksi protes undang-undang anti-ekstradisi di Hong Kong, Cina, 2019. Reuters/Tyrone Siu
•••
JIMMY Lai Chee-ying lahir di sebuah desa di Provinsi Guangdong, Cina, pada 8 Desember 1948. Setelah Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zedong berkuasa pada 1949, penduduknya berbondong-bondong pindah ke Hong Kong. Hingga 1970-an, sekitar seribu migran Cina diperkirakan telah membanjiri kota yang dikuasai Inggris itu. Saudara kembar Lai termasuk para “perenang kebebasan”, orang-orang yang berenang sejauh 4 kilometer melintasi Teluk Dapeng dan Shenzhen menuju Hong Kong dengan risiko tenggelam atau ditembak Tentara Pembebasan Rakyat, militer Cina. Saudaranya kini menjadi pengusaha properti di Kanada. “Hong Kong adalah tanah kesempatan,” kata Lai kepada CNN.
Pada usia 12 tahun, Lai kabur dari Cina daratan dengan menjadi penumpang gelap kapal nelayan. Di Hong Kong, dia bekerja di sebuah pabrik garmen dengan gaji US$ 8 sebulan, setara dengan Rp 1 juta saat ini. Dia bersama 10 migran lain tinggal di sebuah rumah susun di daerah kumuh Sham Shui Po. Setelah pelan-pelan belajar bahasa Inggris dan bisnis, ia dipromosikan sebagai manajer penjualan dan mulai membuka toko sendiri.
Suatu hari, saat mengambil sampel kain di New York, Lai membeli pizza. Di serbetnya ada tulisan “Giordano”. Kata itulah yang digunakannya sebagai merek jaringan toko pakaian pria, perusahaan pertama yang membuatnya kaya. “Saya cukup bodoh untuk berpikir bahwa bila namanya Giordano, orang akan mengira ini merek Italia,” ujarnya. Usahanya berhasil. Pada 1999, dia punya 191 gerai yang menjual 9 juta pakaian setiap tahun dengan penghasilan sekitar Rp 314,5 miliar.
Pada 1989, ketika terjadi pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen, Beijing, Lai turut berunjuk rasa. Giordano mulai memproduksi kaus dengan slogan-slogan pro-mahasiswa. Lai mengaku tidak berpolitik, “Tapi saya selalu memiliki kerinduan yang sangat kuat terhadap kebebasan karena pengalaman saya di Cina.”
Penggrebekan disertai pemeriksaan kantor redaksi Apple Dailiy oleh polisi Hong, di Hong Kong, Cina, 10 Agustus 2020./Reuters/Apple Daily
Suatu hari ia diwawancarai wartawan lokal Teresa dan keduanya kemudian menikah. Lai lalu menerbitkan majalah mingguan Next Magazine. Namanya mulai kondang ketika pada 1994 dia menulis kolom di sana yang menggambarkan Perdana Menteri Cina Li Peng sebagai “anak telur kura-kura dengan IQ nol”, ledekan yang sangat menghina di Negeri Tirai Bambu. Beijing mencabut izin Giordano dan Lai terpaksa menjual sahamnya di perusahaan itu.
Lai lalu meluncurkan koran Apple Daily, yang namanya dipungut dari apel terlarang dalam kisah Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Dengan harga murah, foto-foto besar, berita sensasional, serta hadiah kaus dan poster, korannya langsung meledak. Pada hari pertama penjualannya menembus 200 ribu eksemplar dan menjadikannya surat kabar kedua dengan penjualan tertinggi setelah Oriental Daily. Pada 2008, Lai sudah menjadi raja media dengan kekayaan US$ 1,2 miliar, menurut daftar orang terkaya versi Forbes.
Apple Daily terus mempertahankan jurnalistik sensasionalnya dengan melansir berita kontroversial secara bersambung, dari kriminal hingga unjuk rasa. Ketika media lain enggan berhadapan dengan Beijing, media itu menjadi satu-satunya yang rutin mengkritik Cina. “Mereka begitu takut kepada komunis. Mereka membiarkan pasar media independen hampir seluruhnya untuk saya,” kata Lai.
Leo Tang Kin-wa, peneliti HKCTU, mengatakan Apple Daily begitu terkenal dalam demokratisasi di Hong Kong. “Tentu ada nilai-nilai kapitalisme di pasar,” ucapnya. Tapi koran itu dan versi daringnya telah menyokong gerakan demokrasi, seperti memberitakan terus unjuk rasa pada 2015, Revolusi Payung, dan demonstrasi antirevisi Undang-Undang Ekstradisi pada tahun lalu. “Ini menjelaskan mengapa Apple Daily menjadi sasaran Beijing.”
Jimmy Lai bahkan ikut berunjuk rasa dalam Revolusi Payung pada 2014. Pada Desember tahun itu, dia melepas kursi direktur utama Next Media, tapi masih mempertahankan sahamnya. “Sebagai pribadi, saya bisa menjadi yang terdepan dalam gerakan seperti ini semau saya. Tapi itu tidak berarti perusahaan media saya juga begitu,” katanya kepada Nikkei Asian Review.
Namun, pada Senin itu, polisi Hong Kong menggeledah kantor Apple Daily dan menyita 30 kotak dokumen dari ruang redaksi. Mereka mengatakan bahwa penahanan Lai berhubungan dengan sebuah akun bank asing yang diduga memberikan dukungan keuangan kepada gerakan prodemokrasi.
Esoknya, media itu terbit dengan sampul foto Jimmy Lai terborgol dengan judul “Apple Daily harus berjuang terus”. Koran itu dicetak 500 ribu eksemplar, lima kali lipat dari biasanya, dan ludes diborong pembaca yang bahkan harus antre untuk membelinya. Harga saham Next Digital melonjak empat kali lipat di bursa saham, dari HK$ 0,255 menjadi HK$ 1,1. Pelanggan daringnya juga dilaporkan bertambah 20 ribu.
Menurut Leo Tang, ini pesan masyarakat yang jelas kepada Jimmy Lai dan wartawan Apple Daily bahwa mereka tak takut kepada pemerintah Beijing. Dia mengakui keadaan sekarang makin menyulitkan warga Hong Kong. Tapi, “Kami percaya bahwa orang Hong Kong akan terus berjuang untuk demokrasi.”
IWAN KURNIAWAN (BBC, HONG KONG FREE PRESS, SOUTH CHINA MORNING POST, CNN, NIKKEI ASIAN REVIEW)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo