Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Perancang Protokol Uji Klinis Vaksin

Satria Arief Prabowo terlibat dalam pengembangan beberapa vaksin di Eropa. Ia ikut merancang protokol pelaksanaan uji klinis vaksin oral Covid-19.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Satria Arief Prabowo belum genap berusia 26 tahun ketika memperoleh gelar doktor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.

  • Satria menjadi anggota pengembangan vaksin oral untuk Covid-19 dan tuberkulosis di Inggris.

  • Ia dipinang WHO untuk menyusun pedoman penanganan tuberkulosis resistan obat untuk anak dan remaja di Eropa.

DUA hari dalam sepekan, Satria Arief Prabowo menempuh perjalanan sekitar sejam dari tempat tinggalnya di London ke kantornya di Winchester, Inggris. Sebagai konsultan di lembaga riset Immunitor Ltd, ia dan anggota tim lain mesti merancang protokol pelaksanaan uji klinis vaksin oral Covid-19 yang dikembangkan anak perusahaan farmasi Immunitor Inc tersebut. “Pada hari lainnya, saya koordinasikan pekerjaan dari rumah,” kata Satria melalui panggilan WhatsApp, Kamis, 13 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Immunitor tengah mengembangkan vaksin oral tuberkulosis dan Covid-19. Satria terlibat dalam riset dua vaksin tersebut. Vaksin itu mereka ciptakan dalam bentuk tablet minum sehingga lebih nyaman dikonsumsi dan bisa diberikan kepada lebih banyak orang dalam waktu lebih singkat dibanding vaksin suntik. Vaksin penyakit akibat virus corona baru yang mereka namai V-SARS-Covid-19 dirancang khusus agar bisa diberikan kepada orang yang masih sehat guna mencegah serangan Covid-19 serta orang yang sudah telanjur sakit untuk mempercepat penyembuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satria, 27 tahun, dokter lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, bertugas membuat protokol uji klinis V-SARS-Covid-19 dan memonitor pelaksanaannya. Uji klinis fase pertama dan kedua akan dilakukan di Rusia, Cina, Inggris, dan Mongolia sampai akhir tahun ini. Ia juga mengupayakan uji klinis tersebut dilakukan di Surabaya. Immunitor menjalin kerja sama dengan Institute of Tropical Disease (ITD), Unair, dan mereka sedang mengurus izin etiknya. “Mudah-mudahan segera bisa kami mulai dalam beberapa minggu sampai bulan ke depan,” ujarnya.

Kepala ITD Maria Inge Lusida mengatakan sudah berkontak dengan Satria untuk merancang kerja sama sejak tahun lalu. Ketika itu, mereka berniat menghubungkan ITD dengan London School of Hygiene and Tropical Medicine, kampus tempat Satria menempuh studi doktoral. Namun, lantaran keduanya sibuk, niat itu belum terlaksana. Ketika Covid-19 menyerang, keduanya sepakat menghubungkan ITD dengan Immunitor untuk bekerja sama mengatasi pandemi. “Tentu banyak peneliti selain Satria dan saya yang terlibat,” katanya.

Selain menjadi konsultan untuk V-SARS-Covid-19, Satria menjadi rekanan peneliti untuk pengembangan vaksin tuberkulosis bernama RUTI. Vaksin tersebut dikerjakan perusahaan Archivel Farma, yang berbasis di Barcelona, Spanyol, dan London School of Hygiene and Tropical Medicine. RUTI saat ini menjalani uji klinis fase kedua di Ukraina untuk pasien tuberkulosis yang sudah resistan obat. “Saya memonitor perkembangan uji klinisnya dan 23 Agustus nanti saya ke Ukraina,” tuturnya.

Satria mengatakan RUTI juga berpotensi mengatasi Covid-19 karena vaksin tersebut tak hanya dapat melindungi pasien dari penyakit utama, tapi juga penyakit lain yang sama-sama menyerang saluran pernapasan. Uji klinis RUTI untuk Covid-19 sedang berjalan di Barcelona.

Satria termasuk peneliti termuda, baik dalam tim V-SARS-Covid-19 maupun RUTI. Rekan penelitinya rata-rata berusia hampir 30 tahun. Sedangkan untuk peneliti senior, umurnya di atas 40 tahun. “Tapi satu hal yang saya apresiasi dari negara maju adalah semua dinilai berdasarkan kapabilitas. Dalam arti, jika seseorang dinilai mampu, usia bukan merupakan hambatan,” ujarnya.

Usia muda ini pula yang membuat Satria memecahkan rekor sebagai doktor termuda Indonesia bidang ilmu kedokteran pada Oktober 2019 versi Museum Rekor-Dunia Indonesia. Ia tercatat menerima gelar doctor of philosophy dari London School of Hygiene and Tropical Medicine pada 2018 ketika usianya belum genap 26 tahun.

Ia bisa lulus begitu cepat karena saat di sekolah menengah pertama dan atas masuk kelas akselerasi. Walhasil, Satria sudah mengambil kuliah pendidikan kedokteran Unair ketika usianya belum sampai 16 tahun. “Saat SMP, saya ikut tes IQ untuk seleksi kelas akselerasi. Saya baru tahu IQ saya 150. Psikolog yang memberikan bimbingan mengatakan saya tergolong anak gifted,” tuturnya. Sang psikolog menyarankan Satria memanfaatkan bakatnya ke hal yang produktif.

Evy Tjahjono, psikolog yang mengetes Satria saat itu, lupa berapa skor IQ Satria. Namun ia masih ingat, saat bimbingan itu, Satria sudah terbilang matang untuk anak seusianya. “Dia sudah tahu ingin ke mana. Dia sudah merencanakan, setelah lulus S-1, akan lanjut ke S-2,” kata Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu.

Satria, yang tertarik dengan cara kerja tubuh manusia, memilih mengambil kuliah kedokteran. Ia lulus sebagai mahasiswa terbaik di Fakultas Kedokteran Unair pada 2012. Prestasi itu membuatnya dipilih kampusnya mendapat beasiswa magang dari University of Groningen, Belanda. Ia mengikuti program pelatihan untuk penyakit menular, vaksinasi, dan tuberkulosis selama enam bulan di universitas tersebut.

Dalam pendidikan itu, ia dikenalkan dengan para peneliti dari konsorsium TuBerculosis Vaccine Initiative (TBVI), yang melibatkan 45 lembaga di lebih dari 20 negara. Mereka mengembangkan vaksin baru untuk penyakit tersebut. Satria bergabung dalam konsorsium itu dan banyak belajar dari mereka. Setelah ia pulang dan mengambil program profesi kedokteran, dua tulisannya diunggah di jurnal internasional yang terindeks di PubMed.

Bermodal dua tulisan tersebut serta rekomendasi pakar penyakit infeksi dan tuberkulosis dari University Medical Center Groningen, Tjip van der Werf, Satria masuk program doktoral di London School of Hygiene and Tropical Medicine pada 2014—tanpa memiliki gelar master. Ia kembali berfokus meneliti tuberkulosis.

Satria mempresentasikan hasil risetnya di beberapa kongres internasional bergengsi, seperti European Society for Paediatric Infectious Diseases di Madrid, Spanyol, pada Mei 2017, dan World Global Forum for Tuberculosis Vaccines di New Delhi, India, pada Februari 2018. “Saya telah berkeliling ke 51 negara, mayoritas dalam rangka keperluan riset dan kegiatan akademis,” ujarnya.

Keaktifannya itu membuat Satria dipinang Martin van den Boom, koordinator di kantor Badan Kesehatan Dunia (WHO) Eropa. Ia diminta menjadi salah satu ahli yang menyusun pedoman penanganan tuberkulosis resistan obat pada anak dan remaja di wilayah Eropa. Buku tersebut sudah dipublikasikan tahun lalu di laman WHO. Makalahnya pun telah dipublikasikan di jurnal internasional The Lancet Child & Adolescent Health.

Karena prestasi itu, ia diundang menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan Unair pada 18 Agustus 2020. Satria diminta membagikan pengalaman kariernya sebagai peneliti di luar negeri, keikutsertaannya dalam penyusunan pedoman penanganan tuberkulosis untuk WHO, sampai penelitian vaksin oralnya. Satria, yang lulus sekolah kedokteran tapi memilih berkarier sebagai peneliti, diharapkan bisa menjadi contoh untuk para juniornya. “Indonesia butuh inovator di bidang kesehatan,” kata Elly Munadziroh, Ketua Pusat Pembinaan Karier, Kewirausahaan, dan Hubungan Alumni Unair.

Selain menggarap risetnya, Satria kini sedang mempersiapkan diri untuk masuk program pendidikan dokter spesialis. Ia berencana mengambil spesialisasi ilmu kesehatan anak di salah satu rumah sakit pendidikan di London. Menurut dia, ilmu tersebut akan membantunya dalam penelitian vaksin.

Meski memilih berkarier sebagai peneliti di luar negeri, Satria yakin apa yang dia lakukan bermanfaat untuk Indonesia. Dengan sumber daya yang lebih mumpuni di negara maju, ia justru lebih leluasa melakukan penelitian yang hasilnya bisa sampai ke Tanah Air. “Dan harapan saya banyak dokter yang terlibat dalam riset, terutama riset internasional,” katanya.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus