Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan pembelajaran jarak jauh selama pandemi telah membuat para guru di daerah kelimpungan.
Tidak meratanya akses Internet, keterbatasan ekonomi guru dan orang tua siswa, serta tidak adanya kurikulum darurat membuat pembelajaran jarak jauh tak berjalan maksimal.
Seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, PGRI akhirnya memutuskan keluar dari Program Organisasi Penggerak yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
KEPUTUSAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menerapkan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 berbuntut panjang. Kebijakan itu telah membuat banyak guru, terutama di daerah, kelabakan dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring (online). “Mereka tidak siap dan bingung,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 11 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menghadapi kendala akses Internet dan gagap teknologi, para guru mengeluhkan ketidaktahuan akan metode pembelajaran jarak jauh yang efektif. Dalam banyak kasus di daerah, kegiatan transfer ilmu tidak melibatkan interaksi langsung antara guru dan siswa. Komunikasi berlangsung searah karena guru memilih menyampaikan materi dan tugas lewat aplikasi pesan instan yang lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unifah, 58 tahun, mengatakan persoalan pembelajaran jarak jauh makin pelik karena pemerintah tak segera menyediakan kurikulum khusus untuk masa pandemi. Akibatnya, guru harus memenuhi standar kompetensi dasar siswa di tengah keadaan tak normal. “Kami sudah meminta Kementerian membuatkan kurikulum sekolah era pandemi sejak Maret lalu,” ujarnya.
Unifah menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, di kantornya. Ibu dua anak yang tahun lalu dikukuhkan menjadi guru besar Universitas Negeri Jakarta ini menceritakan kendala pembelajaran jarak jauh, alasan di balik mundurnya PGRI dari Program Organisasi Penggerak, hingga soal PGRI yang kerap didekati kandidat yang berlaga dalam pemilihan umum.
Bagaimana evaluasi PGRI terhadap pelaksanaan pembelajaran jarak jauh?
Ada beberapa problem besar. Mungkin hanya 60 persen wilayah yang terjangkau jaringan Internet. Belum lagi berbicara tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Ketidakmerataan antara daerah perkotaan dan perdesaan, antar-daerah perdesaan, bahkan di provinsi besar masih nyata terjadi. Ada juga faktor kesiapan guru.
Seberapa siap guru di daerah melaksanakan pembelajaran daring?
Selama ini mainstream kita adalah pembelajaran langsung. Kita hampir tidak pernah melatih guru menggunakan pembelajaran jarak jauh. Bagaimana guru harus menguasai gawai, memahami substansi, merancang pembelajaran yang berkualitas dengan interaksi yang minim antara guru dan siswa. Ini yang sering disorot.
Bagaimana reaksi guru di daerah saat Menteri Nadiem mengumumkan kebijakan belajar dari rumah, Maret lalu?
Mereka tidak siap dan bingung. Banyak yang mengeluh tidak tahu bagaimana itu pembelajaran jarak jauh. Akses Internet juga enggak ada.
Dalam praktiknya, banyak siswa mengeluhkan tugas yang menumpuk dan waktu pengerjaan yang singkat. Seperti apa yang terjadi di lapangan?
Betul sekali. Para guru umumnya tak pernah diberi pelatihan tentang pembelajaran jarak jauh yang efektif. Dalam banyak kasus, guru dan siswa hanya berkomunikasi lewat pesan WhatsApp supaya menghemat kuota Internet. Itu paling murah, kan. Tapi guru tak bisa mengecek keterlibatan siswa. Kalau kita ingin pembelajaran jarak jauh berjalan efektif, setidaknya perlu tiga hal, yaitu infrastruktur Internet, kesiapan dan kurikulum yang memadai, serta kebijakan yang terfokus.
Apakah Kementerian tidak pernah mengkomunikasikan kebijakan belajar dari rumah dengan PGRI?
Komunikasi publik Kementerian sekarang menjadi catatan kami. Kami selalu mengingatkan, pendidikan tidak bisa sendiri. Pendidikan harus mendengar. Pendidikan tidak bisa elitis, hanya dipotret dari Jakarta. Tapi barangkali (Menteri Nadiem) belum sempat bertemu dengan kami karena banyak urusan. Tapi, bagi kami, diajak atau tidak diajak tidak menjadi persoalan penting.
Apa bentuk dukungan PGRI terhadap para guru yang menghadapi kendala?
Pada April lalu, kami mengumpulkan para pengurus PGRI untuk membuat pusat krisis. Tujuannya untuk membantu masyarakat, orang tua, khususnya guru. Banyak guru yang kesulitan secara ekonomi karena berstatus honorer. Kami menggalang dana untuk mereka. Lalu dengan PGRI Smart Learning and Character Center yang ada sampai di kabupaten/kota, kami membantu para guru membuat pelatihan yang dibutuhkan dalam konteks belajar jarak jauh.
Materi pelatihannya apa saja?
Misalnya bagaimana merancang pembelajaran jarak jauh yang baik, evaluasinya, cara melibatkan siswa. Sering para guru kesulitan melibatkan siswa. Contohnya tentang sampah, kita bisa mengajak siswa belajar dari berbagai sudut pandang pelajaran. Guru bisa bertanya kepada siswa, sebaiknya sampah ini diapakan? Topik dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan capaian siswa.
Jumlah kasus Covid-19 masih terus meningkat di banyak daerah. Apakah kegiatan belajar daring perlu diperpanjang?
Iya, bisa terus atau dikombinasikan (dengan tatap muka). Kita sudah memasuki era normal baru dan tidak bisa memprediksi kapan Covid-19 berakhir. Dengan begitu, situasi kedaruratan harus selesai pada Desember mendatang. Makanya pemerintah harus berfokus. Misalnya menambah jaringan Internet. Saya pernah ngobrol dengan beberapa kepala daerah. Masyarakat dan dunia usaha diajak bergotong-royong. Contohnya, ada salah satu kampung di Jawa Timur bisa punya warung belajar.
Bagaimana dengan kurikulum khusus untuk pembelajaran daring?
Kami telah mengajukan permintaan sejak Maret lalu untuk dibuatkan kurikulum khusus. Kami menyebutnya kurikulum sekolah era pandemi. Kami sudah bolak-balik menyampaikan ke Kementerian sampai kasip.
Apakah PGRI sudah membawa konsep kurikulumnya saat mengusulkan ke Kementerian?
Kalau konsep, ada Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Kami menyampaikan, dalam keadaan darurat ini, harus ada panduan untuk guru. Kami menyebutnya panduan karena awalnya kebijakan pemerintah itu diserahkan kepada guru. Yang penting pendidikan bermakna. Apa sih yang disebut bermakna? Masih diperdebatkan.
Bagaimana bentuk komunikasi PGRI dengan Kementerian?
Kami sering berkirim surat.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi (kiri) memakaikan jaket PGRI ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (tengah) saat acara puncak peringatan HUT ke-74 PGRI di Stadion Wibawa Mukti Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 30 November 2019. Antara
Apakah Kementerian akhirnya membuat panduan yang diminta PGRI?
Akhirnya ada panduan. Semacam bimbingan untuk pembelajaran di era pandemi. Tapi belum spesifik. Di dalamnya ada Kurikulum 2013 dan kurikulum darurat, tapi belum ada lampirannya. Jadi disuruh memilih.
(Pemerintah merilis dokumen Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 pada 7 Agustus lalu yang berisi antara lain pemetaan kendala yang dihadapi guru, orang tua, dan siswa setiap jenjang pendidikan selama pembelajaran jarak jauh. Dokumen juga membahas perluasan pembelajaran tatap muka untuk wilayah zona kuning serta opsi kurikulum darurat dan modul pembelajaran hasil penyederhanaan kompetensi dasar yang mengacu pada Kurikulum 2013.)
Bagaimana tanggapan guru terhadap panduan itu?
Di dalam panduan disampaikan dua kurikulum. Kira-kira bikin bingung enggak? Padahal ini situasi darurat. Kenapa tidak ditegaskan saja bahwa ini kurikulum darurat yang dibutuhkan supaya semua daerah mencapai standar minimum. Lalu daerah bisa menambahkan sesuai dengan kurikulum nasional atau konteks kedaerahan. Jadi para guru di daerah punya gambaran karena itu penting. Di era pandemi jangan sampai terjadi defisit dalam kapasitas pengetahuan yang dicapai siswa ataupun defisit kompetensi guru karena tidak pernah dilatih.
PGRI memutuskan mundur dari Program Organisasi Penggerak setelah mendapat masukan dari anggota dan pengurus daerah. Apa saja masukan tersebut?
Kami, dalam mengambil keputusan, selalu bottom-up dan kolektif kolegial. Kami undang pengurus daerah untuk berbicara sehingga semua tahu kami adalah kekuatan moral intelektual, bukan kekuatan politik. Soal Program Organisasi Penggerak, kami tak bermaksud tidak setuju. Kami menganggap waktunya tidak tepat. Bisa dibayangkan, dalam keadaan susah tiba-tiba menerima uang sangat besar. Apakah organisasi yang lolos itu punya kapasitas melatih guru? Kami juga menyampaikan ada potensi konflik kepentingan dan fraud.
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan ada 183 proposal dari 156 organisasi yang lolos seleksi Program Organisasi Penggerak. Organisasi-organisasi itu akan mendapat bantuan yang dibagi berdasarkan tiga kategori, yaitu Gajah yang memperoleh bantuan maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar, dan Kijang Rp 1 miliar.)
PGRI menilai ada potensi kecurangan dari program itu. Apa dasarnya?
Karena ada uang besar yang disalurkan. Nanti kami yang bertanggung jawab. Lalu uang besar itu untuk pelatihan. Coba bayangkan, waktunya sebentar, kami juga tidak tahu bagaimana mekanismenya. Bisa jadi kami selesai dulu melaporkan administrasinya tapi sebenarnya pekerjaan belum selesai. Kami bukannya kagum melihat uang besar itu, tapi kami mempertimbangkan soal integritas.
Apakah guru memang memerlukan Program Organisasi Penggerak?
Tujuannya untuk meningkatkan kompetensi guru dan kepala sekolah. Kalau kita mau efektif dan efisien, ada banyak lembaga yang selama ini meningkatkan kompetensi guru. Misalnya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan serta Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Ada di semua provinsi. Mereka seharusnya bisa diberdayakan.
Masukan PGRI terhadap Program Organisasi Penggerak seperti apa?
Kami minta dilakukan evaluasi secara komprehensif, termasuk rekrutmen baru. Sebuah program harus jelas konsepnya. Rekrutmennya harus transparan, akuntabel, dan konsisten. Kalau kita mau melatih guru, harus jelas apa yang dilatih. Apakah numeracy, literacy, atau karakter.
Komisi Pemberantasan Korupsi tengah memantau Program Organisasi Penggerak dan menilai proses verifikasinya tidak memadai. Tanggapan Anda?
Pada Senin lalu, kami mengikuti audiensi secara online dengan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dan diminta memberikan pandangan terhadap Program Organisasi Penggerak. Saya memberikan paparan. Selebihnya saya serahkan kepada semua pengurus PGRI provinsi untuk berbicara. Harapannya, bisa menangkap problem riil di lapangan mengapa kami tidak ikut program ini.
Apa saja yang disampaikan kepada KPK?
Banyak hal. Salah satu yang kami soroti adalah pemerintah jangan sampai membuat pernyataan yang menyebabkan guru berhadapan dengan orang tua. Contohnya disfungsi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai politik anggaran yang populis. BOS sudah tertera untuk apa saja, tiba-tiba sekarang untuk membeli pulsa. Duitnya enggak ada. Orang tua beramai-ramai mendatangi guru dan kepala sekolah. Yang seperti ini tidak boleh terjadi.
(PGRI menyerahkan dokumen setebal 11 halaman berisi pandangan dan sikapnya mengenai Program Organisasi Penggerak kepada KPK pada 10 Agustus lalu. Dalam salinan dokumen yang diterima Tempo, PGRI antara lain menyampaikan kronologi keikutsertaan hingga mundurnya organisasi itu dari program, alasannya, dan masukan untuk evaluasi proposal program tersebut.)
Kekurangan guru saat ini mendekati angka 1 juta. Dalam data yang diperbarui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018, kekurangan guru mencapai 700 ribu.
Benarkah PGRI sempat mengikuti seleksi Program Organisasi Penggerak?
Kami mendaftar online sejak Maret lalu. Kami punya banyak anggota dan pengurus di bawah. Ikutlah ramai-ramai. Tapi PGRI berguguran karena badan hukumnya satu. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kurang-lebih sama. Tiga organisasi ini ditolak karena persoalan badan hukum. Padahal kami sudah ada sejak zaman dulu.
Bagaimana reaksi PGRI saat itu?
Kami sempat resah. Sebab, jangan sampai anggota PGRI di bawah enggak dapat. Akhirnya saya telepon sendiri panitianya. “Ini serius PGRI mau ditolak?” Kami sempat ditangguhkan dua hari sebelum akhirnya diterima. Setelah diverifikasi ketat, kami dinyatakan lolos dan mendapat dua Gajah. Tapi, saat mau masuk ke program, kami berdebat di lingkup internal. Ada yang menanyakan soal pertanggungjawaban uang sebesar itu. Apakah kami bisa mengikuti standar akuntansi pemerintah?
Seperti apa perdebatan di PGRI?
Ada pro-kontra. Saya pribadi tidak cocok dengan program itu. Tapi ada teman-teman lain yang sudah bekerja keras sejak Maret untuk mengurus pendaftaran. Akhirnya kami rapat pleno. Saat dibawa ke pengurus PGRI tingkat provinsi, semua bulat meminta mundur dari program itu. Mereka mengatakan PGRI kan organisasi penggerak sejak sebelum revolusi kemerdekaan. Kami juga sudah punya pelatihan-pelatihan dengan lima negara selama 20 tahun, dengan PGRI-nya Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Swedia, dan Jepang.
Setelah memutuskan mundur, apakah PGRI membebaskan para guru mengikuti pelatihan dari Program Organisasi Penggerak?
PGRI tidak melarang. Guru punya independensi dan otonomi untuk memilih. Apalagi untuk kepentingan mereka.
Bagaimana nasib guru honorer di sejumlah daerah yang sudah bertahun-tahun bekerja tapi statusnya tidak berubah?
Sedih. Saya susah kalau ngomong di dunia internasional. Di luar negeri disebutnya contract teachers. Tapi itu berbeda dengan honorer. Tata kelola guru harus diperbaiki. Dari 3,4 juta guru, hanya 1,2 juta yang berstatus pegawai negeri sipil. Selebihnya guru honorer atau swasta. Untuk menghentikan laju guru honorer, harus dibikin peraturan yang membolehkan daerah mengangkat guru honorer. Sekolah tidak boleh. Tapi kekurangan guru di sekolah dicukupi. Sekarang daerah tidak boleh mengangkat guru honorer karena ada aturan moratorium pengangkatan guru. Di sisi lain, terjadi defisit guru yang luar biasa.
Berapa jumlah kekurangan guru saat ini?
Kekurangan guru saat ini mendekati angka 1 juta. Dalam data yang diperbarui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018, kekurangan guru mencapai 700 ribu.
Apa upaya PGRI untuk memperbaiki nasib guru honorer?
Kami melihat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara tidak memungkinkan mereka diangkat semena-mena. Harus pakai tes. Kami melobi pemerintah bahwa ini sangat penting dan keluarlah Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja. Setelah itu, kami minta lagi kepada pemerintah agar guru honorer berusia 35 tahun ke atas boleh dites oleh sesama honorer supaya memberikan ruang kepada mereka. Itu perjuangan kami.
Sejauh mana Kementerian melibatkan PGRI dalam menggodok berbagai kebijakan pendidikan?
Almost not. Saya kira terjadi pergeseran nilai. Tidak hanya terjadi pada PGRI. Jadi tidak adil kalau PGRI yang mengadili.
Bagaimana dengan menteri-menteri sebelumnya?
Biasanya para menteri datang ke sini (PGRI), berdiskusi dengan kami. Enggak ada menteri yang enggak datang ke sini. Pak Muhadjir Effendy berkali-kali datang. Pak Anies Baswedan juga. Saya sekarang berkali-kali mengirim surat meminta audiensi tidak diladeni.
Benarkah PGRI selalu didatangi kandidat presiden atau calon wakil presiden setiap kali menjelang pemilu?
Oh, selalu. Semua calon. Dan kami welcome mereka datang. Namanya orang bertamu. Tapi perhatikan adakah satu ucapan saya yang menyatakan Anda harus memilih kandidat tertentu? Enggak ada.
Apakah PGRI memberikan ruang untuk kampanye politik?
Sejak awal saya mengatakan kepada para guru untuk selalu berhati-hati. Kalau sampai guru diketahui punya aspirasi berbeda dengan kandidat pemenang, maka akan menjadi persoalan. Lebih baik posisi kami netral. Kami tidak mau jadi korban politik. Kami ingin memberikan pesan kepada masyarakat bahwa PGRI bukan gerakan politik. PGRI bukan jalan untuk mencapai tujuan politik.
UNIFAH ROSYIDI | Tempat dan tanggal lahir: Cirebon, Jawa Barat, 5 April 1962 | Pendidikan: S-1 Psikologi Pendidikan dan Bimbingan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1986), S-2 Administrasi Pendidikan dari IKIP Bandung (1993), Doktor Bidang Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (2007), Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (2019) | Karier: Dosen di Universitas Negeri Jakarta (sejak 1987); Wakil Direktur Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi UNJ (2002-2003); Ketua Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian UNJ (2002-2004); Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi Sertifikasi Guru, Konsorsium Sertifikasi Guru, Departemen Pendidikan Nasional (2008-2010); Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Kementerian Pendidikan Nasional (2010-2015) | Organisasi: Anggota Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (sejak 1988), Committee Member of Education International Asia-Pacific (2018-2020), Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (2017-2019, 2019-2024) | Penghargaan: Satya Lencana Karya Satya dari Presiden Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo