Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Slamet Iman Santoso pernah dimarahi Presiden Sukarno karena dianggap menciptakan aristokrasi intelektual.
Slamet berulang kali menyatakan pentingnya seleksi psikologis dalam penerimaan mahasiswa baru.
Sukarno memuji sistem penerimaan mahasiswa baru yang digagas Slamet.
SLAMET Iman Santoso terkaget-kaget saat tiba di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, pada minggu pertama Januari 1952. Baru saja pulang dari mengikuti seminar pendidikan di luar negeri, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu disambut Wakil Presiden Mohammad Hatta. Setelah bersalaman, Hatta meminta Slamet berpidato dalam dies natalis Universitas Indonesia di Fakultas Pendidikan Teknik UI di Bandung, kini Institut Teknologi Bandung. “Kenapa saya? Bukankah masih ada yang lainnya?” ujar Slamet seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Warna-Warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Slamet, saat itu Indonesia sudah memiliki sepuluh profesor. Masih ada juga puluhan profesor Belanda yang belum pulang ke negaranya. Hatta, kata Slamet, menjawab tak ada yang bersedia menyampaikan pidato akademis. Slamet sempat merengut. Namun akhirnya dia menyetujui permintaan Wakil Presiden. Selama sekitar tiga minggu, dia menyiapkan pidato akademis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Slamet Iman Santoso di antara para mahasiswa di Universitas Indonesia. Dokumentasi Yudistira Surjadi Slamet
Dalam pidatonya pada Februari 1952, Slamet membawakan makalah berjudul “Pemeriksaan Psikologis Sebagai Dasar untuk Sekolah” yang masih berupa tulisan tangan karena tak sempat ditik. Slamet menekankan pentingnya pemeriksaan psikologi untuk membantu pendidikan. Dia mengemukakan asas dasar the right man in the right place atau menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat.
Situs Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan pidato itu merupakan pengukuhan Slamet sebagai guru besar UI. Pidato itu pun dianggap sebagai titik awal pendidikan psikologi Indonesia. Putri pertama Slamet, Suprapti S. Markam, mengatakan salah satu alasan ayahnya menekankan pentingnya pemeriksaan psikologis adalah banyaknya mahasiswa drop out saat itu karena tak cocok dengan pendidikan yang dijalaninya. “Entah karena tidak berminat entah tidak memiliki kemampuan,” tutur Suprapti, yang kerap berdiskusi dengan ayahnya.
Namun pidato tersebut rupanya mengusik Presiden Sukarno, yang hadir dalam acara itu. Saat acara ramah tamah, Sukarno memanggil Slamet dan meminta dia tidak menciptakan intellectual aristocracy. Alasan Sukarno, pendidikan harus demokratis. Sukarno juga menegurnya karena menganggap dia terlalu perfeksionis. “Kalau saya mau mendidik mahasiswa secara perfect, apakah itu salah?” tulis Slamet dalam bukunya. Tapi Sukarno tak memberikan jawaban. Belakangan, setelah pidato itu, Slamet merasa banyak pihak menilainya sebagai aristokrat intelektual yang elitis.
Meskipun Sukarno terganggu, pidato itu menarik perhatian Presiden Universitas Indonesia Profesor Soepomo. Dia kemudian mengajak Slamet berdiskusi untuk mendirikan lembaga pendidikan psikologi. Setahun berselang atau tepatnya pada 3 Maret 1953, lembaga pendidikan itu berdiri. Kantornya berlokasi di Jalan Madura Nomor 49, kini Jalan Mohammad Yamin, Menteng, Jakarta Pusat. Pendirian ini tak membuat Slamet puas. Dia berancang-ancang membuat sistem pendidikan psikologi yang lebih komprehensif.
Ide merancang pendidikan kesarjanaan psikologi berlanjut setelah dia mendengar ada satu bagian di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—menyelenggarakan tes psikologi untuk menyeleksi siswa di bidang teknik. Seleksi ini dipimpin seorang ahli psikologi bernama Teutelink. Ada beberapa orang yang bekerja di panitia seleksi, seperti Fuad Hassan, Koestoer, Noerhadi, dan Warsito. Slamet pun mengajak nama-nama ini bergabung menyiapkan pendidikan psikologi.
Pada tahap awal, mereka membentuk lembaga setingkat sarjana muda dengan nama pendidikan asisten psikologi. Kalau rencana ini sukses, mereka berencana menaikkan statusnya menjadi program pendidikan psikologi. Jika tahap ini kembali berhasil dan bisa menelurkan sarjana, barulah mereka memakai nama fakultas psikologi. Tim itu enggan langsung menggunakan nama fakultas karena risikonya cukup besar jika gagal.
Prof Slamet Iman Santoso di kantornya, Jakarta, 1981. TEMPO/Saur Hutabarat
Awalnya Slamet menginginkan ilmu psikologi berada di bawah fakultas sastra. Alasannya, psikologi memiliki hubungan erat dengan kebudayaan, antropologi, bahasa, dan kesukuan. Usul itu ditolak oleh Fakultas Sastra dengan alasan gagasan tersebut diajukan oleh dokter maka lebih pas ditempatkan di bawah Fakultas Kedokteran. Slamet sempat mangkel terhadap penolakan ini. Dia pun melambung ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pejabat di sana justru mengusulkan agar langsung menggunakan nama fakultas psikologi. “Mengapa tidak berani?” kata Slamet menirukan ucapan pejabat tersebut seperti tertulis dalam bukunya.
Pada 1956, program pendidikan psikologi menghasilkan sejumlah lulusan. Kementerian Pendidikan menyatakan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dimulai pada 1 Juli 1960, dengan Slamet menjadi dekan pertama. Perjalanan Fakultas Psikologi UI tak selalu mulus. Suatu kali, Slamet menulis, mereka menghubungi Ford Foundation untuk membantu pembelian buku-buku psikologi. Ada 60 set buku yang dia ajukan. Slamet ingin mahasiswa belajar langsung dari buku-buku rujukan psikologi. Ford Foundation menyetujui usul ini. Namun, saat diajukan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, usul ini ditolak karena pembelian itu dianggap tidak perlu. “Saya kaget, bingung, dan mangkel,” ujar mantan pejabat Rektor UI yang menggantikan Soemantri Brodjonegoro yang meninggal pada 1973 ini dalam bukunya.
Kesuksesan Slamet mendirikan fakultas psikologi pertama di Indonesia membuat dia dijuluki sebagai Bapak Psikologi Indonesia. Putrinya, Suprapti S. Markam, termasuk generasi awal mahasiswa Fakultas Psikologi. Sedangkan Fuad Hassan, salah satu sarjana pendidikan psikologi pertama, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985 atau seperempat abad setelah Fakultas Psikologi Universitas Indonesia diresmikan.
•••
SLAMET Iman Santoso juga dikenal sebagai praktisi pendidikan. Dia menjadi peletak dasar sistem penerimaan mahasiswa baru. Putra keenam Slamet, R. Surjadi Slamet, menuturkan, ayahnya menganggap orang masuk universitas seperti menang lotere. Ketika ingin mengubah sistem ini dengan menyeleksi lulusan sekolah menengah atas, Slamet mendapat banyak tekanan. “Salah satunya parlemen,” kata Surjadi.
Gagasan Slamet untuk menyerentakkan penerimaan mahasiswa baru sebenarnya terentang sejak 1950. Di zaman Jepang dan NICA, ia pernah menjadi guru sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Karena itu, Slamet mengetahui kualitas lulusan sekolah menengah saat itu. Pernah suatu ketika dia mengkritik kebijakan Kementerian Pendidikan yang mengatrol nilai lulusan sekolah hingga dua poin. Slamet dalam bukunya, Warna-Warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso, menilai keputusan itu sebagai kebijakan politis yang tak masuk akal.
Slamet Iman Santoso (kanan) dan Sanyoto Subekti di Stadion Utama, Senayan, Jakarta. Dokumentasi Yudistira Surjadi Slamet
Slamet juga pernah mengikuti konferensi pendidikan tingkat SMA, yang diikuti 50 peserta. Dalam diskusi, dia mengusulkan agar hanya ada satu jenis SMA dengan bahasa, eksakta, dan logika sebagai tiang utama kurikulum. Hasil pemungutan suara dalam konferensi itu menunjukkan 49 orang menolak gagasan Slamet. Konferensi itu memutuskan SMA dibagi menjadi tiga, yaitu A (bahasa), B (ilmu pasti), dan C (sekolah menengah ekonomi atas). Kategori C sebenarnya memiliki dua jurusan, yaitu hukum dan ekonomi. “Tetapi karena kekurangan tenaga pengajar maka dijadikan satu,” kata Slamet dalam bukunya.
Persoalan lain pendidikan menengah kala itu adalah jumlah lulusan yang terlalu banyak dan kapasitas universitas amat terbatas. Pada 1955, misalnya, kuota mahasiswa di Universitas Indonesia hanya 600 orang dengan pelamar mencapai 3.000 lulusan. Mantan murid Slamet, Wilman Dahlan Mansoer, mengatakan gurunya tak ingin semua lulusan SMA masuk ke universitas. Menurut Wilman, Slamet berkeyakinan tak semua orang akan menjadi akademikus atau profesor.
Wilman bercerita, Slamet kerap menekankan pentingnya pendekatan psikologi dalam proses seleksi calon mahasiswa. Slamet ingin agar peserta didik memiliki kualifikasi dan spesialisasi. “Beliau ingin pelajar menjadi pintar agar tidak mudah dibodohi,” ucap Wilman, yang juga mantan Dekan Fakultas Psikologi UI.
Gagasan Slamet baru diterapkan pada 1963 dengan terjadinya pergeseran otonomi penerimaan mahasiswa baru dari fakultas ke universitas. Lulusan SMA cukup mengikuti seleksi di satu universitas untuk diterima di beberapa kampus, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Airlangga. Menurut putra keenam Slamet, Surjadi, ayahnya dibantu dua asisten untuk persiapan penerimaan mahasiswa baru ini. Mereka adalah Sanyoto Subekti dari Fakultas Ekonomi dan Dian Sigit dan Fakultas Teknik UI.
Sistem ini membuat lulusan SMA yang mengikuti ujian di Jakarta membeludak. Kapasitas kampus UI di Salemba dan Rawamangun tak cukup menampung jumlah peserta ujian. Menurut Slamet, pimpinan universitas kemudian menghubungi pengelola Stadion Senayan agar diperbolehkan memakai kawasan itu sebagai lokasi ujian. Pada 1964, Presiden Sukarno yang mendengar kabar ini pun menyetujui perubahan sistem itu. Sukarno berkata, seperti dikutip Slamet dalam bukunya, “Eenig in de wereld (Tidak ada duanya di dunia)!”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo