Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Standardisasi Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup menargetkan adopsi ekolabel Tipe III tercapai pada 2022.
Merupakan babak baru penerapan ekolabel tipe III di Indonesia.
Belum ditunjang infrastruktur basis data yang memadai.
BADAN Standardisasi Nasional menetapkan berlakunya Standar Nasional Indonesia International Organization for Standardization/Technical Specifications 14027:2017 per 20 September 2021. Penetapan SNI itu merupakan adopsi identik dari standar ISO/TS 14027:2017. SNI ini digadang-gadang sebagai dasar tumpuan bagi Indonesia untuk menerapkan ISO 14025 yang kerap disebut ekolabel tipe III.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Kukuh S. Achmad, SNI ISO/TS 14207 ini menjelaskan aturan spesifik, persyaratan, dan pedoman untuk mengembangkan deklarasi ekolabel tipe III. “Setelah adopsi ISO TS 14027, dan dilanjutkan dengan penyelesaian adopsi ISO 14025, BSN serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengembangkan skema deklarasi ekolabel tipe III,” kata Kukuh dalam jawaban tertulis, Jumat, 25 Februari lalu. “Deklarasi ekolabel tipe III melengkapi skema ekolabel tipe I dan II yang telah diterapkan di Indonesia.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekolabel adalah skema sertifikasi atau deklarasi sebuah produk—baik barang maupun jasa—yang menunjukkan produk tersebut diproduksi secara bertanggung jawab dan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan hidup. Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia Herryadi mengatakan setidaknya ada tiga aspek yang harus terpenuhi dalam proses yang bertanggung jawab tersebut. Hal itu adalah aspek kelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, dan keseimbangan ekonomi.
Sertifikasi ekolabel terbagi dalam tiga tipe. Ekolabel tipe I yang berbasis ISO 14024 merupakan sertifikasi berbasis multi-kriteria yang menilai penggunaan bahan baku, manajemen lingkungan, energi, dan kemasan. Ekolabel tipe II yang mengacu pada ISO 14021 menitikberatkan pada swadeklarasi klaim produk. Yang paling mutakhir adalah ekolabel tipe III yang berbasis ISO 14025.
Menurut Herryadi, ekolabel tipe III memiliki karakteristik yang sama dengan ekolabel tipe I. “Hanya, penilaian pada ekolabel tipe III benar-benar menelusuri keseluruhan daur hidup siklusnya, dari awal hingga produk tersebut tidak digunakan lagi, atau disebut life cycle assessment (LCA),” kata Herryadi.
Ia mencontohkan produk susu kemasan, yang tidak hanya dinilai dari bahan bakunya yang berupa susu sapi. Ekolabel tipe III akan mengukur luas lahan peternakan, pakan yang diberikan, lepasan metana yang dihasilkan dari peternakan, dan distribusi produknya. Ekolabel yang diperkenalkan pada 2006 ini juga menghitung jejak karbon dalam semua rantai produksi tersebut. Keseluruhan penilaian dilakukan secara kuantitatif.
Selepas ratifikasi ISO TS 14027:2017, Kukuh mengatakan, Badan Standardisasi Nasional akan berkonsentrasi penuh mengadopsi ISO 14025 menjadi SNI. “Yang diharapkan akan ditetapkan dalam 2022 ini,” tuturnya. Sementara itu, Komite Akreditasi Nasional akan bertanggung jawab dalam urusan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian yang mengoperasikan ekolabel tipe III, sesuai dengan persyaratan kompetensi ISO 14025.
Menurut Kukuh, untuk menerapkan ekolabel tipe III, diperlukan operator program yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan deklarasi. “Diperlukan pula pemeriksa independen yang akan memverifikasi deklarasi ekolabel tipe III yang diajukan oleh industri atau pelaku usaha,” ujarnya. Pemeriksa independen bisa berasal dari lembaga sertifikasi atau verifikasi yang telah diakreditasi untuk penilaian kesesuaian ekolabel tipe I atau setara.
Persoalannya, menurut peneliti dari Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup, Nugroho Adi Sasongko, Organisasi Perdagangan Dunia segera mengintegrasikan ekolabel tipe III ke dalam skema tarif dan pajak. Semula, menurut Nugroho, penerapannya akan dimulai pada 2020. Namun ditunda karena pandemi. “Implikasinya jika sudah berjalan adalah produk ekspor yang tidak memiliki ekolabel tipe III dapat dikenai pajak karbon di negara tujuan,” katanya.
Di Uni Eropa, pembahasan sertifikasi ekolabel tipe III telah dimulai pada 2001. Di Komisi Uni Eropa, muncul perdebatan mengenai kerahasiaan sistem produksi. Sebab, penerapan ekolabel tipe III yang menghitung secara kaku seluruh tahap produksi hingga emisi dan beban lingkungan yang ditimbulkan dianggap dapat membocorkan rahasia perusahaan. Jerman, Slowakia, Denmark, Finlandia, dan Swedia telah menerapkan ekolabel tipe III.
Dalam konteks Indonesia, ujar Nugroho, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki pasar ekspor akan terkena dampak langsung kebijakan ini. Ia mengatakan sertifikasi ekolabel tipe III memakan biaya mahal karena kompleksitas pengukurannya. Dia menyebut angka Rp 50 juta hingga ratusan juta rupiah, tergantung pada kompleksitas produksinya.
Selain ihwal biaya, Nugroho menyoroti belum adanya basis data inventaris nasional yang dapat menjadi tolok ukur penghitungan LCA. Padahal, dia menjelaskan, negara-negara tetangga sudah membangun basis data LCA. Malaysia, misalnya, membangun Malaysian Life Cycle Inventory Database sejak 2006. Thailand membangun Thai National Life Cycle Inventory Database sejak 2001. Adapun Jepang membangun basis data pada 1998 dan selesai pada 2002 dengan 20 ribu data.
Persoalan lain adalah skema adopsi aturan kategori produk (PCR) yang belum tentu sesuai dengan konteks Indonesia. Nugroho mencontohkan, brownies di Indonesia bisa dibuat dari tepung singkong, sementara dalam PCR, brownies terbuat dari tepung terigu. Karena itu, ia menyarankan pemerintah meminta asosiasi industri untuk mengidentifikasi PCR apa yang hendak dibangun.
Mengingat waktu yang terbatas, menurut Nugroho, pemerintah harus segera mensosialisasi ISO/TS 14027 tanpa terkecuali. Sembari berjalan, ia menyarankan pemerintah menggandeng para peneliti dan ahli untuk mulai membangun basis data. “Minimal ketika akan diterapkan kita sudah memiliki invetaris LCA untuk produk-produk ekspor terlebih dulu,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala BSN Kukuh optimistis target pengoperasian ekolabel tipe III tercapai pada 2022. Menurut dia, pengalaman Indonesia menerapkan ekolabel tipe I, tipe II, dan beberapa skema pelabelan untuk ekspor membuatnya optimistis persiapan menuju ekolabel III tak membutuhkan waktu lama.
Ia juga menekankan perancangan skema deklarasi tersebut mengacu seluruhnya pada standar internasional yang ditetapkan oleh ISO. Kesesuaian dengan praktik internasional ini dianggap sebagai upaya untuk memastikan kredibilitas deklarasi ekolabel tipe III di Indonesia. “Ini diperlukan mengingat besarnya potensi ekolabel tipe III dipergunakan sebagai persyaratan transaksi bisnis komoditas Indonesia di pasar global,” ucapnya.
Meski memiliki potensi untuk mendorong peningkatan ekspor, menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional Kukuh, SNI ekolabel pada dasarnya bersifat sukarela, bukan mandatory. Karena itu, kata dia, skema deklarasi juga harus mempertimbangkan potensi dan kapabilitas semua pihak terkait.
Dari Kayu Berganti Kelestarian
HAMPIR satu tahun berlalu sejak Sistem Verifikasi Legalitas Kayu berganti menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Perubahan ini diakomodasi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Di dalam standardisasi ekolabel, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia Herryadi, Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) merupakan salah satu jenis sertifikasi yang termasuk dalam kategori ekolabel tipe I. Ia mengatakan SVLK merupakan ekolabel yang memberikan petunjuk kepada konsumen bahwa furnitur dan kertas dihasilkan secara bertanggung jawab dan memiliki legalitas asal-usul yang sah.
Dalam peraturan yang terbit pada 1 April 2021 tersebut, yang berubah bukan hanya istilah SVLK. Peraturan itu menekankan penggunaan istilah perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang sebelumnya lebih dikenal sebagai izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Menurut Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan, PBPH dalam implementasinya mengubah sistem pengelolaan yang semula hanya mengatur usaha kayu menjadi multiusaha dengan memasukkan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Sebagai konsekuensi, HHBK ikut dalam SVLK yang membuat cakupan verifikasi dan sertifikat legalitasnya meluas. Persoalannya, penjaminan legalitas untuk ekspor hasil hutan nonkayu masih sumir. Pasal 232 ayat 3 aturan tersebut hanya menjelaskan dokumen penjaminan legalitas hasil hutan nonkayu, “sesuai dengan standar dan pedoman”, tanpa ada penjabaran.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Adrianus Eryan mengatakan masuknya HHBK ke SVLK bisa menjadi sinyal positif bagi perlindungan kelestarian hutan. Namun ia menekankan efektivitas implementasi SVLK dalam menjamin legalitas kayu ataupun nonkayu harus terus diawasi dan disikapi dengan kritis. “Alih-alih mengetatkan legalitas kayu, peraturan ini justru memperluas lingkup hasil hutan yang masuk dalam SVLK,” katanya.
Menurut Adrianus, ketika SVLK masih sekadar mencakup kayu, banyak kayu ilegal yang lolos dalam rantai pasok kayu. Akibatnya, menurut dia, tak ada perbaikan indikator pengetatan aspek legalitas di dalam peraturan itu untuk meningkatkan kredibilitas SVLK.
Seorang pengunjung pusat perbelanjaan menunjukan produk tissu bersertifikat ekolabel 1, di Jakarta, 26 Februari 2022. Tempo/Jati Mahatmaji
Menurut catatan JPIK, pelanggaran SVLK yang paling sering dilakukan oleh pemegang konsesi adalah penebangan kayu di luar rencana kerja tahunan, penebangan di luar area konsesi, dan dimanfaatkannya celah kelonggaran dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Kayu. Sistem ini berbasis persetujuan sendiri, tapi tanpa dibekali mekanisme evaluasi dan pemantauan terhadap laporan yang masuk. “Akibatnya, jumlah penerimaan kayu berbeda dengan jumlah kayu yang dijual,” ucap Ichwan.
Selain itu, dia menjelaskan, ada hal lain yang masih lemah. Ichwan memberi contoh perlindungan terhadap kayu-kayu yang dilindungi. Di dalam penyusunan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) atau Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), aturan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 ini belum mewajibkan satu pakem penamaan kayu, apakah menggunakan nama lokal atau nama ilmiah. “Ini berpengaruh untuk melihat jenis kayu tersebut dilindungi atau tidak,” tuturnya.
Selain mengubah akronim untuk menonjolkan kelestarian, kata “lestari” muncul dalam payung hukum di atasnya. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 ini berpayung hukum pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan aspek kelestariannya termaktub dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, menurut JPIK, aspek lestari seperti yang diidamkan masih belum kental. “Kelemahannya bukan pada SVLK-nya, tapi pada peraturan yang menaunginya,” kata Ichwan.
Menurut Ichwan, setidaknya ada tiga parameter kunci untuk mengukur prinsip kelestarian dalam usaha di sektor kehutanan. “Tata batas yang clean and clear, tidak ada konflik dengan masyarakat adat dan tidak ada konflik sosial lain, serta reforestasi yang berjalan maksimal,” ujarnya. Di samping itu, parameter lain menyangkut kelestarian ekologi, pengelolaan dan pemantauan dampak, serta ketersediaan distribusi manfaat.
DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo