Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vietnam sama sekali tak berupaya menyembunyikan kegusarannya terhadap Cina, yang secara sepihak melancarkan aksi ofensif baru untuk mengangkangi wilayah perairan yang disengketakan kedua negara itu. Kemarahan Vietnam kali ini dipicu oleh insiden saling tabrak kapal-kapal kedua negara di Laut Cina Selatan, di perairan yang tak jauh dari Vietnam.
Pada Rabu pekan lalu, pejabat Vietnam buru-buru menggelar konferensi pers dengan membawa foto dan video bukti dari apa yang disebutnya tindakan kasar Cina di perairan Laut Cina Selatan. Dalam video dan foto yang diperlihatkan kepada wartawan itu, tergambar kapal-kapal Cina sengaja menabrak kapal-kapal penjaga pantai Vietnam. Kapal-kapal Cina juga menembakkan meriam air bertekanan tinggi ke arah kapal patroli Vietnam.
Wakil Komandan Penjaga Pantai Vietnam Laksamana Muda Ngo Ngoc Thu mengatakan sudah sejak akhir pekan sebelumnya delapan kapal Cina menabrak dan menembakkan meriam air hingga mencederai awak kapalnya. "Vietnam telah menahan diri. Tapi, jika kapal-kapal Cina terus menyeruduk kapal Vietnam, kami harus bertindak membela diri," kata Ngo Ngoc Thu kepada wartawan, Rabu dua pekan lalu.
Ketegangan di perairan Laut Cina Selatan memang meningkat setelah peristiwa pada Ahad dua pekan lalu itu. Menurut pejabat Vietnam, kapal angkatan laut Cina ketika itu sedang berusaha memindahkan kapal raksasa yang mengoperasikan rig atau anjungan pengeboran minyak lepas pantai di dekat Kepulauan Paracel—oleh Cina disebut Kepulauan Xisha.
Awalnya nelayan dan warga pesisir pantai Vietnam mengira kapal berkode HD-981 itu sekadar melintas di wilayah tersebut. Ternyata kapal itu kemudian diparkir sekitar 27 kilometer dari satu wilayah di Kepulauan Paracel, dijaga oleh puluhan kapal besar. Kapal-kapal patroli Vietnam berusaha mencegah pergerakan rig itu, tapi justru mendapat serangan. Berdasarkan laporan China Daily, Administrasi Keselamatan Maritim Cina dalam situsnya memberitahukan rig HD-981 akan melakukan pengeboran mulai 4 Mei hingga 15 Agustus.
Insiden tabrakan kapal dan tembakan meriam air itu tak menimbulkan korban jiwa, tapi melukai enam awak kapal Vietnam. "Pada 4 Mei, kapal-kapal Cina sengaja menabrak dua kapal penjaga pantai Vietnam," kata Tran Duy Hai, pejabat Departemen Luar Negeri Vietnam, seperti dilansir The New York Times.
Insiden itu terjadi hanya berselang enam bulan setelah kunjungan Perdana Menteri Cina ke Hanoi. Ketika itu kedua belah pihak bersepakat mencoba menemukan cara agar bisa bersama-sama mengembangkan ladang minyak dan gas di Laut Cina Selatan. Tabrakan itu juga merupakan peristiwa terburuk di laut antara Vietnam dan Cina dalam beberapa tahun belakangan sehubungan dengan sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.
Menurut Channel News Asia, Cina mulai memindahkan rig HD-981 ke kawasan di dekat Kepulauan Paracel pada 2 Mei lalu, diiringi armada besar kapal angkatan laut. Mereka kemudian melarang kapal asing melintas di radius lima kilometer dari rig.
Mendengar hal itu, Vietnam segera menyebarkan pasukan untuk mencegah upaya ilegal dan menuntut Cina menarik rig-nya yang berada di sekitar 220 kilometer lepas pantai Vietnam. Namun kapal-kapal Vietnam tak dapat menembus barikade 50 kapal Cina yang mengawal rig itu dan berada di zona ekonomi eksklusif Vietnam berdasarkan hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.
Cina menolak dituding melampaui batas atas upayanya melakukan pengeboran minyak di Laut Cina Selatan. Pemerintah negara itu justru menganggap tindakan Vietnam menghadang kapalnya sebagai pelanggaran hak berdaulat negaranya.
Wakil Direktur Jenderal Urusan Perbatasan dan Kelautan Kementerian Luar Negeri Cina Yi Xianliang mengaku sangat terkejut oleh tindakan Vietnam, yang dalam waktu singkat mengerahkan puluhan kapal untuk sengaja menabrak kapal-kapal Cina. "Sejak 3 Mei sampai 7 Mei, Vietnam telah mengirimkan 35 kapal dari berbagai jenis yang menabrak kapal-kapal Cina 171 kali," katanya dalam konferensi pers, Kamis dua pekan lalu.
Menurut Xianliang, penempatan anjungan itu merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi normal Cina di Laut Cina Selatan dan sudah berlangsung bertahun-tahun. "Menurut saya, kami tidak memiliki alasan untuk menghentikan operasi tersebut," ujarnya.
Selain Cina dan Vietnam, beberapa negara, seperti Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan, berebut wilayah di kawasan yang kaya kandungan minyak dan gas itu. Namun, dari semua negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan, sengketa antara Cina dan Vietnamlah yang paling keras.
Sebelum 1974, Cina dan Vietnam Selatan sama-sama menguasai sebagian Kepulauan Paracel. Namun perebutan wilayah ini memicu konflik bersenjata singkat pada 1974, yang menewaskan 18 orang. Sejak saat itu, Cina menguasai sepenuhnya Kepulauan Paracel. Pada 1988, konflik angkatan laut kedua negara pecah di Kepulauan Spratly, tepatnya di sebelah selatan Karang Chigua, yang menewaskan 70 orang tentara laut Vietnam.
Selain dengan negara-negara Asia Tenggara, Cina berkonflik dengan Jepang. Pada November tahun lalu, Cina menetapkan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di Laut Cina Timur. Jepang meradang. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menegaskan upaya Cina membentuk ADIZ sebagai langkah "sangat berbahaya".
ADIZ memasukkan wilayah udara di sekitar kepulauan obyek sengketa antara Tokyo dan Beijing. Dengan aturan ini, Cina mewajibkan semua pesawat yang melintasi zona itu mematuhi aturan dan melaporkan penerbangannya. Juru bicara Kementerian Pertahanan Cina, Yang Yujun, dalam konferensi pers mengatakan Cina memiliki hak untuk mengatur zona pertahanannya. "Namun keputusan kami untuk mendirikan sebuah zona identifikasi pertahanan udara yang baru atau tidak tergantung tingkat ancaman yang dihadapi keamanan di udara, dan segala macam faktor yang harus dipertimbangkan," kata Yang, Februari lalu.
Baru-baru ini muncul dugaan Cina juga akan menetapkan ADIZ di wilayah sengketa Laut Cina Selatan, sejalan dengan rencana mereka memperkuat industri minyak dalam negeri. Anjungan pengeboran minyak HD-981 dianggap tak lepas dari rencana ini.
Anjungan HD-981 merupakan kebanggaan industri minyak yang dikelola Cina. Anjungan laut dalam pertama itu seluas lapangan sepak bola dan setinggi bangunan 40 lantai. Investasi anjungan milik perusahaan minyak nasional China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang mampu beroperasi dengan kedalaman 3.000 meter itu mencapai lebih dari US$ 1 miliar (sekitar Rp 10 triliun).
Anjungan minyak itu disebut-sebut sebagai "senjata strategis" bagi industri minyak Cina, atau bahkan "teritori nasional bergerak". Tak hanya itu, anjungan minyak tersebut berpotensi mengubah alur permainan, lantaran memungkinkan Cina mewujudkan misi utamanya: pengembangan minyak yang lebih agresif di lokasi dekat dengan wilayahnya.
Cina tampaknya juga tak malu-malu dalam beberapa tahun terakhir membuat klaim yang luas untuk mengontrol sebagian besar Laut Cina Selatan dan menguasai suatu posisi. Tapi, dengan memasang rig pengeboran mahal di perairan yang disengketakan, Cina seperti mengambil siasat "bertindak dulu berdiplomasi belakangan".
Menurut Holly Morrow, mahasiswa pascasarjana program energi dan geopolitik di Universitas Harvard, Cina sudah menemukan alat strategi baru untuk bertarung memperebutkan batas wilayah Laut Cina Selatan dengan Vietnam, yaitu melalui industri minyak dan gas. Dalam analisisnya, pengerahan rig pengeboran minyak itu ada kemungkinan dilakukan sebagai perubahan strategi ini, karena eksplorasi minyak membutuhkan investasi besar dan tentunya perlindungan keamanan. Dalam kasus Cina saat ini, perlindungan keamanan dapat diciptakan dengan mengerahkan kapal penjaga di sekitar anjungan.
"Cina telah mengambil sejumlah langkah tambahan, meningkatkan dan menambah bukti keberadaannya di Laut Cina Selatan, tapi ini sudah melintasi ambang batas," kata Morrow kepada The New York Times.
Carl Thayer, ahli masalah Laut Cina Selatan di The Australian Defense Force Academy, mengatakan keputusan Cina memindahkan rig HD-981 menjadi sebuah pernyataan tegas terhadap klaim teritorial di Laut Cina Selatan. Selain itu, menurut dia, ada pertimbangan khusus mengapa Cina memilih meningkatkan ketegangan dengan Vietnam dibanding negara lain. "Vietnam mungkin kandidat yang paling pas untuk menguji nyali Amerika Serikat dan ASEAN," katanya seperti dilansir The Diplomat. Selain itu, Cina meyakini kekuatan maritim Vietnam tak akan bisa menimbulkan konflik bersenjata di antara keduanya.
Vietnam memang tampak berhati-hati menanggapi tindakan Cina di perairan Laut Cina Selatan karena kerja sama perdagangan Vietnam dengan Cina tergolong besar. "Vietnam akan menanggapi kasus ini dengan retorika dan menahan diri," ujar Thayer.
Hanoi tak berharap bisa bersaing dengan Cina secara militer dan memilih solusi damai. Cina tentu saja menyambutnya, dengan mengaku siap berdiskusi dengan Vietnam dalam isu-isu yang relevan atas dasar konsultasi. "Tapi syaratnya adalah Vietnam harus mengakhiri gangguan operasi Cina dan harus menyingkirkan kapal serta personel di lokasi kejadian. Kami percaya, jika syarat ini terpenuhi, kita mungkin dapat menemukan solusi," kata Wakil Menteri Luar Negeri Cina Cheng Guoping.
Rosalina (LA Times, The Guardian, The New York Times)
Kawasan Panas
Cina selalu berupaya memperluas wilayah di Laut Cina Selatan, yang berbatasan dengan beberapa negara. Negara itu bahkan membuat "sembilan garis putus" dalam petanya, yang mengklaim sekitar 90 persen dari perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi itu.
Berikut ini beberapa fakta di Laut Cina Selatan, aturan maritim yang mengatur perairan, dan pemain utama dalam perselisihan di dalamnya.
Geografi
Luas Laut Cina Selatan lebih dari 1,7 juta kilometer persegi, dengan lebih dari 200 pulau kecil tak berpenghuni, bebatuan, dan terumbu karang. Di wilayah ini, Cina berbatasan dengan Taiwan di sebelah utara, Vietnam di barat, lalu Malaysia, Brunei, dan Singapura di selatan dan barat daya, kemudian dengan Filipina di sebelah timur.
Nilai Strategis
Rute terpendek antara Samudra Pasifik dan Hindia, jalur pelayaran tersibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu lintas tanker minyak dunia melewati perairan ini. Sebagian besar berupa pengiriman bahan baku, seperti minyak mentah, dari Teluk ke negara-negara Asia Timur. Perairannya kaya ikan, juga terdapat ladang minyak dan gas yang belum dieksploitasi.
Hukum Internasional
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengizinkan negara di sepanjang pantai membangun kedaulatan atas dua bidang:
1. Laut teritorial (perairan yang berdekatan mencakup maksimum 12 mil dari garis pantai), termasuk garis pantai dari pulau lepas pantai.
2. Zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil dari garis dasar pantai. UNCLOS mengatakan klaim tumpang-tindih harus diselesaikan melalui arbitrase ad hoc atau diserahkan ke pengadilan internasional.
Perselisihan
Cina mengklaim hampir sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, terutama Kepulauan Spratly dan Paracel. Militer Cina telah menempati seluruh Kepulauan Paracel dan mengklaim sekitar sembilan terumbu karang di Kepulauan Spratly, termasuk Johnson South, Hughes, dan Subi. Enam negara terlibat sengketa tentang batas wilayah Laut Cina Selatan, yaitu Brunei, Cina, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo