Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video itu memperlihatkan seratusan anak perempuan mendaras ayat-ayat Al-Quran. Mengenakan jubah kelabu, bertelanjang kaki, dan duduk bersila, mereka terlihat ketakutan dan beraut muka muram. Dua gadis di antara mereka yang mengaku beragama Kristen berkata telah beralih memeluk Islam. "Karena jalan inilah yang benar," seorang di antaranya beralasan. Suaranya terdengar cemas dan tubuhnya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, matanya mengelak dari kamera.
Diterima sejumlah media dan kantor berita pada Senin pekan lalu, jika memang otentik, video tersebut memastikan anak-anak gadis yang pada pertengahan April lalu diculik dari sebuah sekolah di Chibok, Negara Bagian Borno, di wilayah utara Nigeria itu dalam keadaan selamat. Bukan berarti mereka baik-baik saja. Tapi sekurang-kurangnya mereka masih hidup.
Lebih dari itu, video yang sama sebenarnya memuat hal lain yang akan menentukan nasib anak-anak itu selanjutnya: tuntutan Boko Haram. Melalui pemimpinnya, Abubakar Shekau, kelompok Islam radikal yang sejak awal dituding sebagai pelaku penculikan ini meminta pembebasan sejumlah anggotanya yang berada dalam tahanan pasukan keamanan. Jika permintaan itu ditolak, dia tak mau bertanggung jawab atas keselamatan anak-anak tersebut.
"Demi Allah yang Mahakuasa, kalian tak akan melihat lagi mereka kecuali kalian membebaskan orang-orang kami yang kalian tangkap," kata Shekau, yang di video berdurasi 27 menit itu tampak mengenakan baju loreng dan bersorban senada, seraya menyandarkan sepucuk senapan serbu AK-47 di dada kirinya.
Berapa banyak anggota Boko Haram yang ditahan tak diketahui dengan pasti. Bulan lalu tentara menewaskan ratusan orang ketika kelompok yang namanya berarti "pendidikan Barat adalah dosa" itu menyerbu barak utama militer di Maiduguri. Ibu kota Borno yang dijuluki Rumah Perdamaian ini merupakan tempat Boko Haram didirikan sekaligus markas utama upaya ofensif militer terhadap kelompok yang sejak lahir pada 2009—melalui aksi-aksi brutalnya terhadap pasukan keamanan, gereja, pasar, dan bahkan sekolah—telah membunuh tak kurang dari 4.000 orang itu.
Kejahatan yang seakan-akan tanpa hukuman itu bermula dari suatu hari pada 1970-an, ketika seorang mubalig muda dari Kamerun, Marwa, tiba di Kano, kota terbesar di Nigeria utara. Melalui khotbahnya yang berisi kecaman terhadap pemerintahan sekuler Nigeria, praktek politik yang korup, dan lembaga keagamaan yang moderat, dia segera memikat banyak pengikut di kalangan penduduk miskin di sana. Gerakannya dikenal sebagai Maitatsine.
Semangat pemberontakan terhadap Barat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah lama bercokol di Nigeria utara, sejak masa kekhalifahan Sokoto—yang berkuasa pada 1804-1903, ketika Inggris menaklukkannya. Warga di sana sudah biasa menolak menyekolahkan anaknya ke "sekolah Barat" yang diselenggarakan pemerintah. Kaum elite yang berkuasa memperburuk keadaan ini karena tak melihat pendidikan sebagai prioritas.
Latar belakang itu menjadi lingkungan yang subur bagi Maitatsine. Wajar bila pemerintah terusik. Benturan tak terhindarkan. Maitatsine menjadi semakin radikal, bahkan memilih jalan kekerasan. Dalam sebuah konfrontasi dengan polisi pada 1980, Marwa tewas. Kelompoknya lalu dibubarkan.
Kematian Marwa bukan akhir dari ekstremisme yang mengambil ilham dari khotbah-khotbahnya. Faksi-faksi Maitatsine yang terisolasi memilih mundur ke wilayah-wilayah terpencil di utara. Dua dasawarsa kemudian, pada 2000, mereka bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan nasional dengan nama Taliban Nigeria.
Sejak mulai aktif, mereka mengkampanyekan penerapan syariah di seluruh penjuru Nigeria utara. Mereka juga menggelar berbagai demonstrasi menentang apa yang mereka anggap pengaruh jahat budaya Barat terhadap masyarakat. Tapi mereka tak bisa mengelak dari nasib serupa yang menimpa Maitatsine. Mereka dibubarkan tak lama setelah terjadi bentrokan dengan polisi pada 2004, yang menewaskan puluhan orang.
Seperti ketika Maitatsine ambruk, berakhirnya riwayat Taliban Nigeria tak serta-merta mengubur Islam radikal. Mohammad Yusuf, mubalig yang mendirikan sekolah Islam fundamentalis pada 2002, mengambil alih misi Maitatsine dan Taliban Nigeria. Melalui sekolahnya yang mengundang banyak peminat dari kaum miskin dan pengangguran di Nigeria utara, dia mencanangkan tujuan mendirikan negara Islam. Sebagian dari muridnya itulah yang kemudian menjadi anggota awal Boko Haram, yang didirikannya di Maiduguri dengan nama resmi Jama'atu Ahlis Sunna Lidda'awati wal-Jihad.
Kekerasan tetap menjadi cara utama untuk mencapai tujuan. Pada 2009, Boko Haram menyerang sejumlah pos polisi dan gedung-gedung pemerintah di Maiduguri. Aksi ini memicu baku tembak di jalanan. Ratusan pendukung Boko Haram tewas dan ribuan penduduk meninggalkan kota, mengungsi ke tempat yang dianggap aman.
Setelah melalui pengejaran, polisi berhasil merebut markas Boko Haram dan meringkus anggotanya, juga Yusuf. Tapi Yusuf kemudian tewas dalam tahanan. Aktivis hak asasi manusia menduga polisi sengaja mengeksekusinya. Polisi membantah dan mengatakan Yusuf ditembak karena hendak melarikan diri. Di televisi, seraya memperlihatkan jenazah Yusuf, polisi menyatakan Boko Haram sudah tamat. Para pemimpin Boko Haram dikabarkan meninggalkan Nigeria, menetap di negara tetangga, seperti Kamerun, Niger, dan Chad.
Saat dalam pengasingan itulah disebut-sebut mereka menjalin hubungan dengan sejumlah kelompok militan asing. Dugaan ini sulit dibuktikan. Yang jelas, setahun kemudian mereka pulang kampung dengan militansi yang kian keras dan misi yang lebih luas: menerapkan hukum Islam di seluruh Nigeria.
Untuk itu, mereka melancarkan bertubi-tubi aksi teror, menyerang lembaga pemerintah dan instalasi keamanan, membunuh politikus, serta membantai umat Kristen. Pada Agustus 2011, mereka merebut perhatian dunia internasional lewat serangan terhadap gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Abuja. Amerika Serikat menyatakan mereka sebagai organisasi teroris pada 2013. Aksi mutakhir mereka, pada 15 April lalu: menculik sekaligus hampir 300 anak perempuan untuk dijadikan budak atau dikawin paksa.
Abubakar Shekau adalah tangan kanan Mohammad Yusuf. Pihak berwenang Nigeria semula mengira dia termasuk yang tewas dalam baku tembak antara anggota Boko Haram dan polisi di jalanan Maiduguri pada 2009. Tapi beberapa rekaman suara yang dia buat dan belakangan ditemukan membuktikan dia masih hidup. Dia memimpin Boko Haram dari luar Nigeria.
Di bawah kendali Shekau, Boko Haram menerapkan taktik perang urat-saraf ala gerilyawan, yang juga digunakan Al-Qaidah. Berbeda dengan kaum militan di Delta Niger yang terlatih dalam taktik militer tradisional, mereka memilih pengeboman dengan sasaran institusi milik penegak hukum, pembunuhan, kekerasan secara acak terhadap umat Kristen, dan penghancuran gereja. Meski demikian, menurut Comfort Ero, Direktur Program Afrika di International Crisis Group, bukti nyata keterkaitan mereka dengan Al-Qaidah paling banter hanya kebetulan. Itu pun, kata dia, "Tak tertutup kemungkinan bahwa Boko Haram sepenuhnya merupakan masalah Nigeria. Artinya, itu harus dipahami menurut masalah endemik Nigeria sendiri."
Masalah itu berkaitan dengan kondisi Nigeria utara, yang dalam sejarahnya selalu diabaikan. Berbeda dengan wilayah selatan yang kaya minyak dan karena itu menjadi pusat kegiatan pembangunan, Nigeria utara merupakan kawasan gurun pasir. Bertani adalah mustahil. Kebanyakan penduduknya yang pengangguran sulit mendapat air bersih. Listrik antara ada dan tiada. Pertumbuhan ekonomi nihil. Boko Haram secara umum mengabaikannya, tapi masalah-masalah itu bagaimanapun menyebabkan ekstremisme mudah timbul.
Meski korban terus berjatuhan, sejak menduduki jabatan pada Mei 2010, Presiden Goodluck Jonathan tak pernah menganggap Boko Haram sebagai ancaman serius. Dia memang mengirimkan pasukan untuk menghadapi kelompok itu. Tapi dia tak pernah mau menempuh langkah non-militer, misalnya saran agar memberikan amnesti setelah pembicaraan antara mantan presiden Olusegun Obasanjo dan keluarga Yusuf gagal.
Solusi militer yang dia pilih pun, dalam kenyataannya, tak terbukti efektif. Operasi yang dilancarkan justru menimbulkan kritik dari kalangan aktivis hak asasi. Militer diduga bertindak kelewat keji, tanpa mempedulikan siapa yang jadi sasaran. Menurut Human Rights Watch, polisi Nigeria juga telah mengeksekusi sejumlah orang di luar jalur hukum—termasuk Yusuf.
Shehu Sani, Presiden Civil Rights Congress of Nigeria, melihat hal lain. Menurut dia, ada unsur muslim di kalangan pemerintah dan militer yang diam-diam mendukung Boko Haram. Mereka ingin kekerasan terus berlanjut, bahkan meluas ke selatan. Ini berlatar belakang kekecewaan politikus dari utara atas terpilihnya kembali Jonathan. Secara tradisi, jabatan presiden bergantian antara wakil dari utara (Islam) dan dari selatan (Kristen). Terpilihnya kembali Jonathan, pemeluk Kristen dari Delta Niger, mengacaukan siklus itu.
Ero yakin aksi teror Boko Haram bisa dibatasi hanya di utara jika Jonathan lebih proaktif. Keberhasilan melokalisasi itu akan mencegah pecahnya perang saudara, yang tak terelakkan bila Boko Haram meluaskan aksinya ke selatan—karena di selatan kelompok-kelompok militan Kristen sudah siap menghadang. "Penyusupan apa pun oleh Boko Haram ke selatan bakal membawa situasi serius kekerasan dan kondisi keamanan yang mencemaskan di Nigeria," katanya.
Masalahnya, Jonathan belum benar-benar bisa menyadari kekeliruannya tentang Boko Haram, bahkan setelah penculikan pada pertengahan April lalu itu.
Purwanto Setiadi (BBC News, CNN, Foreign Policy, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo