Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Teater Koalisi yang Menjemukan

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Burhanuddin Muhtadi*

SUDAH sebulan lebih publik disuguhi teater koalisi yang menjemukan sekaligus memuakkan. Mengutip istilah sastrawan besar Pra­moedya Ananta Toer, drama koalisi menjelang pemilihan presiden ibarat "badai dalam secangkir kopi". Tak ada korelasi langsung dengan kepentingan pemilih secara luas. Elite politik bermanuver secara zigzag tanpa mengindahkan aspirasi konstituen dan kepentingan ideologi partainya.

Dalam leksikon ilmu politik, perilaku (elite) partai dalam berkoalisi dapat dijelaskan dalam dua model demokrasi. Pertama, model Madisonian atau demokrasi elitis yang menitikberatkan pada asumsi klasik Joseph Schumpeter (1943: 269) bahwa "pemilih hanya berguna pada saat pemilihan umum untuk bisa membentuk pemerintahan". William Riker, yang berasal dari tradisi intelektual yang sama, menyatakan bahwa "the function of voting is to control officials, and no more" (1982 : 9).

Model elitis ini mengarahkan partai menjadi office-seeking party yang dipengaruhi oleh kecenderungan semata-mata untuk meraih kekuasaan. Ini dimungkinkan karena jabatan-jabatan di pemerintahan menawarkan insentif untuk mengakumulasi sumber daya finansial melalui perburuan rente. Basis sosial massa partai bisa diabaikan dan ideologi partai bisa diketepikan. Model ini kemudian kawin-mawin dengan vote-seeking party, partai pemburu suara semua segmen demografi. Melalui penguasaan di pemerintahan, partai dapat mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk meraih dukungan dalam pemilu. Akses terhadap sumber daya negara juga mampu mengatasi problem logistik kampanye.

Model kedua adalah demokrasi populis. Perilaku partai harus memiliki tautan elektoral dengan basis sosial dan ideologi partai. Inilah sumber referensi koalisi berbasis ideologi (ideologically-connected coalition), seperti ditahbiskan De Swaan (1973). Dalam konteks ini, meraih kekuasaan di pemerintahan bukan tujuan utamanya. Kekuasaan hanyalah kendaraan untuk mengejawantahkan ideologi kerja partai. Orientasi model ini adalah policy-seeking, partai memaksimalkan pengaruhnya dalam kebijakan publik yang bersumber dari ideologi partai.

Pola pembentukan koalisi pasca-reformasi menunjukkan kecenderungan model elitis dan office-seeking ketimbang model populis dan policy-seeking. Ideologi partai bukanlah faktor determinan dalam pembentukan koalisi. Tak ada rambu-rambu apa pun dalam menjalin koalisi (Ambardi, 2009). Semua serba mungkin dan longgar (promiscuous). Menang atau kalah dalam pemilu bukan batas pemisah dalam menjalin koalisi. Terlebih lagi dekonsentrasi dan fragmentasi politik pasca-pemilu legislatif April 2014 membuat harga partai tengah membubung tinggi.

Inilah yang kita saksikan pasca-pemilihan legislatif 2014. Elite politik berulang kali menjejalkan frasa sakti: "mencari kesamaan visi dan platform dalam berkoalisi". Seolah-olah publik tak bisa mencerna bahwa frasa itu sebenarnya akal-akalan untuk menutupi syahwat kekuasaan yang meledak-ledak. Reputasi politik jatuh pada derajat yang paling rendah.

Lobi, tawar-menawar, dan kompromi menjadi bahasa pengantar komunikasi politik yang mempertemukan hampir semua elite politik. Posisi calon wakil presiden serta jatah menteri, pimpinan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat, duta besar, dan komisaris badan usaha milik negara menjadi arena pembagian kekuasaan dalam negosiasi di belakang layar. Biaya kampanye dan saksi pun tak lepas untuk diperbincangkan dalam lobi-lobi tingkat tinggi.

Dalam politik nir-ideologi yang dipengaruhi office-seeking minded, skema koalisi lebih ditentukan bandwagon effect. Politikus hanya mengenal dua kata dalam kamus politiknya: menang atau kalah. Karena itu, tak mengherankan jika bakal calon presiden yang memiliki elektabilitas tinggi memenangi pemilihan akan lebih memiliki daya tarik. Inilah yang menjelaskan sejauh ini pertarungan menjelang pemilihan presiden hanya mengerucut pada poros Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Menurut survei Indikator Politik Indonesia pada 20-26 April 2014, dari 31 nama bakal calon yang disurvei, hanya Jokowi dan Prabowo yang punya peluang memenangi pemilihan presiden.

Ini pula yang menjelaskan mengapa mimpi sebagian tokoh umat Islam untuk membentuk poros partai Islam hingga kini gagal diwujudkan. Partai-partai Islam tak memiliki figur yang layak jual sehingga mereka cenderung menyerah kepada takdir sambil diam-diam berharap ketua umumnya dilamar sebagai calon wakil presiden. Ketiadaan figur yang memiliki magnet elektoral kuat membuat banyak partai menengah yang didominasi dari kalangan partai Islam cukup berbahagia dengan tampil sebagai follower, bukan trendsetter.

Gagalnya konvensi calon presiden Partai Demokrat dalam memunculkan figur alternatif yang memiliki daya tarik elektabilitas yang kompetitif juga menjadi sebab mengapa partai ini kurang dilirik. Dahlan Iskan memang memenangi survei di antara sebelas peserta konvensi. Namun, dibandingkan dengan tokoh-tokoh dari partai lain, tingkat keterpilihannya masih tertinggal. Lain soal jika Dahlan memiliki elektabilitas tinggi. Partai-partai lain dijamin datang antre ke Demokrat untuk melamar sebagai sekondan koalisi, meski tanpa imbalan posisi calon wakil presiden sekalipun. Electability rules the day!

Setali tiga uang dengan nasib Aburizal Bakrie. Golkar kesulitan mencari mitra koalisi untuk bersama-sama mendukung Aburizal. Elektabilitas Aburizal yang tidak kompetitif memaksa elite Golkar menurunkan target dari mengusung dirinya sebagai calon presiden menjadi sekadar calon wakil presiden, baik untuk dijajakan kepada Jokowi maupun Prabowo. Kalaupun toh PDI Perjuangan tak berkenan, Golkar konon tak berkecil hati asalkan kader Golkar yang lain yang dipinang. Penjajakan koalisi dengan Demokrat malah memunculkan usul mengusung Sultan Hamengku Buwono X sebagai calon presiden. Jika tak ada kesepakatan di antara kedua partai menyangkut figur yang diusung, besar kemungkinan kita akan menyaksikan head-to-head Jokowi versus Prabowo pada pemilihan.

Munculnya dua poros Jokowi dan Prabowo tak terlepas dari terbentuknya blok besar pemilih yang hanya mengerucut ke Jokowi dan Prabowo. Dukungan pemilih di luar dua nama tersebut tidak terlalu signifikan. Akibatnya, elite tak punya insentif elektoral untuk membentuk poros alternatif karena kans kemenangannya kecil. Buat apa bersusah payah membentuk poros baru jika, selain menghabiskan banyak dana, sulit meraih kemenangan? Namun cara pandang ini terkesan bertumpu pada demand-side pemilih. Dari sisi supply-side, partai tidak mau bekerja keras, atau mungkin tak mau berjudi, dengan menyodorkan tokoh baru yang kredibel dan berintegritas—walau kurang popularitas.

Bagi partai yang tidak memiliki tokoh dengan gravitasi elektoral kuat, pilihannya tinggal bergabung dengan Jokowi atau Prabowo atau membuat poros baru. Minimnya insentif elektoral dalam poros baru harus ditukar dengan insentif dalam bentuk lain, di antaranya faktor marwah dan harga diri partai. Daripada menurunkan martabat dengan mendompleng calon presiden dari partai lain, kenapa tak dicoba maju untuk menggerakkan mesin partai dan investasi politik jangka panjang?

Maka elektabilitas calon presiden adalah instrumen utama bagi office-seeking party untuk meraih kekuasaan. Dukungan NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa "tanpa syarat" ke Jokowi harus dibaca dalam konteks peluang elektoral Jokowi yang tinggi memenangi pemilihan sehingga lebih membuka peluang bagi mereka untuk terlibat dalam pemerintahan nanti. Terlebih lagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak mampu meraih boarding pass pencalonan presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain.

Demikian pula dukungan Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera kepada Prabowo sebagai calon presiden harus dibaca dalam konteks hanya Prabowo yang secara elektoral bisa mengalahkan Jokowi dalam pemilihan nanti. Dukungan partai-partai kepada Jokowi dan Prabowo menjadi alat barter politik yang tegas untuk mendefinisikan siapa yang bakal "berada di dalam" (the ins) dan "yang di luar" (the outs). Partai-partai pemenang pemilihan presiden akan berada "di dalam" untuk mengelola pemerintahan, sementara "yang di luar" merepresentasikan pihak yang kalah sehingga harus menjadi blok oposisi di parlemen.

Namun perilaku partai politik kita tidaklah selinier yang kita bayangkan. Nafsu politikus untuk selalu berada di dalam gerbong kekuasaan akan membuat peta koalisi rentan berubah. Sistem presidensial-multipartai yang kita anut potensial melahirkan presiden minoritas (minority president). Presiden yang dipilih langsung bukan garansi stabilitas dan efektivitas pemerintahan jika tak mampu menerapkan disiplin koalisi. Apalagi jika partai pengusung presiden terpilih tidak mencapai single majority di parlemen. Akibatnya, presiden terpilih cenderung memperbesar postur koalisi untuk mengamankan parlemen dengan membarter posisi-posisi di kementerian bagi partai yang kalah dalam pemilihan presiden.

Sekali lagi, ini bukti episode teater koalisi takkan berhenti selepas pemilihan presiden 9 Juli nanti.

*) Dosen FISIP UIN Jakarta dan kandidat PhD Australian National University

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus