Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan di lantai tiga Balai Kota DKI Jakarta itu terlihat sepi Senin pagi pekan lalu. Dua anggota staf dan seorang petugas keamanan terlihat duduk mencangkung. Sang empunya ruangan, anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan, Udar Pristono, tak terlihat. Padahal pagi itu tim menggelar rapat. "Biasanya Pak Pristono selalu datang pukul delapan," ujar satu dari dua anggota staf Udar yang tak mau disebutkan namanya itu kepada Tempo.
Udar hari itu memang tak masuk kantor. Berbelas kilometer dari Balai Kota, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung di kawaÂsan Blok M, Jakarta Selatan, hari itu ia menjalani pemeriksaan pertama dalam perkara korupsi pengadaan bus Transjakarta tahun 2013. Hari itu, kepada wartawan, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Setia Ari Muladi menyatakan bekas Kepala Dinas Perhubungan DKI tersebut ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Pusat Teknologi dan Sistem Transportasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prawoto. "Udar selaku pengguna anggaran dan Prawoto selaku konsultan perencana dan pengawas pengadaan bus," kata Setia.
Kasus korupsi Transjakarta terungkap menyusul ditemukannya kerusakan pada sejumlah bus baru yang terparkir di Unit Pengelola Transjakarta di Cawang, Jakarta Timur. Padahal bus itu baru beroperasi pada 15 Januari lalu. Pada Februari lalu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat melaporkan kejanggalan pengadaan 656 bus yang menelan anggaran Rp 1,5 triliun itu ke Kejaksaan Agung.
Pengadaan bus ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pengadaan 132 bus gandeng, 178 bus besar, dan 346 bus ukuran sedang. Dari jumlah itu, 620 di antaranya buatan Cina. Rinciannya: 548 bus bermerek Ankai, 30 bus bermerek Yu Tong, 30 bus bermerek Zhongtong, dan 12 bus bermerek Bus and Coach International. Sedangkan 36 bus lain bermerek Inobus buatan PT Industri Kereta Api (Inka).
Sebelum menetapkan Udar dan Prawoto, Kejaksaan Agung menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen Drajad Adhyaksa dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Setyo Tuhu sebagai tersangka. Keempatnya dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tuduhannya: menyalahgunakan kewenangan dan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Dari penelisikan Kejaksaan, ditemukan adanya kongkalikong antara Dinas Perhubungan dan BPPT dalam tender pengadaan bus tersebut. "Sejak awal sudah ada penyimpangan," ucap Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Widyopramono kepada Tempo. Tim jaksa menemukan adanya pengarahan pemenang tender dan penggelembungan harga oleh keempat tersangka ini. Caranya dengan pengaturan spesifikasi teknis dan penentuan harga perkiraan sendiri.
Dalam penyusunan spesifikasi teknis dan harga perkiraan sendiri, Dinas Perhubungan DKI Jakarta memang menggandeng BPPT. Kontrak kerja sama ini ditandatangani Udar dan Prawoto pada 7 Januari lalu. Menurut Hari Setiyono, Kepala Subdirektorat Pidana Khusus, penandatanganan kontrak inilah yang melandasi penetapan keduanya sebagai tersangka. "Keduanya dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab soal ini," ujarnya.
Kejaksaan menemukan pengaturan spesifikasi teknis bus untuk memenangkan perusahaan tertentu. Misalnya dari spesifikasi mesin yang harus berbahan bakar gas. Mesin jenis ini hanya diproduksi oleh produsen Cina. Hal itu menutup peluang merek-merek besar, seperti Mercedes-Benz, Scania, Volvo, dan Toyota, ikut berkompetisi dalam tender ini.
Kejanggalan juga terlihat saat survei untuk penentuan harga perkiraan sendiri. BPPT hanya melakukan survei harga dan spesifikasi teknis kepada sejumlah Âdealer bus asal cina yang kemudian menjadi pemenang tender ini. Mereka antara lain PT San Abadi, yang memegang merek Ankai, dan PT Korindo Motor, yang memegang merek Yu Tong. Hal ini dilakukan atas arahan dari Drajad. "Tidak ada pembanding spesifikasi dan harga dari produsen negara lain," kata Widyo.
Kongkalikong antara BPPT dan Dinas Perhubungan juga terlihat dari penetapan harga satuan yang dibuat bersama-sama oleh Drajad, Udar, dan Prawoto. Seharusnya penetapan harga disusun sendiri oleh Drajad sebagai Pejabat Pembuat Komitmen. Kejaksaan juga menemukan bahwa penyusunan harga satuan tidak dilakukan secara rinci.
Selain menemukan soal spesifikasi teknis, tim Kejaksaan menemukan adanya penyalahgunaan kewenangan dalam manajemen tender. Menurut dia, pengadaan ini seharusnya hanya dibagi menjadi tiga paket. Namun panitia lelang justru membaginya menjadi 15 paket. Pembagian ini menyalahi peraturan presiden soal pengadaan barang dan jasa.
Perihal kerugian negara, Kejaksaan hingga kini belum mendapat angkanya. Kejaksaan tengah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga negara untuk menelusuri kedua hal ini. "Kami sedang koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan," ujarnya.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, yang menjadi pelapor kasus ini, menyatakan gembira terhadap kemajuan penyidikan perkara ini. Menurut dia, pengadaan ini memang dipecah untuk membuat kesan bahwa pemenang tender berasal dari perusahaan yang berbeda. Padahal, kenyataannya, semua menawarkan produk Ankai yang disuplai oleh PT San Abadi. "Mayoritas produknya Ankai dan perusahaan pemenang itu baru beberapa bulan sebelum tender diangkat jadi dealer," katanya.
Udar berkukuh jika proyek itu disebut bermasalah. Dia juga menegaskan tak ada penggelembungan anggaran ataupun pengarahan pemenang dalam pengadaan bus Transjakarta ini. "Insya Allah tidak ada markup," ucapnya.
RUPANYA, amburadulnya pengadaan bus Transjakarta tak hanya terjadi pada 2013. Tim Kejaksaan juga menemukan pengadaan paket I dan II bus gandeng Transjakarta yang diduga sarat korupsi. "Kami menemukan banyak kesamaan modusnya dengan pengadaan 2013," ujar Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chaerul Amir. Bukan hanya modus, pihak yang terlibat juga sama. Dalam pelaksanaan tender 2012, kata Chaerul, Kejaksaan menemukan modus pengarahan pemenang dan penggelembungan anggaran yang dilakukan Dinas Perhubungan dan BPPT.
Dalam paket pertama untuk pengadaan 18 bus senilai Rp 67,8 miliar, Kejaksaan menemukan adanya penggelembungan anggaran sebesar Rp 7,6 miliar. Sedangkan untuk paket II pengadaan 18 bus senilai Rp 66,5 miliar, penggelembungan anggaran yang terjadi sebesar Rp 10,8 miliar.
Dari sisi produk yang digunakan pun tak jauh berbeda. Paket pertama dimenangi oleh PT Inka dengan Inobus, sedangkan paket kedua dimenangi oleh PT Saptaguna Daya Prima, yang menyodorkan bus Ankai. "Dua-duanya juga pemenang pada pengadaan tahun 2013," ujarnya.
Chaerul mengatakan Kejaksaan saat ini sudah menetapkan dua tersangka dalam pengadaan pada 2012 itu. Mereka adalah Pejabat Komitmen serta Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa. "Inisialnya HH dan GNW," ucapnya.
Hanya, perihal siapa otak di balik korupsi ini, baik Chaerul maupun Widyo tutup mulut. Kejaksaan, kata Widyo, mengatakan masih terus mengumpulkan bukti telak. Untuk mengungkap perkara ini, Kejaksaan memakai strategi "memutar", yakni mengembangkan penyidikan ini ke arah penerima keuntungan tender bus itu dulu.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo