Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bagaimana Milisi Houthi Menguasai Yaman

Milisi Houthi di Yaman terus menyerang kapal-kapal yang melintasi Laut Merah. Solidaritas untuk Palestina yang dijajah Israel.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH video beredar pada Rabu, 17 Juli 2024. Video yang disiarkan kelompok milisi Houthi di Yaman itu menggambarkan serangan terhadap sebuah tanker di tengah laut. Tampak sebuah drone laut meluncur mendekati kapal itu dan kemudian meledak dahsyat. Asap hitam mengepul dari lambung kapal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drone laut adalah kapal tak berawak (UVS) yang membawa peledak, yang akan meledak ketika menabrak sasaran. Video sepanjang sekitar 20 detik itu menggambarkan adegan tersebut dari beberapa sudut dan jarak, seperti diambil dari beberapa kapal. Kapal itu, menurut Houthi, adalah tanker minyak mentah Chios Lion yang sedang berlayar di Laut Merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komando Pusat Amerika Serikat (Centcom), satu dari sebelas komando gabungan Departemen Pertahanan Amerika, menyatakan MT Chios Lion memang telah diserang Houthi. “Drone laut itu menimbulkan kerusakan, tapi MT Chios Lion belum meminta bantuan. Tidak ada korban luka yang dilaporkan saat ini,” kata mereka, Senin, 15 Juli 2024. MT Chios Lion adalah tanker berbendera Liberia milik Kepulauan Marshall yang dioperasikan Yunani.

Pada hari yang sama, Centcom juga melaporkan bahwa Houthi telah menyerang MT Bentley I, tanker berbendera Panama milik Israel, di Laut Merah dengan drone dan peluru kendali. Sebelumnya Houthi juga menyerang MSC Unific, kapal kontainer milik Mediterranean Shipping Company yang berbasis di Swiss, dan Chrysalis, tanker minyak mentah berbendera Liberia yang dioperasikan perusahaan Turki, Geden Line, di Laut Merah dengan rudal dan drone.

Houthi sekarang menjadi “hantu” di Laut Merah. Hampir tiap hari mereka menyerang kapal-kapal dagang dan militer yang melintasi Laut Merah dan Laut Arab di perairan wilayah Yaman yang dikuasai Houthi. Serangan bermula pada Oktober 2023, sejak Israel menyerbu Jalur Gaza. Setidaknya 150 kapal yang mereka duga punya hubungan dengan Israel telah diserang.

Houthi menyebut serangan ini sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina yang ditindas Israel. “Operasi kami tidak akan berhenti kecuali agresi dihentikan dan pengepungan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza dicabut,” tutur Brigadir Jenderal Yahya Saree, juru bicara Angkatan Bersenjata Yaman, yang kini dikuasai Houthi, dalam pernyataan yang dirilis kantor berita Yaman, Saba, pada Jumat, 12 Juli 2024.

Houthi, yang nama resminya Anshar Allah (Penolong Allah), pada mulanya hanyalah kelompok perlawanan kecil di Yaman utara, yang mayoritas dihuni kaum Syiah Zaidi, mazhab Syiah moderat yang sebenarnya dekat dengan Sunni. Kelompok ini dipimpin oleh Hussein Badr al-Din al-Houthi, ulama Syiah Zaidi yang pernah menjadi anggota parlemen dari Hizbul Haqq (Partai Kebenaran), partai politik Syiah.

Ali Munhanif, guru besar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan kaum Syiah di Yaman bermula dari orang-orang Syiah yang lari dari persekusi negara-negara Arab, dari dinasti Abbasiyah hingga Kesultanan Utsmaniyah, yang menganut Sunni. Akhirnya mereka hidup di wilayah-wilayah yang sangat tandus dan tidak mungkin dikejar orang-orang Sunni lagi, yang disebut Hadramaut, kawasan di perbatasan Yaman dengan Arab Saudi.

Houthi muncul sebagai kelompok oposisi yang menentang Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, yang mereka tuduh korup dan disokong Arab Saudi dan Amerika Serikat, pada 1990-an. Kelompok ini membesar setelah Musim Semi Arab atau Arab Spring, gerakan reformasi yang melanda Jazirah Arab, pecah di Yaman. Houthi terlibat dalam Revolusi Yaman pada 2011 dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri itu, termasuk Ibu Kota Sanaa dan istana negara yang dihuni Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi.

Pada 2015, koalisi militer pimpinan Arab Saudi campur tangan berupaya memulihkan pemerintahan Mansur Hadi di Sanaa. Perang pun pecah, tapi usaha mereka gagal. Houthi melawan dengan senjata rampasan dari Angkatan Bersenjata Yaman dan milik mereka sendiri.

Tangkapan layar video serangan milisi Houthi terhadap kapal tanker Chios Lion di Laut Merah, 15 Juli 2024. HOUTHI MEDIA CENTRE/via mmy.ye

Houthi dilaporkan telah mengembangkan senjata canggih, seperti drone dan rudal. Pada akhir 2015, mereka mengumumkan keberhasilan membuat rudal balistik Qaher-1, yang dikembangkan dari rudal Rusia SA-2. Pada 2019, Saudi menyatakan Houthi telah menembakkan 226 rudal balistik dan 710.606 proyektil selama perang.

Houthi makin unjuk gigi dengan memerangi Saudi dan menyerang kapal-kapal di perairan Yaman sejak invasi Israel di Gaza. “Dari semula sebuah gerakan kecil dalam konteks oposisi di Yaman, Houthi sekarang menjadi kekuatan regional yang tidak bisa diabaikan,” ucap Ali Munhanif kepada Tempo, Rabu, 17 Juli 2024.

Kekuatan militer Houthi yang canggih ini mengejutkan. Amerika Serikat menuding Iran memasok senjata tersebut. Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat (DIA) meluncurkan laporan hasil investigasinya mengenai senjata-senjata yang digunakan Houthi dalam serangan terhadap kapal komersial di Laut Merah.

DIA menyodorkan perbandingan visual senjata dengan komponen senjata Iran yang mereka sita saat diselundupkan ke Yaman. “Komponen penting dari berbagai rudal yang disita dan, setelah dianalisis lebih lanjut, ditemukan memiliki fitur yang hampir identik dengan sistem rudal Iran,” ujar mereka.

Misi Tetap Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York membantah tuduhan bahwa negaranya telah mempersenjatai Houthi. “Kami sadar (Houthi) telah mengembangkan kemampuan militer mereka secara signifikan dengan mengandalkan sumber daya mereka sendiri. Perang berkepanjangan melawan mereka adalah faktor utama di balik perluasan kekuatan militer mereka,” kata mereka seperti dikutip kantor berita Iran, IRNA.

Menurut Ali Munhanif, dalam operasi militer Houthi, tentu tidak ada hubungan formal dengan Iran. “Tapi, dalam berbagai operasi intelijen, saya kira itu sangat nyata.” Dia mencontohkan bagaimana rudal-rudal yang ditembakkan Houthi ke wilayah Saudi itu menunjukkan tingkat teknologi yang tidak mungkin dimiliki oleh sebuah gerakan perlawanan semacam Houthi di Yaman, negara yang tergolong miskin dan masyarakatnya tidak begitu melek teknologi militer. “Ini menandakan bahwa sudah mesti ada bantuan-bantuan semacam itu.”

Iran sekarang tampak mendukung Houthi. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataan para pemimpinnya, termasuk jenderal Iran. Namun, Ali menambahkan, keliru jika dukungan itu disebut diberikan karena kesyiahan Houthi. “Ini lebih sebagai aliansi strategis untuk mencari koalisi bersama dalam peta konflik Timur Tengah, yakni perebutan hegemoni di dunia Arab antara Saudi dan Iran ataupun negara-negara Arab lain,” tuturnya.

Kelompok perlawanan seperti Houthi, Hizbullah di Libanon, dan Hamas punya kesamaan ideologi, yakni menolak “solusi dua negara”, konsep berdirinya negara Israel dan negara Palestina yang berdampingan secara damai. Mereka juga sama-sama menentang Amerika Serikat, Israel, dan Arab Saudi.

Namun, berbeda dengan Hizbullah dan Hamas yang ingin mengusir Israel dari tanah Palestina, menurut Ali, tujuan jangka panjang Houthi adalah mendapatkan justifikasi dan pengakuan de jure sebagai pemerintah di Yaman. “Kalau pengakuan itu terjadi, saya kira persoalan akan berubah,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hantu Houthi di Laut Merah"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus