Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARA-GARA polemik aturan tentang dokter asing, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Budi Santoso kehilangan jabatannya pada pekan pertama Juli 2024. Dokter spesialis kandungan itu diduga diberhentikan karena mengkritik rencana pemerintah membuka peluang bagi dokter asing masuk ke Indonesia. Persoalan itu sudah rampung karena Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih melantik kembali Budi menjadi dekan pada Rabu, 10 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi, kritik dalam dunia kedokteran seperti yang disampaikan sejawatnya di Universitas Airlangga adalah hal biasa. Menurut Adib, dokter bersuara lantang untuk melindungi keselamatan pasien. "Negara semestinya tak ada masalah dengan kebebasan akademik," katanya pada Kamis, 11 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana membuka peluang mendatangkan dokter asing dilontarkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu beralasan kehadiran dokter asing bisa meningkatkan kualitas layanan kesehatan, mendorong kompetensi dokter lokal, dan menyelamatkan penderita penyakit jantung.
Adib menyebutkan persoalan itu tak semata-mata selesai dengan mendatangkan dokter asing. "Ada problem ketidakmampuan, pembiayaan, dan infrastruktur yang mesti diatasi," ujar dokter spesialis ortopedi tersebut.
Dalam wawancara selama lebih dari satu jam dengan wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita, di kantor IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Adib juga menjelaskan hubungan lembaganya dengan Kementerian Kesehatan belakangan ini. "Ada pihak yang mengambil kesempatan untuk memposisikan IDI selalu berseberangan dengan pemerintah," tuturnya.
Kementerian Kesehatan membuka peluang bagi dokter asing masuk ke Indonesia. Apakah aturan ini tepat?
Yang perlu menjadi perhatian adalah pembatasan praktik yang mengacu pada regulasi domestik yang berlaku di setiap negara. Ketika ada seseorang yang akan bekerja di negara tertentu, perjanjian antarnegara sangat dibutuhkan. Dokter asing tak bisa sembarangan masuk karena pemerintah belum punya agreement.
Mengapa dokumen kesepakatan itu penting?
Dalam perjanjian itu ada syarat yang dibuat, lantas dipenuhi. Saya beri contoh, Singapura mewajibkan warga negara asing yang bekerja di sana punya kualifikasi khusus. Hanya lulusan kampus tertentu dari Malaysia, Australia, Inggris, dan lain-lain yang bisa masuk. Mereka punya daftarnya. Mereka juga mengatur dokter asing yang masuk harus ke rumah sakit umum dulu, tak boleh langsung ke rumah sakit swasta.
Apa alasan dibuat alur seperti itu?
Dokter asing yang berpraktik harus mendapat supervisi dulu di rumah sakit umum. Setelah itu, barulah dia boleh melayani di rumah sakit swasta. Itu regulasi domestik yang dibuat negara guna melindungi warga negaranya.
Kita belum punya aturan seketat itu di tengah rencana membuka kesempatan bagi dokter asing?
Dulu ada peraturan Menteri Kesehatan yang berisi evaluasi kemampuan praktik klinis seorang dokter. Perlu ada penguatan aturan-aturan itu.
Apa pentingnya keberadaan aturan ketika dokter asing masuk?
Persyaratan inilah yang akan melindungi keselamatan pasien atau warga kita. Sebab, aturan itu akan menjamin dokter yang masuk ke Indonesia tak ada masalah disiplin, tidak punya persoalan hukum, dan tak ada masalah etik.
Bukankah pernah ada preseden warga asing yang berpraktik dokter di Jakarta?
Dinas Kesehatan DKI Jakarta pernah menurunkan tim pengawasan orang asing. Ada laporan mengenai dokter itu, lalu kami bersurat ke negara asalnya. Dokter itu dipanggil pulang dan mendapat sanksi. Pelanggaran seperti ini yang tahu kan peer group. Poinnya adalah organisasi profesi dan perhimpunan spesialis harus dilibatkan.
Negara mana yang bisa menjadi acuan ihwal aturan mendatangkan dokter asing?
Semua negara punya regulasi dalam negeri. Sebagian besar negara hampir sama aturannya. Yang utama adalah letter of good standing. Kedua, evaluasi kompetensi. Jangan sampai dia datang mengaku sebagai dokter spesialis tertentu, tapi ternyata bukan. Inggris punya General Medical Council, badan publik yang mengelola praktisi medis. Mereka baru saja memverifikasi kepada IDI karena ada dokter lulusan Universitas Indonesia yang mau bekerja di Inggris. Dia berhadapan dengan pasien, menentukan nyawa pasien, sehingga perlu ada pengaturan dan pengecekan yang ketat.
Menteri Kesehatan beralasan dokter asing dibutuhkan untuk menangani 12 ribu bayi yang punya kelainan jantung. Situasinya segenting itu?
Jika bermain dengan data, kami juga akan memakai data. Ambil contoh kasus 12 ribu bayi dengan penyakit jantung bawaan. Itu adalah angka kumulatif bahwa 8 dari 1.000 bayi yang lahir berpotensi membawa risiko penyakit jantung bawaan. Sebesar 30-40 persen punya risiko kematian. Yang perlu kita lihat adalah problemnya ada pada ketidakmampuan, pembiayaan, atau infrastruktur yang kurang mendukung.
Faktanya, jumlah dokter spesialis jantung di Indonesia tak lebih dari 2.000 orang. Apakah jumlah tersebut ideal untuk menangani semua kasus itu?
Spesialis kardiovaskular kita memang masih kurang. Ahli paru-paru juga masih kurang. Namun apakah kita menangani suatu penyakit hanya dilihat dari aspek kompetensi klinisnya? Apakah 12 ribu bayi itu akan meninggal besok? Belum tentu juga.
Apa solusi yang Anda punyai?
Lakukan deteksi dini. Memperbaiki antenatal care atau pemeriksaan ibu hamil menjadi penting. Dengan begitu, ketika ada risiko penyakit pada bayi, bisa langsung dideteksi dan ditangani. Saya hanya ingin mengatakan, jika hendak mengambil kebijakan, jangan melihat dari satu sisi saja.
Artinya mendatangkan dokter asing belum mendesak sekarang?
Saya tak melihat ini dari aspek personal. Namun Kementerian Kesehatan pasti punya tim yang membuat kebijakan strategis dan perlu melibatkan teman-teman di lapangan. Rekan-rekan dari organisasi profesi, kolegium, rumah sakit, dan kampus harus diajak karena saling terkait, sehingga pemerintah bisa mengambil kebijakan secara holistik.
Polemik dokter asing sampai membuat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dicopot. Bagaimana respons Anda?
Kami yang berprofesi dokter diajari anamnesis sehingga bisa menentukan kemungkinan penyakit dari sejumlah diagnosis. Karena terbiasa menganalisis itu, kami lebih sensitif terhadap konflik sosial.
Kasus di Universitas Airlangga mencerminkan krisis kebebasan akademik dan dokter seolah-olah tak boleh mengkritik....
Kebebasan akademik hal biasa di dunia kedokteran. Negara semestinya tak ada masalah dengan hal seperti itu. Kami selalu mengingatkan bahwa kritik yang disampaikan mesti dalam koridor akademik. Masih banyak dokter yang kritis.
Kami mendengar bahwa tekanan kepada dokter sudah terjadi ketika Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dibahas. Respons Anda?
Secara institusi, IDI memang bersuara. Ini bukan masalah setuju atau tidak setuju, melainkan perlu ada mitigasi risiko yang lebih besar. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sampai sekarang belum bisa dilaksanakan karena belum ada aturan turunan. Kami perlu bersuara agar masyarakat tak dirugikan.
Apa curhat rekan sejawat mengenai aturan tentang kesehatan belakangan ini?
Yang paling utama adalah masalah kesejahteraan. Ada juga isu perlindungan hukum bagi mereka yang kritis terhadap omnibus law Undang-Undang Kesehatan. Sebagai organisasi, kami punya kewajiban melindungi anggota kami. Permasalahan kesehatan memangnya harus ditangani Kementerian Kesehatan saja? Kementerian butuh mitra. IDI tak pernah menjadi oposisi. Kami adalah mitra kritis karena berasal dari kalangan akademik.
Sikap kritis itu kini sering dipersepsikan sebagai pembangkangan....
IDI mungkin dianggap oposisi karena pernah berunjuk rasa, padahal demonstrasi itu aktivitas demokrasi. Kami sudah bersuara lewat Dewan Perwakilan Rakyat, menulis di media massa juga sudah. Kalau belum didengarkan, kami akan berbicara lebih keras lagi. Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pada akhir masa pandemi Covid-19 bahwa kita bisa melewati masa itu karena kolaborasi.
Ketua Umum (Ketum) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2022-2025 Mohammad Adib Khumadi saat wawancara dengan Tempo di di Jakarta, 11 Juli 2024/TEMPO/Tony Hartawan
Kami mendapat cerita bahwa hubungan IDI dengan Kementerian Kesehatan tak mesra belakangan ini. Apa benar?
Karena ada perbedaan pendapat. Ada pihak yang mengambil kesempatan untuk memposisikan IDI selalu berseberangan dengan pemerintah. IDI tak pernah menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah, melainkan mitra. Kami tetap diundang dan dimintai masukan.
Benarkah kehadiran dokter asing dikaitkan dengan latar belakang bisnis kesehatan?
Mengapa investasi di sektor kesehatan sekarang sedang gencar? Sebab, pandemi Covid-19 membuktikan bahwa industri yang paling mapan di tengah krisis itu hanya dua: alat kesehatan dan layanan kesehatan. Jadi itu menjawab alasan semua negara menggenjot investasi kesehatan.
Ekosistem kesehatan kita sudah siap?
Bagi kami, tak ada masalah jika Indonesia akan menuju ke sana. Kami sangat mendukung upaya investasi di sektor kesehatan. Namun peraturan dalam negeri harus diperhatikan dulu.
Resistansi terhadap dokter asing muncul bukan karena waswas akan kalah bersaing?
Apakah benar dokter asing ini datang untuk mengisi kekurangan jumlah dokter di daerah? Kita benar-benar kekurangan dokter atau tidak? Isu tersebut ada sejak dulu dan enggak akan mungkin bisa langsung diselesaikan. Kami punya rencana yang mengaitkan basis dokter dengan sistem akademik. Dalam empat tahun, jumlah dokter spesialis akan meningkat untuk perlahan menutupi kekurangan jumlah dokter. Tinggal kebijakan negara untuk mendistribusikan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Persebaran dokternya seperti apa?
Konsentrasi lebih banyak di Pulau Jawa, 70 persen. Kalau berbicara tentang dokter kandungan, penyakit dalam, anestesi, dan anak, sebenarnya sudah cukup. Tapi mereka terkonsentrasi di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Banten. Maka yang menjadi permasalahan bukan sekadar produksi, tapi juga distribusi.
Mohammad Adib Khumaidi
Tempat dan tanggal lahir:
- Lamongan, Jawa Timur, 28 Juni 1974
Pendidikan:
- Dokter umum Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur
- Spesialis ortopedi dan traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
- Doktor Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan
Jabatan publik:
- Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (2022-2025)
- Pelaksana Ketua Lembaga Kesehatan Majelis Ulama Indonesia
Pemerintah memakai analogi naturalisasi pemain sepak bola untuk menjelaskan kompetisi dan peningkatan keterampilan dokter. Anda sepakat?
Jika memang ada dokter dari luar negeri yang hebat dan punya kemampuan yang belum ada di sini, kami tak ada masalah. Namun, kalau harus mengapresiasi dokter luar negeri padahal kita sudah punya dokter dengan kompetensi dan talenta yang sama, apakah itu adil? Semestinya pemimpin negara ini mengapresiasi dokter dalam negeri.
Kemampuan dokter kita sudah sejajar dengan dokter di luar negeri?
Kelompok profesi dokter sudah membangun kolaborasi internasional. Para guru besar itu menjadi pembicara dalam berbagai forum internasional dan mengikuti berbagai joint operation di luar negeri. Kalau berbicara tentang kemampuan dan kesetaraan kompetensi, kita bisa. Yang menjadi masalah di Indonesia bukan kemampuan, melainkan aspek pembiayaan. Kami harus mengakui ada masalah hospitality dan komunikasi. Namun apakah jawaban atas masalah komunikasi itu adalah mendatangkan dokter asing? Menurut saya belum tepat.
Jika kemampuan dokter setara, mengapa pasien dari Indonesia berbondong-bondong berobat ke luar negeri?
Biayanya lebih murah. Sebanyak 80 persen pasien asal Indonesia yang berobat ke luar negeri memilih Malaysia. Di sana ada kebijakan bebas pajak untuk warga negara asing yang berobat. Selain itu, banyak pasien yang masuk daftar tunggu di Indonesia. Masalahnya bukan ada atau tidak ada dokter, melainkan aspek pembiayaan yang belum sesuai dengan ongkos riil rumah sakit. Karena itu, operasinya diatur karena, makin banyak operasi, rumah sakit akan makin rugi. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, mereka memilih menjalani operasi di Malaysia ketimbang antre lama di sini.
Rasio jumlah dokter umum kita memang masih di bawah rata-rata dunia. Bagaimana memperbaikinya?
Memang ada referensi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa satu dokter berbanding dengan seribu penduduk. Perbandingan ini mencerminkan pelayanan ideal. Jumlahnya saat ini sekitar 210 ribu dokter, dengan rincian 160 ribu dokter umum dan 50 ribu dokter spesialis. Dengan jumlah penduduk 280 juta, kita kekurangan 50-60 ribu dokter. Sekarang ada 92 fakultas kedokteran yang dibuka dengan proyeksi mencetak 12 ribu dokter. Mungkin dalam empat tahun kekurangan itu mulai teratasi.
Bagaimana dengan kekurangan jumlah dokter spesialis?
Kita kekurangan spesialis dengan gap 50 ribu dokter spesialis berbanding 150 ribu dokter umum. Kami mengapresiasi pemerintah yang memberikan beasiswa dokter spesialis. Putra daerah diberi apresiasi dan kemudahan untuk bisa sekolah spesialis. Putra daerah pasti kembali ke daerahnya. Kita ambil contoh Papua yang dulu kekurangan dokter spesialis. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang pertama disekolahkan spesialis. Sekarang mereka sudah spesialis semua dan pengabdiannya luar biasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo