Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Miris, Begini Cara Warga Rafah Bertahan Hidup di Tengah Kekejaman Israel

Warga Rafah berusaha bertahan hidup dengan mengais sisa potongan makanan dan hidup di tengah sampah.

30 Mei 2024 | 09.16 WIB

Seorang wanita menyiapkan makanan di samping anak-anak, saat pengungsi Palestina berlindung di perbatasan Mesir, selama operasi militer Israel, di Rafah di selatan Jalur Gaza, 29 Mei 2024. REUTERS/Doaa Rouqa
Perbesar
Seorang wanita menyiapkan makanan di samping anak-anak, saat pengungsi Palestina berlindung di perbatasan Mesir, selama operasi militer Israel, di Rafah di selatan Jalur Gaza, 29 Mei 2024. REUTERS/Doaa Rouqa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Rafah, wilayah di sudut selatan Gaza kini menjadi target serangan Israel karena diklaim sebagai benteng terakhir Hamas di Gaza. Sejak pasukan Israel memulai operasi militer di wilayah tersebut pada 6 Mei, hampir separuh penduduk Rafah atau 800.000 orang terpaksa mengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Teranyar, pasukan Israel secara biadab menjatuhkan tujuh bom seberat 900 kg serta rudal di kamp pengungsian di distrik Tel Al-Sultan, kota Rafah. Serangan yang diluncurkan ke “zona kemanusiaan” itu terjadi sekitar pukul 10 malam, pada Minggu 26 Mei 2024 dan menewaskan 45 orang sementara 249 orang lainnya terluka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah invasi Israel ke Rafah, banyak warga Rafah ataupun pengungsi Palestina dari Gaza yang menghadapi tantangan besar agar bisa tetap bertahan hidup dan membangun kembali kehidupan mereka. Berikut adalah beberapa cara bagaimana warga Rafah berusaha bertahan hidup di tengah kota yang porak poranda akibat serangan Israel.

Mengandalkan Bantuan Kemanusiaan

Rafah menjadi tempat pengungsian bagi warga Jalur Gaza sejak serangan Israel meletus pada 7 Oktober 2023. Sebanyak 1,5 juta orang mencari perlindungan di Rafah, sebagian besar menjadi pengungsi internal.

Bantuan kemanusiaan dari organisasi internasional seperti PBB berperan penting dalam mendukung warga Rafah. Bantuan ini mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, pakaian, dan obat-obatan. Bantuan ini sangat vital untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga yang kehilangan rumah dan mata pencaharian mereka.

Menurut PBB, terdapat sembilan lokasi yang menampung para pengungsi di Rafah. Namun di lokasi tersebut hanya ada tiga klinik dan enam gudang. Jika tidak ada bahan bakar yang masuk, maka operasi kemanusiaan akan berada dalam kondisi gawat darurat, kata juru bicara OCHA Jens Laerke pada konferensi pers di Jenewa.

Mirisnya, pada Selasa, 21 Mei 2024 UNRWA mengatakan di X bahwa mereka akan menghentikan semua distribusi makanan di Rafah, dengan alasan kurangnya pasokan karena Israel menutup semua akses penyebrangan perbatasan. Badan pengungsi tersebut menambahkan bahwa hanya tujuh dari 24 pusat kesehatan yang beroperasi dan masalah keamanan membuat gudang UNRWA tidak dapat diakses.

Mengungsi ke Khan Younis

Melansir New Arab, keluarga-keluarga yang putus asa terpaksa meninggalkan Rafah untuk mengungsi ke Khan Younis. Mereka pergi dengan membawa sedikit yang mereka miliki, sementara yang lain menuju ke perkemahan yang berdekatan di Al-Mawasi.

Seorang warga bernama Ahmed, menceritakan penderitaannya setelah pemboman rumah keluarganya yang berlantai tiga di Rafah dalam serangan udara Israel, yang menewaskan ibunya dan dua anggota keluarga lainnya.  

“Sebelum invasi Israel ke Rafah, kehidupan sangat sulit namun masih layak untuk ditinggali,” kata Ahmed. “Sekarang keadaannya tidak tertahankan lagi.”

Ahmed mengalami cedera kepala dan bagian bawah kakinya patah. Namun dia tidak mempunyai akses terhadap dokter spesialis atau pengobatan karena banyaknya jumlah korban jiwa. Alhasil, dia ditempatkan di gerobak kayu sekitar 10 kilometer sampai ke Khan Younis.

“Merupakan keajaiban saya bisa sampai ke Al-Mawasi di Khan Younis,” katanya.

Selain ke Khan Younis, banyak warga yang mengungsi ke perkemahan pinggir laut yang berdekatan di Al-Mawasi, di mana orang-orang menggunakan air laut untuk mencuci dan berjalan setidaknya empat kilometer untuk mendapatkan jerigen berisi air minum.

Antre Demi Mendapatkan Air

Menurut laporan Anadolu Ajensi, warga yang tinggal di kamp pengungsi di kota Rafah menghadapi kekurangan air yang parah. Seorang warga bernama Saad Al-Tarabeen mengaku haru menunggu dengan sabar dalam antrean panjang bersama ratusan pengungsi lainnya, sambil memegang wadah kosong di tangannya untuk diisi.

“Sejak kemarin hingga saat ini, saya belum menerima air apa pun, dan menjelang musim panas, permintaan air kami semakin meningkat,” kata Al-Tarabeen kepada Anadolu.

“Kamp terkecil di Rafah dapat menampung 80-90 keluarga, dan pasokan air hanya bertahan selama dua jam dan tidak setiap hari. Persediaan air untuk keluarga-keluarga ini sangat tidak memadai,” tambahnya.



Tinggal Di Tenda Kecil yang Dipenuhi Sampah

Terdampar di sudut selatan Gaza, keluarga Abu Jarad harus menjalani rutinitas bertahan hidup yang ketat. Keluarga beranggotakan 10 orang itu kini berkumpul di dalam tenda berukuran 16 meter persegi  di atas lahan berpasir yang dipenuhi sampah.

Agar bisa bertahan hidup setiap anggota keluarga diberi tugas sehari-hari, mulai dari mengumpulkan ranting, menyalakan api untuk memasak, hingga menjelajahi pasar kota untuk mencari sayuran. Namun upaya terbaik mereka tidak bisa menutupi keputusasaan mereka.

Pada malam hari “anjing-anjing berkeliaran di atas tenda,” kata Awatif Abu Jarad, salah satu anggota keluarga yang lebih tua, mengutip AP News. “Kami hidup seperti anjing!”

Kantong Plastik Jadi Kamar Mandi

Lebih dari satu juta warga Palestina yang mengungsi ke Rafahhidup dalam kondisi yang semakin tidak manusiawi. Tamer Srour dan ketiga putrinya ketiga telah pindah hingga lima kali. Mereka tinggal dan bertahan hidup di tenda dengan anak-anak kecil.

Saat tidur, pesawat kerap melintas di atas kepala dan ia selalu berpikir bahwa pesawat itu akan membunuh mereka. “Saya sangat khawatir dengan ketiga putri saya, masa di depan mereka, dan apa yang akan terjadi pada mereka,” kata Srour kepada El Pais.

Ia pun menceritakan bahwa ia harus menggunakan kantong plastic sebagai kamar mandi. Hal itu ia lakukan agar mereka tetap bertahan hidup. “Kami telah menggunakan kantong plastik sebagai kamar mandi selama empat bulan,” jelasnya.

Mengais Makanan di Sisa-sisa Api

Pada Minggu malam, 26 Mei 2024, Israel kembali menggempur Rafah. Menurut laporan Al Jazeera, perempuan dan anak sipil ikut terbunuh dalam serangan udara di apa yang disebut “daerah aman” al-Mawasi 

Serangan itu juga menyebabkan tempat penampungan pengungsi terbakar. Banyak warga yang “terbakar hidup-hidup” dalam serangan biadab Israel tersebut.

Para pengungsi Palestina terpaksa menggali sisa-sisa api dengan tangan kosong untuk mencari mayat, atau orang-orang yang terluka. Dalam beberapa kasus, mereka juga mengais beberapa potong makanan yang bisa mereka selamatkan agar keluarga mereka tetap hidup sedikit lebih lama.

RIZKI DEWI AYU | NEW ARAB | EL PAIS | AP NEWS | ANADOLU | ALJAZEERA 

Pilihan editor: Indonesia Pertimbangkan Undangan ke KTT Perdamaian yang Digagas Zelensky

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus