Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Santa Claus yang menjadi sosok legendaris dan tradisi pemberian hadiah Natal dapat ditelusuri kembali saat penjajahan Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Belanda menetap di New York selama abad ke-17, mereka membawa legenda Santa Claus dan kebiasaan meninggalkan hadiah untuk anak-anak. Dari sana, karya sastra abad ke-19, seperti puisi The Night Before Christmas dan kampanye iklan Coca-Cola pertengahan abad ke-20 yang mengubah seorang uskup suci menjadi Santa Claus berjanggut putih dan bertopi merah. Legenda ini pun diyakini oleh banyak orang sampai sekarang, khususnya orang Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip stnicholascenter.org, Santa Claus didasarkan pada kisah St. Nicholas dari Myra yang menurut tradisi Kristen, seorang uskup di kota kecil Romawi dan hidup selama abad ke-4. Reputasi Nicholas untuk kemurahan hati dan kebaikan memunculkan legenda keajaiban yang ia lakukan untuk orang miskin dan tidak bahagia. Menurut satu cerita, Nicholas menghidupkan kembali tiga anak yang telah dipotong oleh seorang tukang daging dan dimasukkan ke dalam tong acar melalui doa.
Terdapat kisah lain yang menggambarkan bagaimana seorang Nicholas muda diam-diam memberikan mahar pernikahan dengan menjatuhkan emas ke cerobong asap tiga gadis. Ia memberikannya kepada tiga gadis lantaran mereka mengalami kemiskinan dan dipaksa menjadi pelacur. Emas yang dijatuhkan oleh Nicholas mendarat di kaus kaki yang dibiarkan mengering di depan perapian.
Nicholas meninggal pada 6 Desember 343 Masehi, dan kini hari kematiannya diperingati sebagai hari pesta untuk mengirimkan hadiah Natal. Jenazahnya diduga dipindahkan dari gerejanya di Myra pada 1087 ke Bari, Italia. Kisah-kisah tentang Nicholas pun berkembang sepanjang milenium ke-2 dan bercampur dengan tradisi dan Nicholas lainnya sehingga ia menjadi sosok legendaris yang sekarang disebut Santa Claus atau Sinterklas.
Namun selama abad ke-20, beberapa sejarawan berusaha mengurai sejarah Nicholas dari mitos tersebut. Penyelidikan mereka membuat meragukan keberadaan uskup itu sendiri. Ia tidak meninggalkan tulisan dan tidak memiliki murid. Namanya tidak disebutkan pula dalam teks kontemporer mana pun. Referensi paling awal berusia lebih dari 200 tahun setelah kematiannya dan biografi pertama ditulis sekitar 300 tahun setelah itu.
Sementara itu, ketidakpastian seputar keberadaan Nicholas tercermin dalam buku para santo yang telah direvisi, beberapa sejarawan menyatakan bahwa Nicholas pernah hidup dan telah melakukan banyak tindakan kebaikan dan kemurahan hati.
Mereka berargumen bahwa kurangnya dokumentasi selama masa hidupnya bukanlah bukti ketidakhadirannya dan menyerukan peninjauan kembali atas teks-teks yang telah diabaikan. Penganut lain menegaskan bahwa pembangunan gereja yang didedikasikan untuknya selama awal abad pertengahan adalah bukti yang cukup, seperti dilansir britannica.com.
Akhirnya pada 2017, muncul sebuah bukti dari abad ke-4 yang berupa sepotong tulang panggul. Bukti yang dikaitkan dengan eksisnya Nicholas dan sekarang disimpan di Amerika Serikat ini menawarkan potongan teka-teki. Menariknya, dugaan sisa-sisa Nicholas di Bari kehilangan sebagian tulang panggul.
Argumen dan penemuan tersebut menawarkan beberapa alasan kuat untuk tidak sepenuhnya mengabaikan keberadaan Nicholas sebagai sosok Santa Claus. Jadi, kesimpulan apakah Santa Claus merupakan mitos atau fakta tergantung pada kepercayaan dan keyakinan masing-masing.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca juga: Apa Perbedaan Santa Claus dan Sinterklas?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.