Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ELSHINTA kini tak sekadar radio. Sejak awal Desember lalu, stasiun ”news and talk” itu mulai main di layar kaca. Meski gambarnya masih statis, tayangan percobaan itu bisa dibilang gebrakan besar. ”Dalam enam bulan ke depan, kami harap gambarnya sudah bergerak,” kata Pemimpin Redaksi Radio Elshinta, Iwan Haryono, pekan lalu.
Dalam empat tahun belakangan, greget berlayar kaca memang luar biasa. Komisi Penyiaran Indonesia dan Departemen Komunikasi dan Informatika sudah menerima 53 permohonan izin siaran televisi baru sejak Undang-Undang Penyiaran disahkan, 2002. Kebanyakan adalah stasiun televisi. Lainnya televisi jaringan, pemerintah daerah, dan komunitas.
Tak semuanya berhasil. Dari lima stasiun nasional yang mulai siaran empat tahun lalu, hanya satu yang bisa menancapkan kukunya. Pada tahun keempatnya, Trans TV bisa menggeser dominasi pemain lama seperti ANTV dan TPI. Direktur Utama Trans TV, Ishadi S.K., mengatakan kemajuan stasiunnya sangat pesat dua tahun belakangan ini.
Pemilik Trans TV, Chairul Tanjung, bahkan yakin suatu hari stasiunnya menjadi yang terbaik. Dia mengklaim, berdasarkan segmen menengah atas, stasiunnya kini di urutan kedua setelah RCTI. Stasiun layar kaca di Jalan Mampang itu, katanya, sudah impas pada tahun kedua. Tahun ketiga dan keempat, keuntungannya makin baik.
Naiknya peringkat Trans TV secara tak langsung menggebuk perolehan televisi lain. Indosiar, pemain lama yang pernah berjaya dalam perolehan iklan, terpuruk tahun ini. Iklannya seret dan stasiun ikan terbang ini rugi Rp 28 miliar sampai September 2005. Keuangan yang ketat membuat mereka berencana merumahkan ratusan karyawannya.
Sekretaris Perusahaan Indosiar, Andreas Ambessa, mengatakan persaingan di industri televisi memang makin ketat. Sejak disahkannya Undang-Undang Penyiaran, perkembangan televisi di Indonesia tercepat di Asia Tenggara. Indosiar terkena dampak kompetisi ketat itu. Situasi ekonomi yang tidak kondusif dengan naiknya harga BBM, dan harga program yang mahal, membuat mereka rugi besar tahun ini.
Meski persaingan kian kencang, minat investor menanamkan duitnya tetap saja tinggi. Modal besar, teknologi tinggi, dan persaingan ketat tak membuat mereka surut melangkah. Raja media dari Amerika Serikat, Rupert Murdoch, membeli 20 persen saham ANTV senilai US$ 20 juta, meski stasiun televisi milik Grup Bakrie itu terus merugi.
Lativi, milik pengusaha Abdul Latif, yang belum menunjukkan performanya, diincar TV3 dari Malaysia. Di dalam negeri, Lembaga Kantor Berita Nasional Antara tertarik pula ikut main. Mereka tak mendirikan stasiun, hanya menawarkan produk berita dalam format televisi. ”Bisa bangkrut kalau bikin televisi,” kata Pemimpin Redaksi Antara, Asro Kamal Rokan.
Di daerah, TV lokal seperti cendawan disiram air. Deli TV, televisi lokal pertama di Medan, mengudara pada pertengahan Desember. Direktur Umum Deli TV, Chairman, menganggarkan Rp 50 miliar untuk televisi barunya. Karena menggantungkan pemasukan dari iklan, ”Kami menjual iklan lebih murah dari televisi nasional,” katanya.
Program unggulannya berbasis bahasa Mandarin, dan bisa ditangkap di tiga daerah, yaitu Medan, Binjai, dan Kabupaten Deli Serdang. ”Daerah lainnya kita anggap bonus karena bisa juga ditangkap di sebagian Kabupaten Langsa, Kisaran, dan Simelungun,” katanya.
Pemilik Bali TV, Satria Naradha, melihat prospek TV lokal sangat bagus. Kepada Rofiqi Hasan dari Tempo, Ketua Asosiasi Televisi Lokal ini mengatakan iklan produk nasional lebih membumi jika disampaikan dengan bahasa lokal, dengan artis setempat.
Iwan Haryono, dari Elshinta, berani berlayar kaca karena bidangnya masih sama, yaitu pemberitaan. Sebagai radio berita dan informasi, katanya, brand Elshinta sudah cukup kuat. ”Kami ingin melengkapi dengan membuat televisi berita lokal,” katanya. Kiat agar tak terpuruk adalah tidak jorjoran dan mengatasi persaingan dengan program unggulan.
Bisnis televisi yang ketat, bagi Iwan, justru menantang dan menggairahkan. Banyaknya kompetitor, baik asing maupun lokal, membuat dia bergairah dan ingin menaklukkan. ”Saya tidak mau berhasil karena faktor luck,” katanya.
Menantang dan menggairahkan itu, menurut pengamat televisi Veven S.P. Wardhana, memang sah-sah belaka. Tapi bisnis televisi banyak jebakannya, banyak ancamannya. ”Harusnya mereka sudah tahu, tapi mungkin mereka orang yang optimistis,” katanya.
Industri televisi berbeda dengan media cetak. Kelompok Kompas, yang punya nama besar di media cetak, masih berdarah-darah di TV 7. Indosiar belakangan kelimpungan setelah banyak pemain baru masuk. TV Elshinta, kata Veven, akan bernasib sama dengan pemain baru lainnya jika tidak punya keunggulan.
Jumlah televisi nasional sekarang ini, menurut Veven, juga sudah terlalu banyak. Apalagi, program berbagai stasiun itu tidak berbeda banyak. Porsi iklan yang diperebutkan tak pula naik signifikan. Bukan tak mungkin stasiun-stasiun komersial besar akan limbung suatu ketika.
Leanika Tanjung, Dewi Rahmarini (Tempo News Room), Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo