Undang-undang keamanan baru memungkinkan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi ditahan lebih lama. HARI-hari sunyi Aung San Suu Kyi bakal tambah panjang. Itulah akibat diubahnya undang-undang keamanan Myanmar, negeri yang dahulu bernama Burma itu, dua pekan lalu. Suu Kyi, tokoh oposisi pendiri dan ketua Partai Liga Nasional Demokrasi, dua tahun lalu dikenai tahanan rumah. Menurut undang-undang lama, ia paling lambat bebas tahun depan. Namun, undang-undang baru mengatakan, masa penahanan untuk "orang yang ditahan tanpa tuduhan jelas dan tidak diadili" dinaikkan dari tiga tahun menjadi lima tahun. Maka, anak pahlawan nasional Burma itu bisa berada dalam tahanan rumah sampai tahun 1994 nanti. Inilah salah satu cerminan bagaimana rezim militer Myanmar, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta berdarah pada 1988, bisa berbuat seenaknya. Rezim yang oleh para pengamat dijuluki "rezim yang tuli" terhadap segala kecaman dari luar negeri, apalagi dari dalam. Tentang undang-undang baru itu, mestinya Suu Kyi sudah mengetahuinya. Sejak dikenai tahanan rumah dua tahun lalu, selain mendengarkan siaran radio lokal, ia dibolehkan membaca koran pemerintah, The Working People's Daily. Koran inilah, dalam edisi Sabtu dua pekan lalu, yang memuat undang-undang baru itu. Tampaknya, undang-undang baru itu akan membuat sebuah rumah di daerah mewah di Jalan Raya Universitas, yang rumputnya sudah lebih tinggi dari lutut, bakal tambah muram. Di rumah bergaya arsitektur kolonial Inggris warisan dari ibunya inilah Suu Kyi, kini 46 tahun, menjalani tahanan rumah. Bahkan, sebelum ada undang-undang baru, menurut sumber TEMPO di Yangoon, belakangan ini rumah itu tak pernah lagi melantunkan alunan musik klasik. Konon, piano yang biasanya dimainkan Suu Kyi terpaksa dijual, untuk ongkos hidup sehari-hari. Sudah setahun terakhir ini Suu Kyi tak menerima kiriman uang dan makanan dari keluarga, teman, dan pendukungnya di banyak negara. Soal satu ini bukan karena larangan pemerintah, tapi atas kehendak Suu Kyi sendiri. Setelah koran pemerintah menulis bahwa ia sebenarnya tidak menderita, karena mendapat kiriman makanan mahal dari luar negeri, tokoh oposisi ini lalu menampik paket-paket itu. Tampaknya, Suu Kyi tak ingin para pendukungnya mendapat kesan bahwa ia hidup enak, sementara rakyat Burma ditindas. Terputusnya hubungan rumah itu dengan dunia luar makin sempurna, setelah pemerintah menyetop surat-menyuratnya, bahkan termasuk surat dari dan untuk keluarga Suu Kyi sendiri. "Junta militer berniat menghancurkan Suu Kyi secara mental," kata seorang pengamat. Praktis Suu Kyi kini terkucil di rumah sendiri. Suaminya, orang Inggris ahli budaya Tibet yang mengajar di Universitas Oxford, terakhir diizinkan menjumpainya, Desember 1989. Dua anaknya, kini masing-masing berusia 16 tahun dan 14 tahun, terakhir bertemu ibunya, juga sekitar dua tahun lalu. Hanya seorang pembantu wanita dibolehkan datang ke rumah itu tiga kali seminggu, untuk mencuci pakaian dan membersihkan rumah. Pembantu inilah yang membelanjakan makanan. Suu Kyi masak sendiri. Selain masak, tokoh oposisi yang pidatonya selalu mengundang hadirin ini melewatkan waktu dengan membaca, menulis, senam, dan meditasi. Untunglah, bahan bacaan tidak kurang. Di rumah itu perpustakaan pribadi ibunya penuh dengan buku sastra, sejarah, dan filsafat. Tentu, di situ ada pula buku karya sang ayah, Jenderal Aung San yang pernah dikatakan Suu Kyi sebagai sumber inspirasinya. Sebenarnya, gampang saja jika Suu Kyi ingin penderitaannya berakhir. Pemerintah Yangoon berkali-kali menawarkan pembebasannya asal ia setuju keluar dari Myanmar, hidup di luar negeri seumur hidupnya. Suu Kyi, konon, menerima tawaran itu dengan berbagai syarat. Antara lain, semua tahanan politik dibebaskan, dan pihak militer menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan sementara yang dipimpin Liga Nasional Demokrasi, sebagai pemenang pemilu tahun lalu. Terang, syarat itu ditolak pemerintah Yangoon, yang di bawah Jenderal Sau Maung bisa berbuat apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Hanya sekali, sejak 1988, pemerintah Yangoon menerima desakan dunia internasional, untuk menyelenggarakan pemilu. Pemilu itu pun baru diadakan tahun lalu. Mungkin karena pemimpin oposisi berada dalam tahanan, penguasa militer menduga Liga Nasional Demokrasi tak bakal menang. Kenyataannya, partai itu menang. Dalam keadaan normal, Suu Kyi, langsung memegang pemerintahan. Namun, segera siasat digulirkan dari markas rezim militer. Penguasa Yangoon mengatakan, kemenangan Suu Kyi tak sah. Menurut peraturan yang, waktu ltu, baru saja diumumkan, calon-calon dalam status tahanan tak berhak ikut pemilu. Suu Kyi juga terkena jerat peraturan lain, yang oleh para diplomat Barat dianggap mengada-ada. Yakni, ia dilarang ikut pemilu karena suaminya warga negara asing (Inggris). Padahal, pada masa persiapan pemilu, soal suami asing tak disebut-sebut. Munculnya undang-undang keamanan baru kini bisa ditafsirkan bahwa pemerintah Yangoon makin tak peduli pada imbauan dunia internasional. Undang-undang itu diumumkan dekat setelah pertemuan ASEAN berlangsung di Kuala Lumpur. Padahal, dalam pertemuan itu disepakati untuk mengirimkan utusan ke Yangoon, membicarakan soal "tuduhan penindasan hak asasi" di Myanmar. Kesepakatan itu sendiri merupakan jalan lunak yang dipilih oleh ASEAN, atas desakan negara-negara Barat agar diambil tindakan terhadap Burma. Mengapa Suu Kyi begitu ditakuti oleh penguasa Yangoon? Bukankah langkah-langkah pemerintah selama ini sudah membuat pihak oposisi tak berdaya, dan tak mungkin muncul lagi dalam waktu dekat? Tampaknya, oposisi di Burma identik dengan Suu Kyi. Para pemimpin yang lain boleh tak ada, tapi, begitu muncul Suu Kyi yang Juli lalu terpilih memenangkan Shakarov Prize sebagai pejuang demokrasi, bangkit pulalah kekuatan oposisi. Tulis Bertil Lintner, wartawan Swedia penulis biografi Suu Kyi, "Pemerintah sadar bahwa mereka tak disenangi rakyat, sedang Suu Kyi didukung mayoritas penduduk." Yuli Ismartono (Bangkok) dan Farida Sendjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini