Suatu jaringan Cina internasional diusulkan dibentuk di Konvensi Cina di Singapura. Semangat rasialisme? CINA di seluruh dunia punya satu persamaan. Bila mereka memasak, betapapun berbedanya selera masing-masing, akhirnya masakan itu disebut "masakan Cina". Itulah pidato pembuka bekas Perdana Menteri Singapura Le Kuan Yew, sebagai salah seorang pembicara utama dalam Shijie Huashang Dahui atau Konvensi Wiraswasta Cina Sedunia. Namun, tentu bukan soal masakan itu bila sekitar 800 Cina dari berbagai negara berkumpul di lobi Hotel Mandarin di pusat keramaian Orchard Road di Singapura, 10-12 Agustus pekan lalu. Mereka para tokoh bisnis, wartawan, dan intelektual Cina dari 30 negara berkumpul untuk kongko-kongko tentang isu ekonomi, politik, dan kebudayaan. Inilah upaya pertama kali membentuk jaringan etnis Cina di luar RRC, untuk menyambut abad mendatang yang disebutnya sebagai abad Asia-Pasifik, tulis Zaimuddin Anwar, koresponden TEMPO di Singapura. Pemilihan Singapura sebagai tempat pertemuan bukannya tanpa alasan. Kata Lee Kuan Yew, dari 25 juta etnis Cina di luar RRC, 21,5 juta di antaranya tinggal di negara-negara ASEAN. Disadari atau tidak, menurut menteri senior Singapura itu, ada satu benang merah yang mengakibatkan sukses para etnis Cina di mana pun. Yakni, karena mereka terus memegang teguh "nilai-nilai budaya Cina". Nilai-nilai itu, kata Lee lagi, tak lain yang disebut hemat, kerja keras, mengutamakan pendidikan, persatuan, dan saling membantu. Lee lalu memberikan contoh Singapura sebagai model keberhasilan etnis Cina membangun negara. Pada hari ketiga, setelah semua peserta diperkenalkan dengan obyek-obyek pariwisata dan pembangunan negara pulau itu, Brigadir Jenderal George Yeo, Menteri Penerangan dan Kesenian Singapura, melihat keberhasilan etnis Cina dari sudut lain. Kata Yeo, keberhasilan Singapura dan negara Asia Timur lain karena menerapkan ajaran Konfusianisme. Maka, tak mengherankan bila kini masyarakat etnis Cina di seluruh dunia sedang mempertimbangkan kembali Konfusianisme dengan pandangan yang lebih cerah. Konfusianisme, kata Yeo, bukan lagi milik Cina Daratan. Konvensi kemudian ditutup oleh Wakil Perdana Menteri Singapura Ong Teng Cheong, yang kembali menegaskan tujuan diadakannya Konvensi Cina Sedunia yang pertama kali ini. Yakni, masyarakat bisnis internasional etnis Cina harus membentuk suatu jaringan kerja sama ekonomi untuk memanfaatkan berbagai peluang bisnis. Untuk itu, ia mengajukan negaranya sebagai pusat dari kegiatan itu karena, katanya, "Singapura menduduki posisi strategis," dilihat dari sudut perdagangan, keuangan, dan komunikasi. Mudah dicium, bau ambisi Singapura untuk mengambil alih kedudukan Hong Kong sebagai pusat perdagangan, nanti, pada 1997, setelah koloni Inggris itu dikembalikan pada RRC. Itu tak mengapa. Yang penting diperhatikan adalah usul Ong membentuk asosiasi perdagangan dan profesional untuk melindungi kepentingan para anggota Konvensi dan membentuk suatu institut dunia atas dasar hasil konvensi di Singapura kini. Apa pun wujud pelaksanaannya nanti, usul tersebut nadanya berbau rasialistis. Ini tentu tak begitu mengenakkan bagi pemerintah negara Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia, yang sedang bersusah payah mengusahakan terciptanya suatu negara berdasarkan "satu nusa satu bangsa". Kata pengusaha Indonesia Liem Bian Koen, yang kini dikenal sebagai Sofyan Wanandi, bila pertemuan menjurus "untuk kepentingan eksklusif ... itu merugikan buat semangat pembauran dan persatuan di Indonesia." Ia sendiri tak hadir karena memang tak diundang. Dari Indonesia yang diundang, kata Sofyan, adalah Liem Soei Liong dan Eka Tjipta Widjaja. "Namun, mereka tak hadir karena menganggapnya tidak penting," katanya. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini