Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negosiasi onderdil untuk iran ?

Perundingan masalah sandera as di teheran, pm. iran mohammad ali rajai menyatakan agar amerika menarik pesawat awacs-nya dari arab saudi dan kemungkinan munculnya tuntutan pengiriman suku cadang.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL menghadapi agresi Irak, Teheran tampaknya berusaha memperoleh dukungan luas--terutama dari AS--di forum PBB. Perdana Menteri Iran Mohammad Ali Rajaie, misalnya, datang sendiri memimpin delegasi untuk menghadiri perdebatan masalah Iran-Irak di Dewan Keamanan PBB pekan lalu. Dengan Rajaie itu, Presiden AS Jimmy Carter mengharapkan terbukanya suatu dialog mengenai soal 52 sandera AS yang ditahan Iran sejak November tahun lalu. Isyarat membuka pembicaraan tersebut sudah dikirimkannya ke Teheran sebelum Rajaie bertolak ke New York. Bahkan dalam kampanye pemilihan presiden di Kota Pittston, Carter mulai menyebut Irak sebagai penyerbu (invaders). Ia juga menentang setiap usaha Irak memotong wilayah Iran. "Kami ingin melihat para penyerbu itu menarik diri dari wilayah yang didudukinya," katanya. Carter memang berkepentingan sekali mempercepat pembebasan sandera. Bila ia berhasil mengembalikan para sandera ke AS sebelum 4 November (saat pemilihan presiden AS), peluangnya memenangkan pemilihan itu dinilai sangat baik. Tanda-tanda ke arah sana sudah tampak ketika Rajaie memberikan konperensi pers selama 75 menit Sabtu lalu. Soal sandera, demikian Rajaie, sesungguhnya terletak di tangan AS sendiri. Disarankannya pula supaya AS menarik kembali empat pesawat AWACS (Sistem Pengawasan dan Pengendalian di Udara) dari Arab Saudi. Bila hal tersebut sudah diwujudkan, katanya, segera Majlis (Parlemen) Iran akan membicarakan pembebasan para sandera. "Saya ingin meyakinkan anda bahwa hanya beberapa saat setelah Majlis memutuskan, tidak berbeda jauh saya kira, pemerintah juga akan mengakhiri dan menyelesaikan soal sandera tersebut," ungkapnya. "Tapi benarkah AS menginginkan pembebasan para sandera bila masih retap mempertahankan AWACS?" Adalah karena pesawat AWACS, Rajaie menuduh AS berdiri di belakang Irak. Pesawat itu disebutnya beberapa kali membantu mengirimkan informasi militer Iran ke Irak. Dan sebaliknya pesawat tadi, tuduh Rajaie, banyak menyesatkan pesawat tempur Iran dalam menggempur sasaran lawan. Belakangan memang terbukti Iran semakin merasakan tekanan berat gerak maju Irak di wilayah Khorramshahr, Abadan, Ahwaz dan Dezful. Bahkan beberapa kali Irak berhasil menggugurkan serangan udara Iran . Bagaimana tanggapan AS? Isyarat Rajaie tersebut, sekalipun dikemukakan dengan nada retorik, mendapat perhatian penuh para pemegang kebijaksanaan di Washington. Tapi AS tampaknya tidak ingin tergesa mengambil keputusan--mungkin karena ingin melihat Iran semakin tersudut di pertempuran. "Adalah tidak pantas membangun suatu harapan akan pembebasan sandera yang terlalu dini," demikian reaksi Presiden Carter. Pernyataan Rajaie, demikian seorang pejabat tinggi AS, bukan merupakan suatu jaminan pemecahan pembebasan sandera. Tapi Sekretaris Jenderal PBB Dr. Kurt Waldheim, beberapa saat setelah bertemu Rajaie, merasa optimistis soal sandera akan terselesaikan. "Saya kira, kini menjadi jelas buat menciptakan kondisi dan memungkinkan untuk memecahkan persoalan tersebut," katanya kepada televisi NBC, AS. Carter tampak cerdik memainkan peranan AWACS di atas wilayah Teluk Persia. Ia cukup menyadari bahwa popularitasnya akan naik bila para sandera berhasil dibebaskan--suatu modal berharga menghadapi pemilihan presiden, 4 November. Tapi benarkah Iran hanya menuntut penarikan AWACS? Tidakkah kelak Iran akan menuntut pengiriman suku cadang militer yang dulu telah dibeli Syah Pahlavi dan meminta pencairan devisanya sebesar US$ 8 milyar (Rp 5 trilyun)? Kemungkinan munculnya tuntutan tersebut memang tampak. Memasuki minggu kelima pertempuran, Iran makin menghadapi kelangkaan suku cadang perlengkapan militernya. Sudah jarang terdengar prestasi pesawat tempur Iran di udara. Pesawat Iran F-14 Tomcat, misalnya, karena tidak dilengkapi dengan peluru kendali Phoenix, selalu menghindari duel udara dengan MiG Irak. Tomcat tersebut hanya digunakan untuk operasi pengeboman saja -- suatu hal yang bukan merupakan tugas utamanya. Iran juga tak bisa menggunakan Peluru Kendali Udara ke Darat Maverick, buatan AS (2.400 buah), yang terkenal ampuh menghancurkan tank. Karena pasukan lapis bajanya pun lumpuh (kekurangan suku cadang menimpa pula tank Chieftain dan Scorpion buatan Inggris), Iran sulit menghambat gerak maju Irak menyeberangi Sungai Karun yang membelah Khorramshahr. Bahkan Khorramshahr dan Abadan sudah dikepung ketat. Iran tetap sulit memperoleh suku cadang militer buatan AS dan Inggris di pasaran bebas. Karena hampir semua negara yang memiliki persenjataan baku buatan AS dan Inggris melakukan isolasi diplomatik dengan Iran. Usahanya mendapatkan amunisi eks Soviet dari Libya dan Korea Utara ternyata tidak efektif. Usaha Gencatan Senjata Maka tidak ada pilihan buat Teheran selain berpaling ke AS. Di sana Iran masih memiliki sejumlah suku cadang -bernilai US$ 370 juta (Rp Z30 milyar), dibeli dalam zaman Syah Pahlavi--tapi masih ditahan AS sehubungan dengan krisis penyanderaan. Pekan lalu jaringan televisi WLS-TV memberitakan bahwa suku cadang milik Iran di Pangkalan Angkatan Udara McGuire, New Jersey, sudah dikemas dalam lima pesawat dan siap diterbangkan ke Teheran. Benarkah? Pihak Pentagon membantahnya. Washington tampak berhati-hati sekali menyelenggarakan negosiasi dengan Teheran dalam upaya membebaskan sandera. Carter tidak ingin Soviet memperoleh kesan bahwa AS melakukan campur tangan perang Iran-lrak dengan pengiriman suku cadang tersebut. Jika mencurigakan Soviet, sesuatu tindakan AS mungkin menimbulkan konfrontasi terbuka di Teluk Persia. AS dan sekutunya tentu tak menghendaki hal tersebut terjadi. Sebab dari wilayah Teluk Persia inilah sekitar 40% impor minyak AS, Eropa Barat dan Jepang berasal. Industri mereka akan terpukul bila terjadi peperangan di wilayah ini. Tapi pekan lalu di sana terjadi peningkatan konsentrasi kekuatan. Di Lautan Hindia, dekat mulut Selat Hormuz, AS dan sekutunya (Prancis, Inggris, Australia, Oman dan Selandia Baru) menempatkan 60 kapal perang berbagai jenis. Sementara Soviet juga telah mengirimkan 29 kapal perangnya. Suatu gencatan senjata agaknya sulit dicapai. Segera sesudah Presiden Pakistan Zia Ul-llaq meninggalkan Teheran, pesawat F-4 Phantom Iran mengebom Baghdad. Upaya Zia menganjurkan kedua pihak melakukan gencatan senjata lima hari menyambut Idul Adha tampak kandas pula. Habib Chatti, Sekjen Organisasi Kongres Islam, berbicara dengan Presiden Irak Saddam Hussein pekan lalu dalam usaha mendamaikan kedua pihak. Pekan ini Chatti berusaha pula menemui Presiden Iran Abolhassan Bani Sadr dan Ayatullah Khomeini. Sementara berbagai pihak mengusahakan gencatan senjata, Presiden Saddam Hussein justru menyerukan agar tentaranya melakukan serangan lebih keras. "Karena sesungguhnya kalian adalah pedang Allah sejati di bumi," katanya dalam peringatan Idul Adha. Irak memang berusaha keras merebut Abadan dan Khorramshahr. Bila kedua kota tersebut berhasil dikuasainya, Irak berarti akan mengontrol secara sempurna lembah dan jalan air Shatt-al-Arab. Baghdad, demikian Wakil PM Irak Tareq Aziz, tak akan melepaskan begitu saja wilayah yang direbutnya. "Kami akan mempertahankan garis perbatasan seperti yang berhasil kami rebut selama peperangan," kata Aziz seperti dikutip majalah Al Hawadess, London. Kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak disenangi AS, apalagi bila seluruh pronvinsi kaya minyak Khuzistan juga diambil alih Irak. Di pihak Iran, Ayatullah Khomeini tak kurang menggelorakan semangat rakyatnya agar maju ke garis depan. Tapi kini rakyat Iran, terutama penduduk Teheran, mulai merasakan tekanan akibat perang. Bensin untuk kendaraan pribadi dicatu 30 liter sebulan, sedang untuk bis umum dan taksi 35 liter sehari. "Yang mengkhawatirkan," tulis wartawan TEMPO Zulkifly Lubis dari Teheran, "rakyat mulai sulit memperoleh solar dan minyak tanah. Menghadapi awal musim dingin ini (Desember) kedua jenis bahan bakar itu sangat diperlukan untuk pemanasan." Mampukah Teheran bertahan? "Kami sudah biasa menderita," begitu rata-rata jawaban mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus