SAMBIL menghadapi agresi Irak, Teheran tampaknya berusaha
memperoleh dukungan luas--terutama dari AS--di forum PBB.
Perdana Menteri Iran Mohammad Ali Rajaie, misalnya, datang
sendiri memimpin delegasi untuk menghadiri perdebatan masalah
Iran-Irak di Dewan Keamanan PBB pekan lalu.
Dengan Rajaie itu, Presiden AS Jimmy Carter mengharapkan
terbukanya suatu dialog mengenai soal 52 sandera AS yang ditahan
Iran sejak November tahun lalu. Isyarat membuka pembicaraan
tersebut sudah dikirimkannya ke Teheran sebelum Rajaie bertolak
ke New York. Bahkan dalam kampanye pemilihan presiden di Kota
Pittston, Carter mulai menyebut Irak sebagai penyerbu
(invaders). Ia juga menentang setiap usaha Irak memotong wilayah
Iran. "Kami ingin melihat para penyerbu itu menarik diri dari
wilayah yang didudukinya," katanya.
Carter memang berkepentingan sekali mempercepat pembebasan
sandera. Bila ia berhasil mengembalikan para sandera ke AS
sebelum 4 November (saat pemilihan presiden AS), peluangnya
memenangkan pemilihan itu dinilai sangat baik. Tanda-tanda ke
arah sana sudah tampak ketika Rajaie memberikan konperensi pers
selama 75 menit Sabtu lalu.
Soal sandera, demikian Rajaie, sesungguhnya terletak di tangan
AS sendiri. Disarankannya pula supaya AS menarik kembali empat
pesawat AWACS (Sistem Pengawasan dan Pengendalian di Udara) dari
Arab Saudi. Bila hal tersebut sudah diwujudkan, katanya, segera
Majlis (Parlemen) Iran akan membicarakan pembebasan para
sandera. "Saya ingin meyakinkan anda bahwa hanya beberapa saat
setelah Majlis memutuskan, tidak berbeda jauh saya kira,
pemerintah juga akan mengakhiri dan menyelesaikan soal sandera
tersebut," ungkapnya. "Tapi benarkah AS menginginkan pembebasan
para sandera bila masih retap mempertahankan AWACS?"
Adalah karena pesawat AWACS, Rajaie menuduh AS berdiri di
belakang Irak. Pesawat itu disebutnya beberapa kali membantu
mengirimkan informasi militer Iran ke Irak. Dan sebaliknya
pesawat tadi, tuduh Rajaie, banyak menyesatkan pesawat tempur
Iran dalam menggempur sasaran lawan. Belakangan memang terbukti
Iran semakin merasakan tekanan berat gerak maju Irak di wilayah
Khorramshahr, Abadan, Ahwaz dan Dezful. Bahkan beberapa kali
Irak berhasil menggugurkan serangan udara Iran .
Bagaimana tanggapan AS? Isyarat Rajaie tersebut, sekalipun
dikemukakan dengan nada retorik, mendapat perhatian penuh para
pemegang kebijaksanaan di Washington. Tapi AS tampaknya tidak
ingin tergesa mengambil keputusan--mungkin karena ingin melihat
Iran semakin tersudut di pertempuran. "Adalah tidak pantas
membangun suatu harapan akan pembebasan sandera yang terlalu
dini," demikian reaksi Presiden Carter.
Pernyataan Rajaie, demikian seorang pejabat tinggi AS, bukan
merupakan suatu jaminan pemecahan pembebasan sandera. Tapi
Sekretaris Jenderal PBB Dr. Kurt Waldheim, beberapa saat setelah
bertemu Rajaie, merasa optimistis soal sandera akan
terselesaikan. "Saya kira, kini menjadi jelas buat menciptakan
kondisi dan memungkinkan untuk memecahkan persoalan tersebut,"
katanya kepada televisi NBC, AS.
Carter tampak cerdik memainkan peranan AWACS di atas wilayah
Teluk Persia. Ia cukup menyadari bahwa popularitasnya akan naik
bila para sandera berhasil dibebaskan--suatu modal berharga
menghadapi pemilihan presiden, 4 November. Tapi benarkah Iran
hanya menuntut penarikan AWACS? Tidakkah kelak Iran akan
menuntut pengiriman suku cadang militer yang dulu telah dibeli
Syah Pahlavi dan meminta pencairan devisanya sebesar US$ 8
milyar (Rp 5 trilyun)?
Kemungkinan munculnya tuntutan tersebut memang tampak. Memasuki
minggu kelima pertempuran, Iran makin menghadapi kelangkaan suku
cadang perlengkapan militernya. Sudah jarang terdengar prestasi
pesawat tempur Iran di udara. Pesawat Iran F-14 Tomcat,
misalnya, karena tidak dilengkapi dengan peluru kendali Phoenix,
selalu menghindari duel udara dengan MiG Irak. Tomcat tersebut
hanya digunakan untuk operasi pengeboman saja -- suatu hal yang
bukan merupakan tugas utamanya.
Iran juga tak bisa menggunakan Peluru Kendali Udara ke Darat
Maverick, buatan AS (2.400 buah), yang terkenal ampuh
menghancurkan tank. Karena pasukan lapis bajanya pun lumpuh
(kekurangan suku cadang menimpa pula tank Chieftain dan Scorpion
buatan Inggris), Iran sulit menghambat gerak maju Irak
menyeberangi Sungai Karun yang membelah Khorramshahr. Bahkan
Khorramshahr dan Abadan sudah dikepung ketat.
Iran tetap sulit memperoleh suku cadang militer buatan AS dan
Inggris di pasaran bebas. Karena hampir semua negara yang
memiliki persenjataan baku buatan AS dan Inggris melakukan
isolasi diplomatik dengan Iran. Usahanya mendapatkan amunisi eks
Soviet dari Libya dan Korea Utara ternyata tidak efektif.
Usaha Gencatan Senjata
Maka tidak ada pilihan buat Teheran selain berpaling ke AS. Di
sana Iran masih memiliki sejumlah suku cadang -bernilai US$ 370
juta (Rp Z30 milyar), dibeli dalam zaman Syah Pahlavi--tapi
masih ditahan AS sehubungan dengan krisis penyanderaan. Pekan
lalu jaringan televisi WLS-TV memberitakan bahwa suku cadang
milik Iran di Pangkalan Angkatan Udara McGuire, New Jersey,
sudah dikemas dalam lima pesawat dan siap diterbangkan ke
Teheran.
Benarkah? Pihak Pentagon membantahnya. Washington tampak
berhati-hati sekali menyelenggarakan negosiasi dengan Teheran
dalam upaya membebaskan sandera. Carter tidak ingin Soviet
memperoleh kesan bahwa AS melakukan campur tangan perang
Iran-lrak dengan pengiriman suku cadang tersebut.
Jika mencurigakan Soviet, sesuatu tindakan AS mungkin
menimbulkan konfrontasi terbuka di Teluk Persia. AS dan
sekutunya tentu tak menghendaki hal tersebut terjadi. Sebab dari
wilayah Teluk Persia inilah sekitar 40% impor minyak AS, Eropa
Barat dan Jepang berasal. Industri mereka akan terpukul bila
terjadi peperangan di wilayah ini. Tapi pekan lalu di sana
terjadi peningkatan konsentrasi kekuatan. Di Lautan Hindia,
dekat mulut Selat Hormuz, AS dan sekutunya (Prancis, Inggris,
Australia, Oman dan Selandia Baru) menempatkan 60 kapal perang
berbagai jenis. Sementara Soviet juga telah mengirimkan 29 kapal
perangnya.
Suatu gencatan senjata agaknya sulit dicapai. Segera sesudah
Presiden Pakistan Zia Ul-llaq meninggalkan Teheran, pesawat F-4
Phantom Iran mengebom Baghdad. Upaya Zia menganjurkan kedua
pihak melakukan gencatan senjata lima hari menyambut Idul Adha
tampak kandas pula.
Habib Chatti, Sekjen Organisasi Kongres Islam, berbicara dengan
Presiden Irak Saddam Hussein pekan lalu dalam usaha mendamaikan
kedua pihak. Pekan ini Chatti berusaha pula menemui Presiden
Iran Abolhassan Bani Sadr dan Ayatullah Khomeini.
Sementara berbagai pihak mengusahakan gencatan senjata, Presiden
Saddam Hussein justru menyerukan agar tentaranya melakukan
serangan lebih keras. "Karena sesungguhnya kalian adalah pedang
Allah sejati di bumi," katanya dalam peringatan Idul Adha.
Irak memang berusaha keras merebut Abadan dan Khorramshahr. Bila
kedua kota tersebut berhasil dikuasainya, Irak berarti akan
mengontrol secara sempurna lembah dan jalan air Shatt-al-Arab.
Baghdad, demikian Wakil PM Irak Tareq Aziz, tak akan melepaskan
begitu saja wilayah yang direbutnya. "Kami akan mempertahankan
garis perbatasan seperti yang berhasil kami rebut selama
peperangan," kata Aziz seperti dikutip majalah Al Hawadess,
London. Kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak disenangi AS,
apalagi bila seluruh pronvinsi kaya minyak Khuzistan juga
diambil alih Irak.
Di pihak Iran, Ayatullah Khomeini tak kurang menggelorakan
semangat rakyatnya agar maju ke garis depan. Tapi kini rakyat
Iran, terutama penduduk Teheran, mulai merasakan tekanan akibat
perang. Bensin untuk kendaraan pribadi dicatu 30 liter sebulan,
sedang untuk bis umum dan taksi 35 liter sehari. "Yang
mengkhawatirkan," tulis wartawan TEMPO Zulkifly Lubis dari
Teheran, "rakyat mulai sulit memperoleh solar dan minyak tanah.
Menghadapi awal musim dingin ini (Desember) kedua jenis bahan
bakar itu sangat diperlukan untuk pemanasan."
Mampukah Teheran bertahan? "Kami sudah biasa menderita," begitu
rata-rata jawaban mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini