SUASANA "Indonesia" masih terasa di rumahnya, di daerah tua Wendsworth, di London: batik dan beberapa tokoh wayang yang menghiasi dinding. Tapi dari rumah itu pula Ny. Carmel Budiardjo, bekas tokoh Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) melanjutkan aktivitasnya yang dikenal tak bersahabat terhadap pemerintah Indonesia. Tapol, buletin yang ia pimpin bersama beberapa kawannya, kini tak lagi bicara panjang lebar soal para tahanan G-30-S/PKI, setelah para tahanan itu dibebaskan oleh pemerintah. Tapi ia terus menyerang kebijaksanaan Jakarta--seolah organ kekuasaan musuh dalam pengasingan. Carmel sendiri punya penjelasan bagi pembantu TEMPO di London. Buletin yang tetap memakai nama itu, katanya, "akan tetap giat, bukan saja memperjuangkan nasib bekas para tahanan G-30-S/PKI, tapi juga para mahasiswa, orang-orang Timor Timur dan mereka yang ditahan karena disangka terlibat dalam gerakan OPM." Sponsor Baru Tak berarti kegiatan ini disepakati kawan-kawannya. Beberapa rekannya seperti Lord Gardiner, tokoh.gerakan buruh sayap kiri, anggota parlemen dari Partai Buruh Stan Newens dan pengarang terkenal Han Suyin yang sejak lama tinggal di Swiss diketahui bukan penyokong penuh lagi. Ada 9 orang, termasuk tiga orang tadi, yang tak lagi bersedia dicantumkan namanya dalam buletin Tapol. Tapi, Carmel, yang dulu dikenal sebagai ekonom yang dekat dengan PKI, rupanya berhasil mencari sponsor baru. Soal Tapol ini menarik perhatian lagi ketika Derek Davies Pemimpin Redaksi dari mingguan terbitan Hongkong Far Eastern Economic Review, dalam edisi 12 September lalu, menurunkan tulisan yang mengritik aktivitas Ny. Budiardjo sekarang. Antara lain dalam hal memasukkan para sponsor baru yang "tak mempunyai hubungan apa pun dengan Indonesia atau pengetahuan tentang keadaan di sana--bahkan beberapa di antara mereka tak pernah mengunjungi negeri itu". Para pendukung Ny. Carmel Budiardjo yang sekarang memang macam-macam latar belakangnya. Mulal dari pengacara, bekas politisi, beberapa aktivis dari gerakan buruh kiri, sampai produser film lokal dan aktris Dame Peggy Ashcroft dan Glenda Jackson. Tulisan Derek terutama mengungkapkan latar belakang dan aktivitas wanita lnggris itu ia bekas aktivis partai komunis Inggris 35 tahun lalu, anggota dari beberapa organisasi front komunis yang kemudian menjadi penasihat dr. Soebandrio, sewaktu menjabat Wakil Perdana Menteri I dan Menteri Luar Negeri RI di zaman Bung Karno. Soebandrio Semua itu kemudian dibantah Ny. Budiardjo, seperti dimuat dalam The Review edisi 17 oktober. Dalam nada tajam, Ny. Budiardjo mengatakan tak pernah terlibat dalam front dan aktivitas yang disebutkan pemimpin redaksi majalah itu. Dia juga menyatakan tak pernah menjadi penasihat bekas Waperdam dan Menlu Soebandrio. "Saya pernah menjabat sekretaris dari suatu lembaga ekonomi yang dibentuk oleh Soebandrio dan bertujuan memberikan nasihat-nasihat di bidang kebijaksanaan ekonomi". Wanita Inggris itu tak membantah pernah bertemu suaminya, Budiardjo,ketika studi di Praha. Ia juga tak membantah disebut pernah menjadi anggota partai komunis Inggris. Tapi ia membantah bahwa suaminya, yang kini tinggal bersama dia setelah dibebaskan dari tahanan di Indonesia, pernah menjadi anggota PKI. Kontan dalam edisi yang sama itu, Derek Davies menanggapi bantahan Ny. Budiardjo, agak panjang lebar. Dalam serangan baliknya, Davies kembali bertanya,mengapa Carmel dulu diam seribu basa terhadap para tokoh yang dipenjarakan oleh Soekarno. Juga kenapa ia tak bersuara tentang sikap pemerintah Hanoi, yang antara lain telah mengusir ratusan ribu kaum pengungsi keturunan Cina dari Vietnam sementara wanita lulusan London School of Economics itu tak meralat sikapnya yang mengritik pemerintah Indonesia, yang belum lama berselang mengeluarkan peraturan yang mempermudah proses kewarganegaraan keturunan Cina Indonesia. Tuduhan ini dijawab Ny. Budiardjo. Kepada pembantu TEMPO di London, wanita yang pernah ditahan di penjara wanita Bukit Duri, Jakarta, itu menjelaskan tentang sikap diam dirinya waktu Orde Lama menahan dan membungkam sejumlah orang: "Kalau waktu itu saya tidak berbuat sesuatu, mungkin karena saya tidak tahu bagaimana rasanya dipenjarakan." Betapa pun, sikap itu telanjur tak memperkuat posisinya sebagai pejuang hak asasi manusia yang tak memihak satu golongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini