Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Haji mutakhir: seandainya nabi hidup...

Ketentuan dalam ibadah haji tentang masalah ihram & thawaf. ada yang berpendapat lain tentang tempat ihram dipakai. pelaksanaan thawaf naik mobil tak menjadi halangan.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA Nabi Muhammad hidup, dan melihat betapa banyak jamaah haji turun di pelabuhan Jiddah . . . . Kalimat itu dituliskan dalam sebuah surat kepada Raja Khalid. Pengirimnya: Syekh Abdullah bin Zaid Al Mahmud, Ketua Pengadilan-Pengadilan Agama dan Urusan Keagamaan dari negeri tetangganya, Qatar. Surat itu menimbulkan reaksi di kalangan ulama Arab Saudi tahun lalu --dan diperbincangkan di Indonesia menjelang musim haji kemarin ini. Yang diinginkan sang syekh sebenarnya hanyalah menyatakan: Jiddah, kota pelabuhan haji itu, bisa ditetapkan sebagai miqat -- tempat mulainya jamaah memakai ihram, pakaian khusus haji & umrah. Ini penting, sebab dalam ketentuan Nabi dahulu nama Jiddah memang tidak tercantum. Yang ada: Zul Hulaifah untuk jamaah dari jurusan Madinah. Al Juhfah untuk jurusan Syam (Suriah, Yordan dan Palestina). Qarnul Manazil untuk jurusan timur --Najd. Dan Yalamlam untuk jurusan Yaman atau selatan. Lalu diketahui bahwa Sahabat Umar menambahkan Zatu 'Irq untuk jurusan Irak alias timur laut. Syekh itu berkata, dalam suratnya: "Fatwa bisa berubah karena perubahan keadaan dan masa". Pendapat itulah yang ditolak para ulama Saudi. Dalam keputusan di Thaif 21 Syawal tahun lalu, setelah membahas isi surat itu tak kurang dari 11 hari, mereka menyatakan masalah miqat adalah soal ibadat yang sudah selesai ketetapannya dengan wafatnya Nabi s.a.w. Titik. Tak bisa diubah-ubah. Keputusan tersebut ditandatangani 16 anggota majelis ulama sana yang disebut Badan Ulama-Terkemuka. Kemudian disiarkan ke mana-mana. Dan bergema di Indonesia, sudah tentu, dan dibicarakan Majelis Ulama. Majalah Al Muslimun, Bangil, mula-mula memuat siaran itu. Dan seseorang dari Kudus, Ahmad bin Hasan Alatas, lalu menanyakannya kepada Menteri Agama lewat surat. Yang jadi soal: dalam buku Pelengkap Manasik Haji Departemen Agama 1975, disebut miqat jamaah Indonesia tak lain Jiddah. Bahkan sejak dulu sebagian besar jamaah kita mulai ber-ihram di Jiddah. Sehingga, ketika timbul perbincangan mengenai hal itu, di tahun 1975 itu juga Musyawarah Ulama Indonesia Terbatas perlu diadakan--dan hasilnya pun menguatkan Jiddah. Memang, alasan musyawarah tersebut tidak persis sama dengan alasan syekh dari Qatar tadi. Bukan mempertimbangkan "perkembangan zaman", namun mengambil hasil ijtihad ulama kuno -terpenting Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Tubfah (kata ini berarti: apel). Denda Ritual Ibnu Hajar, bermazhab hukum Syafi'i, dan hidup di zaman yang sudah berbeda dari zaman Nabi, menetapkan Jiddah khusus sebagai miqat jamaah dari selatan lewat Laut Merah. Alasan: jarak Jiddah-Mekah sama dengan Yalamlam-Mekah. Menurut Imam Kurdi kemudian jamaah laut yang tiba di titik yang searah dengan Yalamlam -- yang bukan kota pantai itu--boleh mengundurkan ihramnya sampai di Jiddah. Begitu juga pendapat An-Nasyili, mufti Mekah dahulu, Ahmad Balhaj, Ibnu Ziad Al Yamani, misalnya. Tak heran bila Majelis Ulama Indonesia, memenuhi permintaan Departemen Agama untuk menanggapi keputusan Mekah itu, dalam suratnya Agustus lalu kembali menetapkan hal yang sama. Bahkan MUI-membawa antara lain pendapat Ibnu Hazim, ulama mazhab hukum Hanafi jemaat yang tidak lewat salah satu miqat yang ditentukan Nabi (termasuk jamaah Indonesia, sebenarnya) boleh mulai ber- ihram "dari mana ia suka". Tampaknya fatwa tersebut (ditanda-tangani oleh KH Syukri Ghozali, Prof. KH Ibrahim Husen LML, KHM Syakir, O. KH Abdul Aziz, H. Musytari Yusuf LA, Drs. H. Abdul Salam Djaelani dan KH Muchtar Natsir), memang dibiarkan tidak didukung oleh "semua unsur" dalam MUI. Sebab toh cukup banyak juga jamaah kita yang mulai ber- ihram begitu kapal sampai di arah Yalamlam. Atau membayar dam (denda ritual) bila mereka mulai di Jiddah --dengan menyembelih seekor kambing atau puasa 3 hari di sana dan 7 hari di tanah air. Tapi yang menarik, ulama Saudi sendiri tampak tidak mempertimbangkan buah pikiran seperti yang diambil ulama Indonesia: tulisan Ibnu Hajar dalam kitab Apel-nya itu. Mereka berkata: fatwa yang menetapkan Jiddah sebagai miqat itu "belum pernah dikeluarkan seorang pun dari ulama Islam yang perkataannya bisa dipercaya". Ulama Saudi, yang lebih banyak bermazhab hukum Hanbali, seperti dikatakan Drs. H. Achmad Chatib --Sekretaris Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama--memang lebih cenderung pada pengertian lahiriah hadis. Thawaf Bermobil Toh "pengertian lahiriah hadis" tak menghalangi dilakukannya berbagai pengubahan dalam hal lain. Tempat sa'i misalnya, daerah antara dua bukit Shafa dan Marwah, sekarang sudah diberi atap dan jadi bagian dari Masjidil Haram yang raksasa. Tak ada lagi kesan bukit. Juga tempat jumrah (melempar kerikil ke sebuah tugu) yang kini sudah dibangun bertingkat --dan orang boleh melempar dari bawah maupun atas. Seperti dikatakan KH Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI yang juga Rektor Pendidikan Tinggi llmu-ilmu alQur'an (PTIQ), semua itu tak jadi masalah. Dalam hal sa'i misalnya, "yang jadi soal 'kan menempuh perjalanan dari Shafa ke Marwa." Bukan apakah tempat itu sekarang terdapat didalam gedung. Sedang dalam hal jumrah, "melempar dengan senapan jarak jauh pun tak jadi halangan," kalau memang keadaan sudah memerlukan. Thawaf di Ka'bah sendiri bisa menghadapi problem bila masjid terus diperluas dan garis keliling thawaf menjadi bukan main lebarnya. Pakai mobil pun tak jadi halangan, sebab yang menjadi tujuan 'kan mengelilingi Ka'bah. Semua itu tentu dengan keyakinan, bahwa seandainya Nabi hidup, maka beliau . . . tak apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus