SEANDAINYA Nabi Muhammad hidup, dan melihat betapa banyak jamaah
haji turun di pelabuhan Jiddah . . . . Kalimat itu dituliskan
dalam sebuah surat kepada Raja Khalid. Pengirimnya: Syekh
Abdullah bin Zaid Al Mahmud, Ketua Pengadilan-Pengadilan Agama
dan Urusan Keagamaan dari negeri tetangganya, Qatar. Surat itu
menimbulkan reaksi di kalangan ulama Arab Saudi tahun lalu --dan
diperbincangkan di Indonesia menjelang musim haji kemarin ini.
Yang diinginkan sang syekh sebenarnya hanyalah menyatakan:
Jiddah, kota pelabuhan haji itu, bisa ditetapkan sebagai miqat
-- tempat mulainya jamaah memakai ihram, pakaian khusus haji &
umrah. Ini penting, sebab dalam ketentuan Nabi dahulu nama
Jiddah memang tidak tercantum. Yang ada: Zul Hulaifah untuk
jamaah dari jurusan Madinah. Al Juhfah untuk jurusan Syam
(Suriah, Yordan dan Palestina). Qarnul Manazil untuk jurusan
timur --Najd. Dan Yalamlam untuk jurusan Yaman atau selatan.
Lalu diketahui bahwa Sahabat Umar menambahkan Zatu 'Irq untuk
jurusan Irak alias timur laut.
Syekh itu berkata, dalam suratnya: "Fatwa bisa berubah karena
perubahan keadaan dan masa".
Pendapat itulah yang ditolak para ulama Saudi. Dalam keputusan
di Thaif 21 Syawal tahun lalu, setelah membahas isi surat itu
tak kurang dari 11 hari, mereka menyatakan masalah miqat adalah
soal ibadat yang sudah selesai ketetapannya dengan wafatnya Nabi
s.a.w. Titik. Tak bisa diubah-ubah.
Keputusan tersebut ditandatangani 16 anggota majelis ulama sana
yang disebut Badan Ulama-Terkemuka. Kemudian disiarkan ke
mana-mana.
Dan bergema di Indonesia, sudah tentu, dan dibicarakan Majelis
Ulama. Majalah Al Muslimun, Bangil, mula-mula memuat siaran itu.
Dan seseorang dari Kudus, Ahmad bin Hasan Alatas, lalu
menanyakannya kepada Menteri Agama lewat surat.
Yang jadi soal: dalam buku Pelengkap Manasik Haji Departemen
Agama 1975, disebut miqat jamaah Indonesia tak lain Jiddah.
Bahkan sejak dulu sebagian besar jamaah kita mulai ber-ihram di
Jiddah. Sehingga, ketika timbul perbincangan mengenai hal itu,
di tahun 1975 itu juga Musyawarah Ulama Indonesia Terbatas perlu
diadakan--dan hasilnya pun menguatkan Jiddah.
Memang, alasan musyawarah tersebut tidak persis sama dengan
alasan syekh dari Qatar tadi. Bukan mempertimbangkan
"perkembangan zaman", namun mengambil hasil ijtihad ulama kuno
-terpenting Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Tubfah (kata ini
berarti: apel).
Denda Ritual
Ibnu Hajar, bermazhab hukum Syafi'i, dan hidup di zaman yang
sudah berbeda dari zaman Nabi, menetapkan Jiddah khusus sebagai
miqat jamaah dari selatan lewat Laut Merah. Alasan: jarak
Jiddah-Mekah sama dengan Yalamlam-Mekah. Menurut Imam Kurdi
kemudian jamaah laut yang tiba di titik yang searah dengan
Yalamlam -- yang bukan kota pantai itu--boleh mengundurkan
ihramnya sampai di Jiddah. Begitu juga pendapat An-Nasyili,
mufti Mekah dahulu, Ahmad Balhaj, Ibnu Ziad Al Yamani, misalnya.
Tak heran bila Majelis Ulama Indonesia, memenuhi permintaan
Departemen Agama untuk menanggapi keputusan Mekah itu, dalam
suratnya Agustus lalu kembali menetapkan hal yang sama.
Bahkan MUI-membawa antara lain pendapat Ibnu Hazim, ulama mazhab
hukum Hanafi jemaat yang tidak lewat salah satu miqat yang
ditentukan Nabi (termasuk jamaah Indonesia, sebenarnya) boleh
mulai ber- ihram "dari mana ia suka".
Tampaknya fatwa tersebut (ditanda-tangani oleh KH Syukri
Ghozali, Prof. KH Ibrahim Husen LML, KHM Syakir, O. KH Abdul
Aziz, H. Musytari Yusuf LA, Drs. H. Abdul Salam Djaelani dan KH
Muchtar Natsir), memang dibiarkan tidak didukung oleh "semua
unsur" dalam MUI. Sebab toh cukup banyak juga jamaah kita yang
mulai ber- ihram begitu kapal sampai di arah Yalamlam. Atau
membayar dam (denda ritual) bila mereka mulai di Jiddah --dengan
menyembelih seekor kambing atau puasa 3 hari di sana dan 7 hari
di tanah air.
Tapi yang menarik, ulama Saudi sendiri tampak tidak
mempertimbangkan buah pikiran seperti yang diambil ulama
Indonesia: tulisan Ibnu Hajar dalam kitab Apel-nya itu. Mereka
berkata: fatwa yang menetapkan Jiddah sebagai miqat itu "belum
pernah dikeluarkan seorang pun dari ulama Islam yang
perkataannya bisa dipercaya". Ulama Saudi, yang lebih banyak
bermazhab hukum Hanbali, seperti dikatakan Drs. H. Achmad Chatib
--Sekretaris Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen
Agama--memang lebih cenderung pada pengertian lahiriah hadis.
Thawaf Bermobil
Toh "pengertian lahiriah hadis" tak menghalangi dilakukannya
berbagai pengubahan dalam hal lain.
Tempat sa'i misalnya, daerah antara dua bukit Shafa dan Marwah,
sekarang sudah diberi atap dan jadi bagian dari Masjidil Haram
yang raksasa. Tak ada lagi kesan bukit. Juga tempat jumrah
(melempar kerikil ke sebuah tugu) yang kini sudah dibangun
bertingkat --dan orang boleh melempar dari bawah maupun atas.
Seperti dikatakan KH Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI yang
juga Rektor Pendidikan Tinggi llmu-ilmu alQur'an (PTIQ), semua
itu tak jadi masalah. Dalam hal sa'i misalnya, "yang jadi soal
'kan menempuh perjalanan dari Shafa ke Marwa." Bukan apakah
tempat itu sekarang terdapat didalam gedung. Sedang dalam hal
jumrah, "melempar dengan senapan jarak jauh pun tak jadi
halangan," kalau memang keadaan sudah memerlukan.
Thawaf di Ka'bah sendiri bisa menghadapi problem bila masjid
terus diperluas dan garis keliling thawaf menjadi bukan main
lebarnya. Pakai mobil pun tak jadi halangan, sebab yang menjadi
tujuan 'kan mengelilingi Ka'bah.
Semua itu tentu dengan keyakinan, bahwa seandainya Nabi hidup,
maka beliau . . . tak apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini