Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

OECD Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Eropa Akan Tertinggal

OECD menyarankan memerangi inflasi harus menjadi prioritas utama para pembuat kebijakan.

23 November 2022 | 17.00 WIB

Logo OECD. Wikipedia.org
Perbesar
Logo OECD. Wikipedia.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD memperingatkan dunia sebisa mungkin harus menghindari resesi tahun depan karena itu bakal menjadi krisis energi terburuk sejak 1970-an, yang akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi secara tajam. Dampak lainnya, negara-negara di Eropa akan menjadi tertinggal paling belakang pertumbuhan ekonominya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut OECD, memerangi inflasi harus menjadi prioritas utama para pembuat kebijakan. Selain itu, prospek nasional sangat bervariasi, meskipun ekonomi Inggris akan tertinggal dari rekan-rekan utamanya.

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini akan melambat dari 3,1 persen atau sedikit lebih tinggi dari perkiraan OECD. OECD memperkirakan ekonomi dunia pada tahun depan akan melambar sekitar 2,2 persen, sebelum naik menjadi 2,7 persen pada 2024.

"Kami tidak memprediksi resesi, tapi kami pasti memproyeksikan periode pelemahan yang nyata," kata kepala OECD Mathias Cormann dalam konferensi pers presentasi Outlook Ekonomi terbaru menurut OECD.

Baca juga: Nadiem Makarim Sebut Indonesia Masuki Masa Krisis Pembelajaran

OECD menilai pelambatan global memukul ekonomi secara tidak merata, dengan Eropa menanggung beban terberat karena perang Ukraina. Aktivitas bisnis di kawasan Eropa terganggu akibat perang Ukraina dan mendorong lonjakan harga energi.

Diperkirakan ekonomi di 19 negara zona euro akan tumbuh 3,3 persen pada tahun ini, namun akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023 sebelum pulih dan tumbuh sebesar 1,4 persen pada 2024. Proyeksi itu sedikit lebih baik daripada prospek OECD pada September 2022 atau ketika diperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,1 persen pada tahun ini dan 0,3 persen pada 2023.

OECD memperkirakan akan ada kontraksi 0,3 persen pada tahun depan di wilayah Jerman, yang sektor industrinya sangat bergantung pada ekspor energi Rusia. Sektor industri juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Jerman. 

Prancis tidak terlalu bergantung pada gas dan minyak Rusia sehingga ekonomi negara itu diperkirakan akan tumbuh 0,6 persen pada tahun depan. Italia terlihat mengalami pertumbuhan 0,2 persen, yang berarti beberapa kontraksi triwulanan kemungkinan terjadi.

Di luar zona euro, ekonomi Inggris terlihat bakal menciut 0,4 persen pada tahun depan karena bersaing dengan kenaikan suku bunga, inflasi yang melonjak, dan tingkat kepercayaan yang lemah. Sebelumnya OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris sebesar 0,2 persen.

Adapun ekonomi Amerika Serikat kemungkinan bertahan lebih baik. Pertumbuhan ekonominya diperkirakan melambat dari 1,8 persen pada tahun ini menjadi 0,5 persen pada 2023 sebelum naik menjadi 1,0 persen pada 2024. OECD sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat hanya 1,5 persen tahun ini. Amerika Serikat adalah negara dengan perekonomian terbesar di dunia. 

Sedangkan Cina, yang bukan anggota OECD, adalah satu dari sedikit negara dengan ekonomi besar yang diperkirakan akan melihat pertumbuhan ekonominya meningkat pada tahun depan setelah lockdown Covid-19.  Pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu terlihat meningkat dari 3,3 persen tahun ini menjadi 4,6 persen pada 2023 dan 4,1 persen pada 2024. Proyeksi sebelumnya ekonomi Cina diperkirakan tumbuh sebesar 3,2 persen pada 2022 dan 4,7 persen pada 2023.

Ketika kebijakan moneter yang lebih ketat berlaku dan tekanan harga energi mereda, inflasi di seluruh negara anggota OECD terlihat turun lebih dari 9 persen tahun ini dan menjadi 5,1 persen pada tahun 2024.

"Pada kebijakan moneter, pengetatan lebih lanjut diperlukan di sebagian besar ekonomi negara maju dan di banyak ekonomi negara berkembang demi memperkuat ekspektasi inflasi," kata Cormann.

Negara - negara telah menghabiskan banyak uang untuk meringankan rasa sakit dari inflasi yang tinggi dengan pembatasan harga energi, pemotongan pajak dan subsidi, OECD mengatakan tingginya biaya berarti dukungan tersebut harus ditargetkan dengan lebih baik lagi ke depan.

Reuters | Nugroho Catur Pamungkas

Baca juga:Pengusaha Cina Prihatin Bisnis Anjlok karena Aturan Covid-19 Terlalu Ketat

 

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus