Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Orang-orang yang diimbau

Pemerintah Beijing memandang para keturunan Cina di negeri lain yang mendatangkan modal sebagai pahlawan. banyak di antaranya pengusaha dari kawasan Asean.

27 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Ketua Lippo Group, Mochtar Riady, membangun kawasan industri di Fujian dinilai pemerintah Cina sebagai anugerah besar. Soalnya, investasi yang ditanamkan, sekitar US$ 10 miliar, akan digunakan untuk pembuatan jalan, pelabuhan, pusat tenaga listrik, kawasan tempat tinggal para eksekutif, lapangan golf, hotel, dan pusat perdagangan eceran. Tak aneh jika Mochtar, lahir di Indonesia, ketika datang ke tanah kelahiran ayahnya disambut pemerintah daerah Fujian bak pahlawan pulang kampung. Ia dianggap sebagai orang yang tak lupa asal. Proyek berskala besar yang jatuh ke tangan Mochtar itu juga meliputi pengembangan kawasan wisata di Pulau Meizhou dan Semenanjung Zhongmen -- sudah diteken November 1992, sebulan sebelum Gubernur Fujian, Wang Zhaoguo, diangkat menjadi anggota Komite Sentral Partai Komunis Cina (PKC) di Beijing. Proyek Mochtar ini mendapat dukungan dana dari pasar uang di Hong Kong dan pinjaman bank milik pemerintah Cina. Beleid Mochtar, 64 tahun, melebarkan lahan bisnisnya ke Fujian ternyata tidak diputuskan sekadar berdasarkan nostalgia. Ia, pada 1990, selama delapan bulan melakukan perjalanan keliling dengan mobil ke empat penjuru Cina: dari Guangzhou di selatan sampai Harbin di utara, lalu dari Shanghai di timur sampai Xinjiang di barat. Selama perjalanan, di samping bertemu dengan para pejabat lokal, Mochtar, kabarnya, banyak pula bicara dengan para petugas hotel, penduduk setempat, dan para ahli ekonomi. ''Saya tetap tidak memahami orang-orang yang melakukan investasi di Cina tanpa lebih dulu mendalami situasinya,'' kata Mochtar kepada wartawan majalah Asia Inc. Agustus silam. Cina memang menantang sebagai tempat investasi: pasar dalam negerinya luas dan ramai. Tak mengherankan bila banyak pengusaha berani mengambil risiko gagal daripada menunggu sampai mereka mendalami situasi di negeri itu. Apalagi, Cina memang berupaya menyedot investasi asing secara besar-besaran, baik melalui pengusaha keturunan Cina yang tersebar di mana-mana, melalui kerja sama langsung dengan pemerintah (seperti dengan Singapura), maupun lewat pelbagai kongres internasional. Maka, Beijing sangat menyokong The Chinese General Chamber of Commerce (CGCC) Hong Kong untuk menyelenggarakan World Chinese Entrepreneurs Convention, 2224 November 1993. Tujuannya: memikat para peserta konvensi berinvestasi ke tanah leluhur. Dari Indonesia, pengusaha keturunan Cina yang sudah terdaftar sebagai peserta konvensi sekitar 30 orang. Sejak hubungan diplomatik Indonesia-Cina dipulihkan tahun 1990, kegiatan dagang yang dilakukan pengusaha Indonesia ke Cina memang meningkat. Kata seorang konsultan di bidang perbankan, ''Hanya pengusaha keturunan Cina di Indonesia yang memiliki nyali paling kuat untuk menanamkan modalnya di Cina.'' Di antara pengusaha Indonesia yang terdaftar sudah memesan tempat ke Hong Kong adalah Suhargo Gondokusumo, Hardy Sunardio, Trijono Gondokusumo, Hari Darmawan, Santosa Widjaja, Robert Choi, Halim Tanoto, Tedy Djuhar, Julie Haryono, Jan Widjaja, Adil Nurimba, Cipta Lesmana Wijaya, dan Lukman Samsuddin. Ketika dihubungi TEMPO akhir pekan silam, sebagian dari mereka ada yang mengatakan membatalkan hadir -- di antaranya Adil Nurimba dan keluarga Gondokusumo. Sebagian lagi, seperti Hardy Sunardio dan Hari Darmawan, menyatakan akan menghadiri konvensi di Hong Kong tersebut. Hardy Sunardio, Presiden Komisaris PT Alfa Glory Indah, mengatakan sangat tertarik dengan program CGCC di Hong Kong. ''Di situ kita memiliki kesempatan bertemu dengan pengusaha- pengusaha dari negara lain. Siapa tahu di antara mereka ada yang bersedia diajak kerja sama,'' katanya. Pengalaman Hardy, yang sudah mengikuti acara serupa sebelumnya, membuktikan pentingnya hadir dalam konvensi seperti diselenggarakan di Hong Kong. Ia, misalnya, ketika mengikuti acara sejenis di Singapura, Agustus 1991, berkesempatan bertemu dengan Dr. Tang, ahli kelapa sawit dari Malaysia. Sebagai pengusaha agribisnis, di antaranya perkebunan kelapa sawit, Hardy memang membutuhkan tukar-menukar informasi dengan orang semacam Tang. Tentang investasi ke Cina, Hardy mengatakan, ''Saya pribadi tidak tertarik tanam modal ke sana.'' Pengusaha Indonesia ini, yang dalam daftar panitia kongres di Hong Kong tertulis dengan nama Cina, Zhang Dechao, menambahkan, ''Orang bilang, Cina dan Vietnam menarik untuk investasi. Tapi kita tahu apa? Yang saya dengar dari relasi di Singapura dan Hong Kong, di Vietnam masih ada sikap anti Cina, sementara di Cina pun keadaannya masih belum pasti karena peraturan investasinya berubah-ubah. Peraturan yang dikeluarkan pusat dan daerah tidak seragam. Buat apa kita cari penyakit? Kesempatan untuk berusaha di sini masih luas. Saya lahir dan hidup di sini, sebagai warga negara Indonesia.'' Di luar agribisnis, bidang usaha Hardy ada pula pemrosesan kayu lapis dan properti. Tamu lainnya dari Indonesia yang tak berminat menanam modal di Cina adalah Hari Darmawan, bos jaringan toko serba ada Matahari. Hari, 53 tahun, mengaku datang ke pertemuan para pedagang besar itu hanya untuk mencoba mengenal situasi. ''Kebetulan teman saya ada yang ikut, dan saya diajak. Lagi pula, bersamaan dengan itu saya juga ada urusan di Hong Kong. Datang ke pertemuan itu bagi saya hanya sekadar mampir, mau tahu. Saya tak bermaksud melakukan kontak bisnis,'' katanya. Ia memang pendatang baru di forum itu. Boleh jadi pula Hari belum tergoda bekerja sama dengan pengusaha luar negeri. Kalau dilihat perkembangan Matahari sekarang, bukan mustahil Hari segera dikontak oleh sejumlah peserta konvensi untuk bermitra. Matahari, dimulai tahun 1958 dari sebuah toko kecil (Micky Mouse) yang berdagang pakaian di kawasan Pasar Jakarta, sekarang telah tumbuh memiliki lebih dari 30 toko yang tersebar di kota-kota besar Indonesia. Ada yang mengatakan, sebagai toko serba ada yang sudah berskala nasional, Grup Matahari ada kemungkinan terbesar di ASEAN. Data terakhir menunjukkan, keuntungannya (sesudah dipotong pajak) mencapai Rp 9,9 miliar. Apa pun bidang bisnisnya, pengusaha yang datang ke acara CGCC pasti memperoleh keuntungan. Daya tarik pertemuan para pedagang besar itu telah membuat Chief Executive Officer Lautan Luas Group, Joan Fudiana, tidak ragu-ragu menerima undangan CGCC. Joan, yang pada pertemuan tahun 1991 di Singapura tidak diundang, kali ini bersemangat ikut. Ongkos pendaftaran US$ 400, baginya, seperti juga bagi peserta lain, perkara kecil saja. ''Saya datang ke sana untuk mencari pengalaman,'' katanya kepada TEMPO. Di bawah naungan Lautan Luas ada 11 perusahaan. Ada yang bergerak di bidang perdagangan (PT Lentera Laut Raya), industri kimia (PT Indonesian Acid Industry), hasil hutan (Greasia Wood Industrial), dan otomotif (Chemco Harapan Nusantara). Menurut catatan Pusat Data Bisnis Indonesia, aset kelompok usaha Lautan Luas beberapa tahun lalu diperkirakan sudah mencapai Rp 100 miliar. Namanya juga forum internasional dan sasaran yang diincar Beijing bukan hanya pengusaha Indonesia, pengusaha besar dari negara lain juga diundang. Ada beberapa nama yang kebetulan dikenal sebagai usahawan dengan koneksi bagus di kalangan pemerintah Cina -- dan mereka berasal dari ASEAN -- misalnya Robert Kuok, pengusaha kelahiran Johor, Malaysia, yang punya hubungan baik dengan Perdana Menteri Cina, Li Peng. Kuok, yang seangkatan dengan Menteri Senior Lee Kuan Yew di Raffles College Singapura, mulai merintis bisnisnya pada usia 24 tahun, setelah ayahnya meninggal. Ia mengambil alih pimpinan Tong Seng & Co., perusahaan yang dirintis ayahnya. Saat itu ia didampingi saudaranya, Philip Kuok. Keduanya lalu mendirikan Kuok Brothers Sdn. Bhd., yang aktif dalam perdagangan beras, gula, terigu, ekspor-impor, dan keagenan. Sementara itu, adiknya yang satu lagi, Willie Kuok, tak berminat bisnis, memilih jadi wartawan The Straits Times, dan mati tahun 1952 (sebagai anggota Partai Komunis Malaysia) di tangan tentara Inggris. Philip pun tak melanjutkan usaha bersama kakaknya itu. Tahun 1966, ia memilih jadi diplomat dan sempat jadi Duta Besar Malaysia untuk Belanda, Jerman Barat, dan Masyarakat Eropa. Selain dikenal sebagai raja gula -- ia pendiri kilang gula di Perlis, dan ikut juga dalam Gunung Madu Plantation di Lampung Robert Kuok tersohor pula karena sukses di bidang properti. Jaringan hotel Shangri La (tersebar di pelbagai kota besar di Cina serta di Taipei, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan sebentar lagi Jakarta) adalah salah satu karyanya. Sektor pertambangan juga ia garap dengan mulus, melalui akuisisi Rahman Hydraulic Tin Bhd. Kekayaan pribadinya diperkirakan sekitar US$ 2 miliar. Kuok, kabarnya, kurang fasih berbahasa Cina dibandingkan dengan berbahasa Inggris. Raksasa lain dari ASEAN adalah Chatri Sophonpanich dari Thailand, dengan kekayaan juga sekitar US$ 2 miliar. Ia adalah ahli waris Bangkok Bank, setelah ayahnya, Chin Sophonpanich, meninggal tahun 1988. Di tangan Sophonpanich, bank milik keluarga itu berhasil masuk papan atas di Asia Tenggara. Kendati jajaran komisarisnya masih didominasi anggota keluarga, para eksekutifnya merupakan tenaga profesional. Sophonpanich sendiri memiliki latar belakang pendidikan akuntansi dari Kwang Tei High Accountancy Hong Kong. Kariernya di Bangkok Bank dimulainya tahun 1958, sebagai asisten manajer. Ketika kemudian menjadi presiden direktur, Sophonpanich mengembangkan usaha Bangkok Bank lebih luas. Usahanya di Indonesia, misalnya, sudah merambah ke sektor di luar bank, yakni berupa PT BBL Dharmala Finance, bekerja sama dengan Grup Dharmala. Akhir 1991, ia mundur sebagai presiden direktur, mengisi kursi chairman.Mohamad Cholid, Dwi S. Irawanto, dan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum