DI kantor, ia hanya mengenakan baju dengan kerah terbuka, dan memakai sandal. Toh dengan gayanya yang santai itu ia bisa membereskan semua masalah dalam kondisi yang sulit sekalipun. Dialah, Perdana Menteri Morihiro Hosokawa, yang mempertaruhkan jabatan untuk menggolkan rancangan undang-undang yang mengubah wajah politik Jepang. Dan ia berhasil. Rancangan undang-undang reformasi politik yang ditawarkan Hosokawa diterima Majelis Rendah Jepang, Kamis pekan lalu, dengan perbandingan suara cukup mencolok: 270 (setuju) lawan 226 (menolak). Yang mengagetkan lagi, kemenangan itu bukan hanya berkat dukungan dari tujuh partai koalisi yang kini berkuasa, tetapi juga dari 13 anggota majelis dari Partai Demokratik Liberal (LDP). Padahal, bekas partai berkuasa ini dikenal penentang rancangan reformasi politik, yang dianggap sangat merugikan itu. Tak mengherankan setiap kali suara dari LDP mendukung, gedung Parlemen gemuruh oleh tepuk tangan para pendukung Hosokawa. Mungkin lantaran suhu politik Jepang yang sudah berbeda, Hosokawa tak mengalami nasib seperti Kaifu. Dalam rancangan reformasi politik Hosokawa, antara lain dimaksudkan untuk membersihkan politik dari skandal suap, terdapat sejumlah perubahan drastis, seperti sumbangan dana politik hanya boleh diberikan kepada organisasi partai, bukan lagi kepada politikus sebagaimana selama ini. Bila dananya melebihi 50 ribu yen, harus diumumkan secara terbuka. Selain itu, sistem pemilihan anggota majelis, yang jumlahnya dirampingkan dari 511 menjadi 500 orang, pun diubah. Sebanyak 274 anggota Parlemen harus merupakan dari wakil daerah, dan tiap daerah pemilihan hanya diwakili satu orang. Sisanya, sebanyak 226 orang, merupakan wakil partai yang dipilih secara proporsional. Untuk menangkal adanya pelanggaran dana politik, rancangan itu juga mencantumkan pula sanksi politik. Politikus yang kedapatan melanggar undang-undang tadi akan kehilangan hak pilih dan dipilih selama lima tahun. Bagi LDP, rancangan Hosokawa itu seperti godam berat. Bekas partai berkuasa di Jepang ini, yang pada 1991 pernah menerima sumbangan dana politik sebesar 29 miliar yen (hampir Rp 600 miliar), kini bakal mendapat suntikan kurang dari separuhnya. Sementara ketujuh partai koalisi yang sekarang memerintah dan partai lainnya -- asalkan jumlah kursinya masih seperti sekarang dalam pemilu mendatang -- mendapat sekitar 16 miliar yen. Sumbangan negara untuk pemilu direncanakan cuma sekitar 31 miliar yen. Reformasi Hosokawa yang kelihatan ideal itu memang tak luput dari sejumlah kelemahan. Panggung politik Jepang hanya bakal diisi oleh para politikus dari partai-partai besar saja. Sebab, para calon dari 42 partai kecil tak bakal mampu bersaing gara- gara ada syarat bahwa organisasi politik harus mampu meraih minimal 3% suara. Selain itu, setiap partai harus mendepositkan dana minimum 180 juta yen. Menurut Takashi Tachibana, pengamat politik ternama di Majalah Berita Mingguan Shukan Bunshun, kebijaksanaan baru itu akan membuat para bos parpol cenderung menjadi diktator. Sebab, mereka yang di atas itulah yang bisa mengendalikan seluruh dana politik yang terpusat tersebut. Tampaknya Ichiro Ozawa, Sekjen Partai Shinseito, yang dikenal sebagai lokomotif pemerintahan Hosokawa, menurut Tachibana, yang pernah membongkar kasus uang gelap bekas Perdana Menteri Kakuei Tanaka, bakal ''menjadi tokoh yang memperoleh kekuatan kediktatoran''. Dampak yang lebih jauh lagi, menurut Takayoshi Miyagawa, analis politik Jepang, sistem pemilihan yang baru itu akan menyebabkan LDP hanya mampu meraih 181 dari 500 kursi Majelis Rendah. Sebaliknya, juga mengancam posisi koalisi tujuh partai yang kini berkuasa. Bila ketujuh partai itu, misalnya, tak sepakat menunjuk satu kandidat yang mewakili mereka, maka dikhawatirkan koalisi akan pecah. Setiap partai saling mengunggulkan kandidatnya sendiri-sendiri, sehingga akibatnya banyak suara akan beralih ke LDP, yang selanjutnya akan memenangkan mayoritas suara dalam pemilu mendatang. Perjalanan yang cukup panjang tampaknya masih harus ditempuh Hosokawa. ''Kita baru menempuh sepertiga perjalanan,'' ujarnya. Tantangan jangka pendek yang tak kalah beratnya adalah mendapatkan pengesahan dari majelis tinggi, yang direncanakan berakhir 15 Desember nanti. Mengingat waktunya yang terlalu sempit, kemungkinan besar Hosokawa akan memperpanjang masa sidang Parlemen hingga awal tahun depan. Meski di tingkat ini, besar kemungkinan rancangan reformasi politik itu juga akan lolos, dikhawatirkan bakal ditolak oleh sebagian anggota Partai Sosialis Jepang, yang menguasai 73 kursi. Kalau ini yang terjadi, menurut konstitusi Jepang, rancangan itu bisa dibahas lagi di Majelis Rendah, dan bisa disahkan menjadi undang-undang bila disetujui dua pertiga suara. Masalahnya, koalisi tujuh partai itu tak menguasai lebih dari dua pertiga suara. Dengan demikian, tak ada jalan lain bagi Hosokawa untuk merevisi kembali isi rancangannya itu di sana- sini sehingga bisa digolkan menjadi undang-undang. Didi Prambadi (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini