INILAH kiat Cina menggaet modal: menggugah solidaritas ras. Tak aneh jika sejumlah pengusaha Indonesia bereaksi keras terhadap penyelenggaraan konferensi tiga hari (20 sampai 22 November) Cina perantauan di Hong Kong. ''Menanam modal di RRC sebenarnya bukan soal. Sepanjang hanya menyangkut bisnis dan perluasan pasar, tidak apa-apa. Tapi, kalau mengumpulkan keturunan Cina untuk membangun negeri leluhur, itu apa-apaan,'' ujar Sofyan Wanandi, bos Gemala Group. ''Harus diingat, kita ini dibesarkan di Indonesia. Jadi, basis kita ini di sini. Bukan di RRC.'' Maka, Sofyan mengimbau, bila ada pengusaha Indonesia yang akan menanam modal di Cina, hendaknya berkaitan dengan bisnis mereka di sini. ''Paling tidak, hasilnya harus kembali ke sini dalam bentuk pajak,'' ujarnya. Ia menambahkan, mengembangkan pasar memang sudah kodrat bagi pengusaha. ''Kalau tak mau disebut pemain lokal, jago kandang yang besar akibat fasilitas dan monopoli terselubung, ya, harus mengembangkan pasar di luar negeri,'' Sofyan melanjutkan. Mengembangkan pasar di luar negeri berarti bisa di mana saja termasuk di Cina, yang menawarkan berbagai insentif dan keringanan bea. Maka, sejumlah pengusaha Indonesia juga diundang ke konferensi Cina perantauan agar mereka melek terhadap tawaran Cina. Soalnya, sejauh ini baru modal dari Singapura yang mengalir kencang ke Cina. Sejak 1984, dana dari Singapura, menurut kementerian perdagangan luar negeri dan kerja sama ekonomi Cina, jumlahnya sudah mencapai US$ 1,8 miliar, sementara dari Indonesia baru sekitar US$ 140 juta. Namun, dilihat dari peningkatannya, arus modal dari Indonesia melonjak drastis dalam dua tahun belakangan ini, dari US$ 11 juta menjadi US$ 121 juta. Salah satu yang membuat lonjakan adalah modal dari Lippo Group, milik Mochtar Riady, yang ditanamkan untuk membangun kawasan wisata Pulau Meizhou. Modal yang dikembangkan Lippo Group di sana sebesar US$ 40 juta. Perusahaan Indonesia lainnya yang melakukan investasi di Cina adalah Sinar Mas Group -- jumlah investasinya tak disebutkan. Tentang ramai-ramai tanam modal di luar negeri ini oleh sejumlah orang disebut sebagai pelarian modal. Betulkah? Sofyan Wanandi menganggap soal itu tak perlu dikhawatirkan. ''Toh modalnya tak mungkin diambil dari bank di Indonesia, yang bunganya sampai 15%. Lebih baik dari Hong Kong, yang bunganya cuma 5%,'' katanya. Sofyan juga yakin, pengusaha yang ingin menanam modal di Cina pasti lebih mempertimbangkan untung-rugi dari segi bisnis ketimbang nostalgia sebagai Cina perantauan. ''Nostalgia cuma buat orang-orang tua saja. Generasi saya sudah tak berpikir soal itu lagi,'' kata bos Gemala Group itu. Ia sendiri mengaku ogah menghadiri konferensi Cina perantauan di Hong Kong tersebut. Sofyan menambahkan, konferensi Cina perantauan itu, dari segi percaturan dunia, pun hanya berarti bagi Hong Kong dan Taiwan. Ini bisa dimengerti karena kedua negara itu memang tak mungkin bisa lepas dari pertautannya dengan daratan Cina. ''Bagaimanapun, mereka harus mempersiapkan kepentingan- kepentingan di masa depan yang pasti menyangkut hubungan dengan Cina,'' katanya. Taiwan harus berpikir tentang kemungkinannya akan kembali dengan Cina, sementara Hong Kong telah dipastikan akan dilepas Inggris pada 1997. Semua ini sudah cukup menjadi alasan bagi Hong Kong dan Taiwan untuk membangun basis modal di Cina. Namun, ketika Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew belakangan ini gencar mempromosikan kerja sama keturunan Cina, Sofyan pun jadi tak habis pikir. ''Kalau di Hong Kong dan Taiwan, bisa dimengerti. Tapi, di lain tempat, jelas tidak, apalagi di negara-negara anggota ASEAN, yang masyarakatnya masih mempermasalahkan hubungan antarras dengan kesenjangan ekonomi,'' katanya. Pakar ekonomi Kwik Kian Gie juga keberatan dengan Lee di tengah sensitifnya persoalan pri dan nonpri di negara-negara anggota ASEAN. Dulu, ketika sedang membangun negaranya, Lee pernah bilang ingin membangun satu bangsa Singapura yang tidak terkotak-kotak berdasarkan ras. ''Kini, dia sibuk promosi ke mana-mana untuk menggalang pengusaha keturunan Cina supaya bergabung. Ini maksudnya apa?'' kata Kwik. Dengan berpromosi begini, Lee, menurut Kwik, berarti telah menginjak-injak minoritas di negerinya sendiri dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua. ''Langkah Lee ini dapat mengganggu stabilitas ASEAN mengingat bobotnya sebagai salah seorang pemimpin senior di kawasan Asia Tenggara,'' ujar Kwik. Membangkit-bangkitkan solidaritas di kalangan Cina perantauan pun sebenarnya terhitung usaha yang kocak. Sesungguhnya, di luar urusan saling menguntungkan, tak ada jaminan apa pun bagi keturunan Cina dari sesama perantauan. Tiga tahun lalu, pemerintah Singapura yang bersemangat Mandarin mengusir 20 ribu pekerja gelap warga negara Thailand keturunan Cina. Hampir pada saat yang sama, pemerintah Taiwan pun mendeportasi pekerja gelap Cina dari Malaysia. ''Kalau terjadi apa-apa di Indonesia, nasib keturunan Cina pun akan sama seperti pengungsi Vietnam. Sebagian besar pengungsi Vietnam adalah keturunan Cina, tapi tak satu pun negara Asia yang mau menerima mereka,'' kata Mochtar Riady sambil mengingatkan betapa pekanya masalah ras ini. Bahkan, sampai sekarang belum terdengar bahwa Cina -- atas dasar alasan apa pun -- mau menerima ''manusia perahu'' dari Vietnam. Jadi, jelas sudah, solidaritas ras Cina perantauan tak ada apa-apanya bila tak ada bau duitnya. Ivan Haris, Yopie Hidayat, dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini