KECIL-kecil cabe rawit. Barangkali itulah perumpamaan yang pas untuk menggambarkan peranan keturunan Cina di Asia Tenggara. Jumlah mereka hanya 6% dari total penduduk, tapi mereka menguasai kekuatan ekonomi yang tak terlawan. Lihat saja, hampir semua konglomerat Asia Tenggara adalah keturunan Cina. Kemenonjolan para konglomerat itu antara lain terlihat di pasar bursa. Mereka, menurut Nomura Research Institute yang berpusat di Tokyo, yang melakukan riset mengenai pasar modal di empat negara anggota ASEAN (Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapura), menguasai lebih dari 60% perdagangan saham. Empat orang paling kaya di Asia Tenggara, seperti ditulis Warta Ekonomi, Maret 1993, secara berurutan adalah Mongkul Kanjanapas (d/h Wong Chi Ming) dari Thailand, Liem Sioe Liong dari Indonesia, Robert Kuok dari Malaysia, dan Eka Tjipta Widjaja dari Indonesia. Lantaran para keturunan Cina menguasai perekonomian secara mencolok, tidak jarang hal ini menyulut kecemburuan pribumi setempat. Buntut kecemburuan itu kadang muncul dalam bentuk kerusuhan anti-Cina, sehingga tidak jarang pula pemerintah setempat mengalami kesulitan untuk mengatasinya. Bila gerak mereka dibatasi, dikhawatirkan mereka malah melakukan aksi balasan dengan memindahkan modal mereka ke luar negeri. Tak heran bila negara-negara di Asia Tenggara memberikan perlakuan berbeda terhadap keturunan Cina. Inilah garis besar kebijakan negara-negara di Asia Tenggara terhadap keturunan Cina: INDONESIA Sikap anti pengusaha keturunan Cina jelas sekali sewaktu Orde Lama. Pada 1950, misalnya, pemerintah menjalankan politik benteng terhadap mereka. Sesuai dengan namanya, politik ini membentengi gerak pengusaha keturunan Cina. Pengusaha pribumi, yang rata-rata masih baru, diberi hak istimewa untuk mengimpor barang tertentu. Tapi, karena belum berpengalaman, mereka kemudian mencari pengusaha Cina untuk memodali dan menjalankannya. Dari sinilah lahir istilah Ali Baba -- Ali simbol pribumi, dan Baba lambang keturunan Cina. Kebijakan anti pengusaha Cina itu terus dilanjutkan oleh Assaat. Pada 1956, politikus asal Sumatera Barat ini pernah menganjurkan agar keturunan Cina (tak peduli peranakan, totok, atau yang sudah WNI) disisihkan dari kegiatan perekonomian. Presiden Soekarno menyambut anjuran ini dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10. Peraturan itu melarang orang Cina berdagang eceran di luar kota kabupaten. Beleid ini hanya bertahan setahun. Pada masa Orde Baru hampir tak ada perbedaan antara pribumi dan keturunan Cina dalam berniaga. Malah pemerintah bekerja sama erat dengan mereka. Banyak pengusaha keturunan Cina, yang berkat kerja sama dengan pemerintah, muncul sebagai konglomerat baru. Lalu, supaya kesenjangan ekonomi tak terlalu dalam, pemerintah mewajibkan konglomerat tadi, yang hampir semuanya keturunan Cina, untuk menjual 5% saham perusahaannya ke koperasi dengan harga nominal. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap keturunan Cina di bidang sosial, budaya, dan politik? Sejak terungkap keterlibatan pemerintah Cina dalam kudeta G30S-PKI, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa tindakan drastis. Tahun 1966, misalnya, sekolah-sekolah Cina ditutup. Setahun kemudian pemerintah menggalakkan kampanye penggunaan nama Indonesia bagi para keturunan Cina untuk mempercepat proses asimilasi. Pemakaian kata dan huruf Cina dilarang. THAILAND Sepuluh persen penduduk Thailand merupakan keturunan Cina. Bagi mereka berlaku aturan: harus menggunakan nama dan menerima pendidikan Thailand. Sejak kudeta Oktober 1976 memang tak ada lagi sekolah menengah milik keturunan Cina. Semua ditutup pemerintah. Mereka hanya diizinkan mengelola sekolah dasar, dan itu pun dengan perubahan. Ketentuan baru itu, antara lain, lama belajar di sekolah dasar dari 6 tahun dikurangi menjadi 4 tahun. Bahasa Cina, yang semula diajarkan 20 jam per minggu, dipangkas menjadi 5 jam saja. Ini membuat jumlah pelajar yang menguasai huruf dan bahasa Cina berkurang drastis. Tapi tidak terdengar protes. Dalam hal kewarganegaraan, warga keturunan Cina tak menghadapi perkara rumit. Pemerintah menganut prinsip semua orang yang lahir di Thailand secara otomatis jadi warga negara. Maka, para keturunan Cina tak susah mencari tanda kewargane- garaan. Disebut-sebut hal inilah yang mempercepat proses asimilasi di Thailand. Seorang pengamat masalah Cina dari Amerika, William Skinner, mengatakan sulit untuk mencari Cina generasi keempat di Thailand. ''Mereka hanya kelihatan sampai di generasi ketiga. Setelah itu, betul-betul sama dengan orang Thailand pada umumnya,'' kata Skinner. FILIPINA Isu anti pengusaha Cina sekarang sedang merebak di Manila. Ini adalah buntut pemeriksaan pajak yang dilakukan Jenderal (purn.) Jose Almonte, orang kepercayaan Presiden Fidel Ramos, terhadap Pengusaha Lucio Tan. Konglomerat keturunan Cina yang menguasai pasar rokok itu dituduh menggelapkan pajak Rp 1,6 triliun (cukup untuk menghapus 90% defisit Filipina). Kebetulan lima pengusaha lain yang kena dakwaan serupa juga keturunan Cina. Tapi, Almonte punya jawaban, ''Apa yang kami lakukan semata-mata untuk menegakkan kompetisi yang jujur.'' Bentuk anti keturunan Cina lain, yang jumlahnya sekitar 2% dari total penduduk, dicerminkan dengan penculikan terhadap mereka. Dari Agustus sampai Oktober 1992 saja, tak kurang dari US$ 4 juta uang tebusan dibayarkan ke penculik. Mereka menduga polisi berada di belakang kejahatan itu. Sampai-sampai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Filipina, James Dy, seorang keturunan Cina, mengancam, ''Kalau penculikan ini tidak ditangani, tak akan ada lagi penanaman modal oleh keturunan Cina di Filipina.'' Penculikan memang sudah mereda. Tapi tuntutan kaum Sino- Filipino yang lain belum dipenuhi: dicabutnya peraturan yang melarang keturunan Cina masuk ke bisnis eceran, dagang beras, dan jagung. Peraturan yang membatasi gerak pengusaha keturunan Cina itu diumumkan pemerintah pada 1946. Tujuannya, untuk memperkuat kehidupan ekonomi pribumi. Ternyata nasionalisasi pasar itu tetap saja tak membuat kehidupan ekonomi pribumi berkembang. Lalu, tahun 1961, diluncurkan lagi kebijakan baru: Prioritaskan Filipina. Maksudnya, dalam bisnis, pribumi harus didahulukan. Kebijakan itu juga tidak berhasil. Walau demikian, pemerintah tetap mempertahankan beleid tersebut. MALAYSIA Pengalaman masa kecil membuat Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sadar: harus dibuat kebijakan untuk meningkatkan posisi kaum Melayu. Seperti ditulis dalam buku Mahathir of Malaysia: Statesman and Leader, orang nomor satu Malaysia itu mengakui, pada zaman pendudukan Jepang, ia tidak bisa berjualan makanan di kantin asrama karena kalah bersaing dengan seorang pedagang keturunan Cina. ''Kemelaratanlah yang mengakibatkan orang Melayu kelihatan bodoh dan tak mampu bersaing,'' tulisnya dalam buku itu. Ketika naik menjadi perdana menteri, 1981, Mahathir berusaha mewujudkan tekadnya itu. Ketika beberapa perusahaan negara diswastakan, ia memprioritaskan pemilikan saham untuk Melayu. Tapi target 30% kue ekonomi untuk Melayu, seperti dicanangkan dalam Kebijakan Ekonomi Baru, 1970, belum berhasil. Diperkirakan bahwa orang Melayu, yang merupakan 60% dari jumlah penduduk itu, sekarang baru memiliki 20% porsi kue ekonomi. Keturunan Cina, yang sekitar 32% dari jumlah penduduk, diperkirakan menguasai porsi 40% kue ekonomi. Kebijakan ekonomi baru tersebut berakhir tahun 1990. Beleid itu kini dilanjutkan dengan Kebijakan Pembangunan Baru, yang menargetkan kue ekonomi Melayu sebesar 30% dari ekonomi nasional. Sampai kapan kebijakan ini dijalankan, tidak jelas. Tapi, menurut Menteri Keuangan Anwar Ibrahim, beleid itu hanya sementara. ''Kaum Melayu harus berusaha di atas kaki sendiri dan berkompetisi secara adil,'' katanya, seperti dikutip Asiaweek terbitan Oktober lalu. Di luar masalah ekonomi, Malaysia memberikan kebebasan bagi keturunan Cina untuk mendirikan sekolah dan organisasi politik. Pengusaha keturunan Cina, misalnya, membentuk Kadin Cina-Malaysia, dan juga ada partai politik Asosiasi Melayu Cina. BRUNEI Tak gampang menjadi warga negara Brunei bagi keturunan Cina. Mereka -- sekitar 18% dari total penduduk -- harus tinggal paling sedikit 20 tahun untuk dapat mengantongi status warga Brunei. Mereka juga harus lulus ujian bahasa Melayu. Banyak calon yang gagal di pendadaran bahasa. Tapi, pada masa yang akan datang, angka kegagalan ini pasti lebih kecil. Sebab, dewasa ini setiap sekolah wajib menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar. SINGAPURA Di Negara Pulau ini keturunan Cina bagaikan tinggal di tanah leluhur. Maklum, jumlah mereka adalah 78% dari seluruh penduduk. Kaum Cina perantau menguasai baik sektor ekonomi maupun politik. Bahkan kini penggunaan bahasa Mandarin dikampanyekan. Ini sebagai akibat generasi muda Singapura dinilai pemerintah terlalu kebarat-baratan. Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini