Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Paskah Kelabu di Sri Lanka

Serangan bom bertubi-tubi mengguncang tiga kota di Sri Lanka di tengah perayaan Paskah. Pemerintah yang terbelah tidak mengindahkan peringatan intelijen.

27 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kehancuran akibat ledakan bom di gereja Saint Sebastian, Negomobo, Sri Lanka, 21 April 2019./Reuters/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amelie dan Daniel Linsey sedang berada di restoran Hotel Shangri-La di Kolombo, Sri Lanka, saat sebuah ledakan mengguncang tempat mereka menyantap sarapan, Ahad, 21 April lalu. Kedua remaja itu, bersama ayah mereka, Matthew Linsey, selamat dari ledakan dahsyat tersebut.

Ketiganya berlari keluar dari restoran yang pagi itu ramai oleh turis asing. Namun, hanya berselang beberapa langkah dari pintu restoran, sebuah ledakan lain menyentak. Mereka jatuh pingsan. Ketika mulai siuman berapa menit kemudian, Matthew mendapati Amelie dan Daniel masih tergeletak tak sadarkan diri. Dia berteriak meminta tolong. “Situasinya kacau. Orang-orang berteriak panik. Saya tidak bisa membangunkan anak-anak saya,” ucapnya.

Seorang perempuan membantu menggotong putrinya ke ambulans. Beberapa orang lain membantu Matthew membopong Daniel, yang terluka lebih parah. Keduanya dilarikan ke rumah sakit terdekat. “Tapi nyawa mereka tidak tertolong,” kata Matthew, bankir Inggris kelahiran Amerika Serikat, seperti diberitakan Daily Mail.

Sri Lanka diguncang serangan bom bertubi-tubi pada hari itu. Saat umat Katolik tengah merayakan Paskah, delapan bom bunuh diri menggetarkan tiga kota di negara berpenduduk mayoritas penganut Buddha tersebut. Selain di Ibu Kota Kolombo, serangan terjadi di Negombo dan Batticaloa. Aksi teror menewaskan sedikitnya 253 orang, termasuk 39 warga asing, dan melukai 500 lainnya.

Tujuh pelaku bom bunuh diri diduga terlibat dalam serangan serempak terhadap Gereja St. Anthony di Kolombo, Gereja St. Sebastian di Negombo, dan Gereja Zion di Batticaloa. Serangan juga menghantam tiga hotel bintang lima di Kolombo, yakni Shangri-La, Cinnamon Grand, dan The Kingsbury. Dengan memanggul ransel besar, pelaku mendatangi setiap sasaran dan meledakkan diri.

Dari serpihan tubuh di lokasi serangan, aparat mengidentifikasi pelaku. Para pengebom diketahui sebagai pria kelas menengah-atas yang keluarganya stabil secara finansial. Beberapa di antaranya pernah kuliah di luar negeri. Setidaknya satu orang memetik gelar sarjana di Inggris sebelum pergi ke Australia untuk menempuh studi pascasarjana dan kemudian menetap di Sri Lanka.

Di Distrik Kochchikade, Kolombo, ledakan bom memorak-porandakan Gereja St. Anthony, yang terletak sekitar 3,5 kilometer di utara Hotel Shangri-La. Jam dinding pada menara gereja Katolik itu terhenti di pukul 08.45, waktu terjadinya ledakan. “Rasanya seperti ada gempa. Semuanya berguncang dan jatuh,” ujar Vijaya Kumar, 36 tahun, anggota jemaat yang mengikuti misa Paskah.

Langit-langit dan atap gereja rontok. Dinding terkelupas. Bangku-bangku kayu tempat berdoa berserakan. Jumlah korban jiwa akibat ledakan di gereja berusia 175 tahun itu tidak diketahui pasti. Pejabat Sri Lanka memperkirakan lebih dari 80 anggota jemaat tewas seketika. Hari itu, lebih dari seribu orang menghadiri misa. “Saya beruntung berada di dekat pintu. Saya berlari karena takut,” ucap Kumar.

Serangan pada hari itu merupakan aksi kekerasan terburuk yang pernah melanda Sri Lanka sejak perang saudara di negara berpenduduk 21 juta jiwa tersebut berakhir satu dasawarsa silam. Pemerintah semula menuding kelompok militan lokal Jemaah Tauhid Nasional sebagai dalang pengeboman. Tapi aparat masih meraba dugaan campur tangan organisasi asing untuk menjelaskan bagaimana kelompok radikal Islam kelas domestik mampu melancarkan serangan berskala masif.

Jawaban itu muncul dua hari setelah serangan, ketika kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas rentetan serangan mematikan tersebut. “Tanpa jaringan internasional, mustahil serangan semacam ini bisa terjadi,” tutur juru bicara pemerintah Sri Lanka, Rajitha Senaratne. Aparat keamanan telah menahan 60 orang sebagai tersangka hingga Rabu, 24 April lalu.

Wakil Menteri Pertahanan Ruwan Wijewardene bahkan menduga Jemaah Tauhid Nasional berhubungan dekat dengan Jemaah Mujahidin India. Kelompok radikal Islam di India tersebut ditengarai juga memiliki relasi dengan organisasi serupa di Bangladesh. “Para teroris ini menjadi bagian dari jaringan teror global,” katanya. “Situasi ini berbeda dengan konflik lain yang pernah kami hadapi.”

Akibat serangan dahsyat ini, pemerintah Sri Lanka menuai sorotan tajam. Penyebabnya bukan karena mereka tidak sigap menangani krisis selepas rentetan ledakan bom, melainkan lantaran pemerintah kecolongan sehingga gagal mengantisipasi aksi teror. Senaratne, yang juga menjabat Menteri Kesehatan, mengakui pemerintah telah mendapat peringatan dari sejumlah lembaga intelijen tiga pekan sebelumnya.

Senaratne mengungkapkan, pemerintah sudah diperingatkan pada 4 April lalu. Tapi, menurut dia, Perdana Menteri Sri Lanka “menutup mata”. Sepekan kemudian bahkan ada laporan intelijen dari pejabat kepolisian yang tidak hanya menyebut Jemaah Tauhid Nasional sebagai perancang serangan bom, tapi juga merinci nama-nama anggota kelompok itu dan alamat mereka. Orang-orang yang disebutkan dalam laporan intelijen itu termasuk mereka yang ditangkap atau tewas dalam aksi bom bunuh diri.

Namun informasi itu menyebar perlahan melalui beberapa lingkaran pemerintah Sri Lanka, yang dilanda pertikaian. Bahkan peringatan tak pernah sampai ke meja Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, yang dilarang menghadiri pertemuan Dewan Keamanan di tengah perseteruannya dengan Presiden Maithripala Sirisena. Sirisena tengah berada di luar negeri saat terjadi serangan.

Sejak memanas pada Oktober 2018, konflik politik di Sri Lanka belum juga reda. Saat itu Sirisena menggulingkan dan mengganti Wickremesinghe dengan orang pilihannya, bekas presiden Mahinda Rajapaksa. Tapi manuvernya gagal dan menjadi bumerang. Di bawah tekanan Mahkamah Agung, Sirisena terpaksa mengembalikan Wickremesinghe ke posisinya beberapa pekan kemudian.

Dalam keterangannya melalui media massa, Rajitha Senaratne menegaskan bahwa pemerintah akan mengusut kegagalan dalam merespons laporan intelijen tersebut. “Kami mengetahui peringatan itu dan melihat detailnya,” ucap Senaratne seraya menyampaikan permohonan maaf kepada para korban dan keluarga korban. Dia menjanjikan pemberian kompensasi kepada mereka dan pembangunan kembali gereja.

Masalahnya, peringatan tidak hanya datang dari lembaga intelijen dalam negeri. Badan telik sandi negara tetangga, India, juga memperingatkan Sri Lanka lebih dari dua pekan sebelumnya. Isinya menjelaskan potensi serangan bom bunuh diri terhadap gereja-gereja dan tempat wisata. Peringatan itu kembali dikirim dari New Delhi dua hari sebelum serangan. “Kami harus melihat mengapa tindakan pencegahan yang memadai tidak diambil,” ujar Wickremesinghe.

Seorang pejabat intelijen India menerangkan, informasi yang mereka teruskan ke Sri Lanka diperoleh dari hasil interogasi tersangka kombatan ISIS. “Dia mengungkap nama seorang pria, Zahran Hashim, salah satu pelaku bom bunuh diri dan dikaitkan dengan Jemaah Tauhid Nasional,” katanya kepada CNN. “Tersangka menyatakan berperan dalam radikalisasi (Zahran).”

Berita bahwa pembantaian di Sri Lanka sebenarnya bisa dicegah membuat banyak orang terperangah. “Kami heran ketika mengetahui kematian ini bisa dihindari. Mengapa tidak dicegah?” kata Uskup Agung Kolombo Kardinal Malcolm Ranjith.

Sayangnya, insiden tersebut tak membuat perseteruan antara Sirisena dan Wickremesinghe mereda. Presiden Sirisena, yang merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan, mendesak wakilnya, Ruwan Wijewardene, dan kepala kepolisian mengundurkan diri. Sirisena juga berencana mencopot kepala pasukan pertahanan dan keamanan Sri Lanka. Dia beralasan, ketiganya berperan dalam menyumbat informasi intelijen dari India.

Wijewardene, sekutu Perdana Menteri, melemparkan tudingan balik. Kepada Reuters, dia mengaku juga tidak mengetahui informasi intelijen India. Dia malah menuding para pejabat tinggi telik sandi sengaja menyembunyikan informasi tentang peringatan serangan tersebut.

Tiga Kota, Delapan Ledakan

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE WIRE, GUARDIAN, AL JAZEERA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus