Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Penasihat Agresif dari Baltimore

John R. Bolton dikenal sebagai figur agresif dan konservatif. Otak di balik keluarnya Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir dengan Rusia.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah kartun baru tampak menghiasi dinding kantor John R. Bolton di Sayap Barat Gedung Putih, Washington, DC. Seperti dilansir kantor berita Reuters, Rabu pekan lalu, kartun bikinan surat kabar Miami, Diario Las Americas, itu menggambarkan penasihat keamanan nasional Presiden Donald Trump tersebut sedang membayangkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro berada di balik jeruji besi dengan baju tahanan berwarna oranye.

Kartun itu dinilai sangat tepat menggambarkan sikap agresif dan karakter neo-konservatif Bolton, yang tecermin dalam sejumlah politik luar negeri Amerika. Beberapa pengkritiknya memiliki sejumlah julukan untuknya, seperti “hawkish”—sebutan buat orang yang mendukung agresi dalam politik daripada negosiasi atau cara damai lain—dan “warmonger”, si penganjur perang.

“Saya berharap Nicolas Maduro dan penasihat utamanya pensiun lama, tenang, tinggal di pantai yang indah di suatu tempat yang jauh dari Venezuela,” tulis Bolton di akun Twitternya.

Bolton-lah yang mendorong Amerika memimpin upaya internasional mengakui pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, sebagai presiden sementara yang sah dan memicu krisis politik di negeri itu. Dia pula yang berperan di balik mundurnya Amerika dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei tahun lalu, juga keluarnya Negeri Abang Sam dari Traktat Pembatasan Senjata Nuklir Jarak Menengah dengan Rusia pada Oktober tahun lalu. Traktat ini membatasi dua negara tersebut dalam perluasan kekuatan nuklir jarak menengah masing-masing.

Joseph Cirincione, pakar nuklir Amerika, menyatakan banyak yang khawatir Bolton juga akan mengincar New START—kesepakatan pengurangan senjata nuklir jarak jauh antara Amerika dan Rusia yang ditandatangani pada 8 April 2010. Perjanjian itu akan kedaluwarsa pada 2021. Jika kesepakatan ini juga dihentikan, untuk pertama kalinya sejak 1972 tidak ada lagi pembatasan terhadap kekuatan nuklir kedua negara. “Bolton harus dihentikan sebelum menyerang lagi,” tulis Cirincione di -Washington Post, Februari lalu.

Langkah Bolton dan Amerika mengagetkan dunia internasional, meski tak sepenuhnya mengejutkan. Bolton lahir pada 20 November 1948 di Baltimore, Maryland. Ibunya adalah ibu rumah tangga dan ayahnya pegawai pemadam kebakaran. Pengacara lulusan Yale University ini memiliki karier panjang di pemerintahan dan berada di lingkaran dalam Partai Republik. Saat Ronald Reagan menjadi presiden, ia menduduki sejumlah posisi penting, termasuk Asisten Administrator Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID) untuk Koordinasi Program dan Kebijakan serta Asisten Jaksa Agung.

Pada era Presiden George H.W. Bush, Bolton menjadi asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan organisasi internasional. Ia rehat dari pemerintahan saat presiden asal Demokrat, Bill Clinton, duduk di Gedung Putih. Bolton kembali ke pemerintahan pada masa Presiden George W. Bush. Ia menjadi pejabat tinggi Departemen Luar Negeri yang menangani pengendalian senjata dan keamanan nasional.

Setahun setelah Bush di Gedung Putih, Amerika menarik diri dari perjanjian pembatasan sistem rudal anti-balistik antara Amerika dan Rusia yang ditandatangani pada 1972. Menurut perjanjian itu, kedua negara hanya boleh memiliki 100 rudal anti-balistik.

Selain mendukung Amerika mundur dari perjanjian itu, Bolton dikenal sebagai penyokong utama serangan terhadap Irak dengan keyakinan bahwa negara yang dipimpin Saddam Hussein tersebut memiliki senjata biologis dan kimia pemusnah massal. “Kami yakin Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal dan fasilitas produksi di Irak,” kata Bolton saat itu. “Jika Saddam Hussein tidak bekerja sama, kami telah menjelaskan bahwa ini adalah kesempatan terakhir baginya.”

Sejarah membuktikan, Saddam tidak memiliki senjata biologis ataupun kimia, tapi Amerika tetap menyerang Irak pada 20 Maret 2003 dan menewaskan puluhan ribu orang. Meskipun pembenaran utama untuk perang itu ternyata palsu, Bolton tetap yakin bahwa invasi tersebut pilihan tepat. “Saya masih berpikir keputusan menggulingkan Saddam benar,” ujarnya pada 2015.


“Menunjuk figur garis keras seperti Bolton memberikan sinyal bahwa Trump siap memiliki kebijakan luar negeri yang jauh lebih agresif dan bisa berubah-ubah.”


 

Pendukung dan penentang Bolton sama-sama kuat. Usaha George W. Bush menyodorkan Bolton sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005 ditentang keras oleh Demokrat. Bush akhirnya menunjuk Bolton sebagai duta besar selama masa reses. Saat masa penugasan resesnya selesai pada Desember 2006, Bolton mundur karena yakin tidak mungkin mendapat dukungan Senat, yang saat itu sudah dikendalikan Demokrat.

Setelah tak lagi berdinas di pemerintah, Bolton melanjutkan pekerjaannya di berbagai organisasi konservatif, termasuk lembaga kajian American Enterprise Institute. Dia juga menjadi konsultan Fox News, media yang dikenal sebagai corong Republik.

Bolton mulai menyinggung Traktat Pembatasan Senjata Nuklir Jarak Menengah antara Rusia dan Amerika dalam sebuah artikel pada 2011. Ia menyebut  perjanjian itu berhasil “mengatasi ancaman signifikan terhadap kepentingan Amerika”. Berkat perjanjian yang ditandatangani Presiden Amerika Ronald Reagan dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev itu, sebanyak 859 rudal Amerika dan 1.752 rudal Soviet telah dihancurkan.

Namun ada sejumlah dugaan pelanggaran terhadap perjanjian ini. Pada 2014, di bawah pemerintah Barack Obama, Washington menuduh Rusia mengerahkan rudal darat berkemampuan nuklir dengan jangkauan 2.000 kilometer di Eropa, yang berarti tidak mematuhi perjanjian. Tapi Amerika masih mempertahankan perjanjian itu.

Situasi berubah setelah Donald Trump menggantikan Obama. Terlebih setelah H.R. McMaster mundur dari posisi penasihat keamanan nasional Trump dan digantikan Bolton pada 9 April 2018. “Menunjuk figur garis keras seperti Bolton memberikan sinyal bahwa Trump siap memiliki kebijakan luar negeri yang jauh lebih agresif dan bisa berubah-ubah,” tulis The Conversation kala itu.

Dalam politik internasional, menurut The Conversation, sebenarnya Bolton berada di kubu realis, tapi di ujung paling ekstrem. Bolton tidak mempercayai diplomasi untuk menyelesaikan perselisihan dan memandang hubungan internasional sebagai serangkaian perjuangan “jahat, brutal, dan jangka pendek” dengan kekuatan militer sebagai faktor penentu. Tidak seperti para ahli strategi politik klasik, antara lain mantan Menteri Luar Negeri Amerika, Henry Kissinger, diplomasi yang santun bukan bagian dari pedoman Bolton.

Trump mengumumkan niatnya mundur dari kesepakatan nuklir itu sekitar tujuh bulan setelah Bolton bergabung ke Gedung Putih. Menurut Arms Control Association, organisasi nonpartisan pengendalian senjata, keputusan mendadak itu muncul tidak hanya karena ada perselisihan antara Amerika dan Rusia mengenai pelanggaran atas perjanjian tersebut. Ada juga kekhawatiran beberapa pejabat pemerintah dan pakar kebijakan pertahanan bahwa Cina memperoleh keuntungan militer di Asia Timur dengan mengerahkan sejumlah besar rudalnya karena tidak terikat oleh traktat itu.

Trump mengumumkan secara resmi mundurnya Amerika dari perjanjian itu pada 1 Februari lalu. Sebagai balasan, Rusia menyatakan keluar pada hari berikutnya. Menurut Presiden Vladimir V. Putin, Rusia akan membuat senjata yang sebelumnya dilarang di bawah perjanjian itu dan tidak akan lagi memulai pembicaraan dengan Amerika tentang pengendalian senjata nuklir.

Menurut Joseph Cirincione, Bolton menentang perjanjian keamanan nuklir yang diperjuangkan Republik dan Demokrat itu karena membuat Amerika lemah. Bagi Bolton dan kelompoknya, perjanjian ini adalah bagian dari upaya negara kecil untuk mengekang Amerika. “Kita harus memiliki fleksibilitas maksimum dan banyak pilihan militer untuk menjaga keamanan dan kepentingan kita di seluruh dunia. Kita harus melindungi bangsa kita dengan kekuatan militer, bukan dengan secarik kertas (perjanjian),” katanya.

ABDUL MANAN (REUTERS, THE CONVERSATION, THE HUFFINGTON POST, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus