Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani menilai keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif impor baru akan menyebabkan dampak signifikan bagi perekonomian dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Listya mengatakan, kebijakan tarif Trump itu dapat menyebabkan ketegangan antar negara besar dan mempengaruhi ekonomi negara berkembang yang bergantung pada perdagangan bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kebijakan ini berpotensi merusak keseimbangan perdagangan internasional, menambah ketidakpastian ekonomi, dan mempengaruhi perekonomian negara-negara berkembang yang bergantung pada perdagangan bebas,” kata Listya Endang dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Ahad, 6 April 2025.
Menurut Listya, Indonesia yang merupakan salah satu negara mitra dagang AS, juga bakal terdampak lantaran Trump menetapkan tarif timbal balik sebesar 32 persen. Tarif ini hanya sedikit lebih rendah dari yang dikenakan pada Cina, yakni 34 persen, serta lebih tinggi dari negara ASEAN lain seperti Thailand dan Vietnam yang dikenakan tarif 36 persen dan 46 persen.
Meskipun tarif tersebut dipandang sebagai bagian dari strategi proteksionisme Trump, kata Listya, kebijakan ini memicu gejolak di pasar global, dengan prediksi penurunan pertumbuhan ekonomi hingga 1 persen akibat ketidakpastian yang ditimbulkan. Ekonom memperingatkan bahwa ketidakpastian ini dapat memperburuk prospek ekonomi global jika berlarut-larut.
“Mitra dagang AS seperti Uni Eropa dan Kanada telah menyiapkan langkah balasan terhadap kebijakan ini, sementara AS tetap berfokus pada prioritas ekonomi domestiknya,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Listya berujar, posisi Indonesia dalam kebijakan ini menjadi semakin signifikan, mengingat dampaknya terhadap sektor industri yang tergantung pada ekspor-impor barang dengan AS. Sebab, Indonesia tercatat sebagai penyumbang surplus perdagangan nonmigas dengan AS sebesar 16,08 miliar dolar AS pada 2024, dengan ekspor utama seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.
Lebih lanjut, Listya menjelaskan dalam perspektif teori perdagangan internasional, khususnya teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo, perdagangan bebas seharusnya memungkinkan setiap negara untuk memfokuskan produksinya pada barang-barang yang paling efisien dan menguntungkan. Melalui mekanisme ini, negara-negara dapat saling mendapatkan keuntungan dengan menukar barang yang diproduksi dengan efisiensi relatif tertinggi.
“Namun, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat bertentangan dengan prinsip ini, menghambat aliran perdagangan yang lebih bebas dan merugikan negara-negara mitra dagang yang selama ini terlibat dalam sistem perdagangan global yang relatif terbuka,” kata pengajar di jurusan Ilmu Ekonomi UII ini.
Di sisi lain, kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh AS bisa dilihat sebagai strategi proteksionisme untuk mengurangi dampak kompetisi dari negara-negara lain, sekaligus melindungi sektor-sektor industri dalam negeri dari ancaman luar. Kebijakan ini sejalan dengan pendekatan proteksionisme, sebagaimana dijelaskan oleh Friedrich List, yang menyoroti bagaimana negara dapat melindungi industri domestiknya dari tekanan persaingan global yang terlalu besar.
“Dalam konteks ini, kebijakan tarif tersebut lebih mengutamakan kepentingan domestik AS, meski berpotensi mengorbankan hubungan perdagangan dengan negara lain, termasuk Indonesia,” kata Listya.
Peneliti UII ini berpendapat, secara global, kebijakan proteksionisme tampaknya kian mendapat momentum, terutama setelah dimulainya perang dagang antara AS dan Tiongkok. Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola hubungan perdagangan internasional, di mana negara-negara besar cenderung mengedepankan kebijakan yang lebih tertutup dan lebih mendasarkan pada kepentingan nasional.
Menurut Listya, proteksionisme yang berkembang saat ini bukan hanya menyangkut kebijakan tarif, tetapi juga mencakup pengaturan ketat terhadap impor dan kebijakan subsidi yang tidak adil. Hal ini memperburuk ketegangan perdagangan di dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan rivalitas ekonomi. Korbannya adalah negara-negara berkembang yang masih bergantung pada akses pasar internasional yang terbuka.
“Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh AS memunculkan sebuah pertanyaan kritis: apakah ini merupakan strategi dagang yang adil, yang bertujuan untuk menyeimbangkan persaingan antarnegara, atau justru sebuah bentuk proteksionisme yang merugikan negara-negara mitra dagang seperti Indonesia?” kata Listya.
Sebelumnya, Trump resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru, yang dikenal pula tarif Trump, yang menggegerkan pasar global. Melalui Perintah Eksekutif yang diumumkan pada “Hari Pembebasan” di Rose Garden, Gedung Putih, Trump menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk hampir semua negara, dengan tarif lebih tinggi dikenakan kepada sekitar 60 negara yang dinilai memiliki hubungan dagang “paling tidak adil” dengan AS.
Tarif Trump ini dikenakan secara umum pada hampir semua negara yang melakukan perdagangan dengan AS. Negara-negara seperti Singapura, Inggris, dan beberapa negara lainnya masuk dalam kategori ini. Kemungkinan, tarif 10 persen ini dianggap sebagai tarif awal atau “standar” yang diberlakukan untuk menciptakan kesetaraan yang lebih besar dalam hubungan dagang secara global.
Menurut seorang pejabat AS yang memberikan keterangan kepada wartawan sebelum pengumuman resmi, impor barang dari sekitar 60 negara akan dikenakan tarif di atas 10 persen. Dokumen yang dibagikan kepada wartawan menunjukkan beberapa tarif resiprokal yang ditetapkan, termasuk tarif 34 persen untuk barang dari Cina, 20 persen untuk Uni Eropa, 46 persen untuk Vietnam, dan 44 persen untuk Sri Lanka.
Sita Planasari, Ida Rosdalina, dan Myesha Fatina Rachman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Dampak Tarif Resiprokal Trump Terhadap Industri di Indonesia