Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Massa pendukung Donald Trump menduduki gedung Capitol dengan mudah.
Pernyataan Trump dituding turut menyulut aksi massa ke Capitol.
Sejumlah menteri kabinet Trump mundur dan menyalahkan sang presiden.
“TAK ada yang akan menghentikan kami,” tulis Ashli Babbitt, warga San Diego, California, Amerika Serikat, tentang rencana pertemuan para pendukung Presiden Donald Trump di Washington, DC. “Mereka boleh mencoba dan mencoba dan mencoba, tapi badai telah tiba dan akan melanda (Washington) DC dalam waktu kurang dari 24 jam,” cuit veteran Angkatan Udara Amerika Serikat tersebut di Twitter pada Selasa, 5 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Memphis, Tennessee, Josiah Colt membuka Facebook dan melihat fotonya sedang tidur sambil menggenggam pistol yang diunggah temannya. Si teman menulis bahwa CEO FunncelCraft.co asal Boise, Idaho, itu siap untuk “boogaloo”—istilah di kalangan kelompok kanan untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan. “Siap untuk perang,” tulis Colt merespons unggahan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Babbitt dan Colt adalah dua di antara seratusan pendukung Presiden Trump yang menyerbu Gedung Capitol, kantor Kongres Amerika Serikat, di ibu kota Negeri Abang Sam itu pada Rabu, 6 Januari lalu. Dalam sebuah video rekamannya, Colt tampak begitu sumringah saat duduk di kursi yang dia yakini sebagai kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nancy Pelosi, padahal ia sedang berada di ruang Senat yang kerap disiapkan untuk wakil presiden.
Adapun Babbitt bernasib nahas. Saat pengunjuk rasa menyerbu masuk ke ruangan DPR, seorang polisi menembakkan peluru yang mengenai perempuan itu. Babbitt dirawat di rumah sakit dengan luka tembak dan meninggal pada hari itu juga.
Di media sosial, Babbitt terang-terangan menunjukkan dukungannya kepada Trump dan percaya telah terjadi kecurangan masif dalam pemilihan Presiden Amerika pada November 2020 yang membuat Trump kalah dan Joe Biden menang. Pada September 2020, Babbitt mengunggah fotonya dalam parade perahu untuk Trump di San Diego. Dia mengenakan kaus bertuliskan “We are Q”, yang merujuk pada QAnon, salah satu kelompok pendukung Trump.
QAnon tampaknya adalah kelompok utama massa yang menyerbu Capitol. Selain Babbitt, anggota QAnon yang turut masuk ke Capitol adalah Jake Angeli, pria yang wajahnya dicat warna bendera Amerika dan mengenakan topi tanduk berbulu. Angeli dikenal aktif mengikuti unjuk rasa politik sayap kanan di Arizona, tempat tinggalnya, sejak 2019.
QAnon adalah kelompok yang percaya pada teori konspirasi yang digaungkan kelompok ekstrem kanan tentang perang klandestin Presiden Trump melawan sindikat pedofil penyembah setan yang terdiri atas elite di pemerintahan, bisnis, dan media. Penganut QAnon berspekulasi bahwa “perjuangan” tersebut akan membawanya ke “masa kebangkitan”, ketika orang-orang terkenal seperti bekas calon presiden Hillary Clinton ditahan dan dihukum.
Kelompok QAnon setidaknya muncul pada Oktober 2017, ketika seorang pengguna anonim menulis serangkaian artikel di situs papan pesan anonim 4chan. Penulis dengan tanda tangan “Q” itu mengklaim punya akses ke sistem keamanan rahasia Amerika. Tulisan-tulisannya sering diwarnai slogan dan tema mendukung Trump. Para pendukung QAnon rajin mengecam pihak-pihak yang dianggap musuh, seperti politikus dan selebritas, yang mereka percayai telah menutup-nutupi kegiatan para pedofil.
Sejumlah pendukung QAnon pernah ditahan karena mengancam atau melakukan tindakan tertentu. Salah satu kasus yang terkenal terjadi pada 2018, ketika Matthew Wright dengan membawa senjata memblokir jembatan di Bendungan Hoover di perbatasan Arizona dan Colorado. Wright belakangan didakwa dengan pasal terorisme.
Studi Pew Research Center pada September 2020 menemukan bahwa separuh orang Amerika pernah mendengar tentang QAnon, dua kali lipat hasil survei enam bulan sebelumnya. Seperlima dari mereka yang tahu tentang QAnon juga punya pandangan positif mengenai gerakan tersebut.
Bagi banyak pendukungnya, QAnon telah membentuk dasar dukungan mereka terhadap Trump. Trump sering mencuit ulang komentar pendukung QAnon. Sebelum pemilihan presiden pada November 2020, putranya, Eric Trump, bahkan mengunggah sebuah meme QAnon di Instagram.
Massa lain yang terlibat adalah kelompok nasionalis kulit putih. Salah seorang anggotanya adalah Anthime “Tim” Gionet alias Baked Alaska, yang dikenal berhaluan neo-Nazi dan mengusung supremasi kulit putih. Dia mendukung Trump dan mempromosikan teori konspirasi anti-Semit.
Proud Boys, kelompok neofasis sayap kanan yang mempromosikan kekerasan politik, juga masuk massa demonstran. Anggotanya tampak di Capitol mengenakan kaus “6MWE”, yang berarti enam juta tidaklah cukup—mengacu pada enam juta orang Yahudi yang terbunuh selama Holocaust. Salah satu pengikutnya, Nick Ochs, pria asal Hawaii, menayangkan siaran langsung dari Capitol saat penyerbuan terjadi.
Oren Segal, pejabat Liga Anti-Fitnah, organisasi non-pemerintah Yahudi yang melawan fitnah terhadap Yahudi, mengaku melihat sejumlah anggota kelompok supremasi kulit putih dan neo-Nazi di antara para demonstran. Menurut dia, anggota New Jersey European Heritage Association and Nationalist Social Club berada di antara mereka.
Banyak pihak mempertanyakan bagaimana keamanan Capitol begitu mudah diterobos oleh para demonstran. Padahal rencana penyerbuan ke gedung itu telah mereka bahas di media sosial sejak jauh hari. Bahkan Trump, yang menolak kalah dari Biden, berkali-kali mengajak pendukungnya datang ke Washington pada Rabu itu, saat Kongres—gabungan DPR dan Senat—mengesahkan hasil pemilihan umum. “Secara statistik, mustahil kalah dalam pemilihan umum 2020,” cuit Trump pada 20 Desember 2020. “Protes besar di DC pada 6 Januari. Hadirilah, jadilah liar.”
Trump bahkan berbicara di hadapan massa pendukungnya pada hari pendudukan Capitol. “Kita tak akan pernah menyerah, kita tak akan pernah mengakui,” ucap Trump dalam pidato di taman Ellipse dekat Gedung Putih pada Rabu siang. “Kita akan menghentikan si pencuri.” Satu jam kemudian, massa pendukung Trump mulai merangsek ke Gedung Capitol tanpa banyak halangan.
Saat itu, Wakil Presiden Mike Pence sedang membuka sidang Kongres untuk mengesahkan hasil pemilihan umum. Ketika keadaan memburuk, polisi mengungsikan para senator dan anggota Dewan. Namun, pada pukul 8 malam, mereka kembali ke Capitol untuk melanjutkan penghitungan suara dan mengesahkan satu per satu hasil penghitungan suara di setiap negara bagian. Pada Sabtu, 9 Januari, pukul 03.45, Mike Pence mengesahkan kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan sambutan kepada pendukungnya. saat pengesahan kemenang Joe Bidoen sebagai Presiden Amerika Serikat di Capitol Hill, Washington, Amerika Serikat, 6 Januari 2021. REUTERS/Jim Bourg
Polisi yang menjaga gedung kalah jumlah oleh massa yang berkeras masuk. AP melaporkan bahwa polisi di Capitol tak mendapat informasi intelijen mengenai kemungkinan pendobrakan ke dalam gedung. Ini juga yang membuat polisi tiga hari sebelumnya menolak tawaran Pentagon mengirimkan pasukan Garda Nasional. Sekali massa sudah di dalam gedung, butuh empat jam bagi petugas keamanan untuk memaksa mereka keluar. Pejabat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan Gedung Capitol telah melepaskan jabatannya, termasuk kepala kepolisian Steven Sund.
Hingga Sabtu, 9 Januari lalu, polisi Washington telah menahan 68 orang. Menurut kepolisian, salah satu perusuh yang ditahan membawa senjata otomatis dan sebelas bom molotov. Sebanyak 14 polisi cedera dalam bentrokan dengan perusuh.
Selain Ashli Babbitt, tiga perusuh dikabarkan meninggal. Namun tiga orang tersebut, yaitu Benjamin Philips dari Pennsylvania, Kevin Greeson dari Alabama, dan Rosanne Boyland dari Georgia, mengembuskan napas terakhir karena menderita masalah medis tertentu. Keluarga Greeson menyebut Greeson meninggal karena serangan jantung.
Peran Trump yang diduga mendorong aksi massa tersebut membuat anggota kabinetnya satu per satu mengundurkan diri. Menteri Transportasi Elaine Chao menjadi yang pertama mundur karena merasa “sangat terganggu” oleh kerusuhan tersebut. Betsy DeVos, Menteri Pendidikan dan salah satu pejabat pemerintahan Trump yang paling lama, menyusul kemudian. Dalam surat pengunduran dirinya, DeVos menuding Trump telah memicu kericuhan di Capitol. “Tak salah lagi, retorika Anda menyebabkan situasi ini, dan itulah titik perubahan sikap saya,” tutur DeVos.
IWAN KURNIAWAN (AP, BBC, SKY NEWS, CNN, INDEPENDENT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo