Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Baterai Lokal Tunggu Pemodal

Peneliti Universitas Sebelas Maret, Surakarta, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mampu membuat baterai litium untuk kendaraan listrik. Menunggu investor dalam negeri untuk bermitra.

9 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koordinator Tim Penelitian Baterai UNS, Muhammad Nizam di depan mesin packing baterai./Tempo/Ahmad Rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) mengembangkan Smart UNS, baterai ion litium untuk kendaraan listrik.

  • Peneliti Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga membuat baterai ion litium Merah Putih.

  • Peneliti Indonesia mampu mengembangkan baterai ion litium dari bahan baku berasal dari mineral yang ada di dalam negeri.

PABRIK mini seluas seribu meter persegi milik Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Teknologi Penyimpanan Energi Listrik di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Jalan Slamet Riyadi Nomor 435, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, itu sebenarnya mampu memproduksi 3.000 sel baterai per hari. Namun kapasitas produksi baterai litium yang dinamai Smart UNS tersebut sengaja dibatasi hanya untuk kebutuhan sendiri dan permintaan lembaga riset lain di luar kampus. “Kebanyakan untuk kebutuhan prototipe produk baru,” ujar Muhammad Nizam, koordinator tim peneliti baterai litium Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Kamis, 7 Januari lalu.

Universitas Sebelas Maret, menurut Nizam, sudah sejak 2012 meneliti dan mengembangkan baterai untuk mobil listrik. Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk lima perguruan tinggi negeri untuk melakukan riset dan pengembangan mobil listrik nasional (Molina). Tiap kampus diminta berfokus pada salah satu komponen utama mobil listrik: baterai, controller, motor listrik, dan sistem pengelolaan baterai. UNS mendapat jatah penelitian baterai. “Waktu itu semua tidak berminat pada urusan baterai. Selain rumit, penelitian baterai juga membutuhkan biaya mahal,” ujar Nizam.

Siapa sangka, baterai mobil listrik justru menjadi obyek penelitian primadona. Kementerian Riset dan Teknologi bahkan pada 2019 memasukkan penelitian baterai mobil listrik sebagai salah satu prioritas riset nasional 2020-2024. Karena UNS telah memiliki pengalaman, Kementerian menunjuk mereka sebagai koordinator Konsorsium Riset Baterai Litium. Anggota konsorsium ini di antaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perindustrian, perguruan tinggi, serta badan usaha milik negara.

Smart UNS adalah baterai ion litium hasil temuan tim peneliti yang dipimpin Agus Purwanto, dosen teknik kimia Fakultas Teknik UNS. Ada dua jenis Smart UNS, yakni LFP 18650 dengan tegangan 3,2 volt kapasitas 1.400 miliampere jam dan NCA 18650 dengan tegangan 3,7 volt berkapasitas 2.700 miliampere jam. LFP 18650 adalah sel baterai ion litium dengan katoda berbahan lithium iron phosphate (LiFePO4), sedangkan NCA 18650 katodanya berbahan lithium nickel cobalt aluminum oxide (LiNixCoyAlzO2).

Menurut Nizam, timnya sudah meneliti banyak komposisi untuk membuat baterai ion litium. Hanya, mereka akhirnya memilih berfokus pada baterai berbahan nikel dan besi (ferrum). “Baterai berbahan nikel (NCA dan NCM atau lithium nickel manganese cobalt oxide) memiliki tingkat densitas yang tinggi, ukuran lebih kompak, serta harga ekonomis. Hanya, baterai ini kurang tahan panas,” ujar doktor teknik elektro dari Universitas Kebangsaan Malaysia lulusan 2008 itu. “Sedangkan baterai berbahan ferrum (LFP) harganya lebih mahal dan bobot lebih berat tapi memiliki keunggulan dari sisi keamanan dan ketangguhan.”

Nizam menyebutkan banyak produsen baterai ternama memilih memproduksi baterai berbahan nikel. Namun UNS justru lebih tertarik mengembangkan baterai jenis LFP. “Kami mencari diferensiasinya,” ucapnya. Pengembangan baterai nikel, menurut Nizam, akan berhadapan dengan industri yang sudah mapan. Adapun baterai jenis LFP memiliki ceruk pasar yang belum banyak dilirik, seperti untuk penggunaan di kendaraan transportasi umum serta alat berat. “Mereka tidak begitu bermasalah dengan bobot baterai,” tuturnya.

Bambang Prihandoko, yang juga menjadi koordinator kelompok kerja atau work breakdown structure 2 (bahan aktif dan lembaran baterai) Konsorsium Riset Baterai Litium, mengatakan LFP lebih aman karena mempunyai jaringan struktur fosfat yang menjaga kuat oksigen agar tidak mudah lepas, sehingga reaksi oksigen dengan karbon tidak terjadi. “Walhasil, kebakaran atau ledakan pun tidak terjadi,” tutur Bambang, peneliti senior Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, saat menjawab pesan WhatsApp Tempo pada Selasa, 5 Januari lalu.

Selain itu, menurut Bambang, ion litium dalam LFP dapat bergerak semua, yang berarti efisiensinya mendekati 100 persen. “Sehingga lifetime baterai LFP bisa mencapai 15 ribu siklus atau setara dengan 21 tahun,” ujar penemu baterai litium Merah Putih itu. Dengan demikian, dia menambahkan, umur mobil dan baterai listrik bisa sama seperti mesin pembakaran internal (internal combustion engine) dan mobil konvensional. Bambang menyebutkan konsorsium LIPI mengembangkan baterai LFP dan lithium manganese phosphate (LMP) karena jauh lebih aman dan lebih lama masa hidupnya.

Menurut Bambang, baterai litium yang ideal untuk mobil listrik adalah yang bertegangan tinggi dan berkapasitas besar. Hal itu dapat dipenuhi oleh baterai NMC, asalkan aspek keamanan dan lifetime-nya diperhatikan. “Agar baterai NMC ini dapat menerapkan pengecasan cepat (fast charging) dan discharging, anoda grafit-nya diganti dengan lithium titanate (Li2TiO3). Setelah anodanya diganti, baterai NMC berubah menjadi baterai titanat,” ucap Bambang, yang memegang paten untuk pembuatan bahan aktif katoda LiMnFePO4, anoda NaLiTO, dan elektrolit LiBOB, sel baterai litium Merah Putih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baterai Lithium buatan UNS. Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan bahan baku baterai ion litium juga menjadi pertimbangan peneliti dalam menetapkan jenis baterai yang menjadi pilihan. Menurut Nizam, mineral besi juga mudah diperoleh di dalam negeri. “Sebenarnya Indonesia juga memiliki tambang nikel, namun kebanyakan sudah dikuasai oleh perusahaan asing,” katanya. Menurut Nizam, hal itu membuat produksi baterai berbahan nikel dianggap kurang ekonomis.

Adapun litium tetap harus bergantung pada pasokan impor. Sudah ada beberapa riset untuk menggunakan material lain sebagai pengganti litium. “Tapi litium tetap menjadi energy storage paling ringan,” tuturnya.

Menurut Bambang, Indonesia memiliki cadangan litium cukup besar. “Kandungan litium karbonat (Li2CO3) di Laut Jawa tiga kali lebih besar dibanding laut yang lain di dunia ini. Konsorsium sudah menemukan teknologi untuk mengambilnya dan sedang dikembangkan untuk memperbesar kapasitas produksi,” ujarnya.

Selain itu, Bambang menambahkan, litium bisa diambil dari air geotermal yang potensinya sangat besar. Pihaknya menjalin kerja sama dengan PT Indonesia Power untuk memanfaatkan air sisa destilasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar di Kabupaten Tangerang, Banten. “Kami sedang merancang prosesnya,” ucap Bambang melalui pesan WhatsApp, Kamis, 7 Januari lalu.

Bambang mengatakan mineral litium sangat dominan perannya di katoda dan baterai, walaupun beratnya atau komposisinya sangat kecil dibanding mineral logam lainnya. Sebagai gambaran, menurut Bambang, untuk memproduksi 100 ribu sel baterai ion litium per hari dibutuhkan 200 kilogram litium karbonat. Bambang optimistis riset dan pengembangan yang telah dilakukan dirinya dan konsorsium dapat membangun industri baterai litium nasional dengan lisensi nasional dan bahan baku dari mineral Indonesia.

Sekarang, Bambang menambahkan, pabrik baterai di Pusat Penelitian Fisika di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang, Banten, memang baru pada tahap pilot plant. Kelak, Bambang menargetkan produksi pabrik itu bisa mencapai 100 ribu sel baterai litium per hari. 

Berbeda dengan Bambang, Nizam mengaku belum melihat ada pemodal dalam negeri yang berminat mengembangkan baterai litium, padahal pihaknya siap untuk bermitra. “Investasi menjadi lebih ringan karena tidak perlu riset lagi,” tuturnya. “Sedangkan perusahaan asing yang berinvestasi di bidang baterai di Indonesia rata-rata juga telah memiliki lembaga riset sendiri.”

DODY HIDAYAT, AHMAD RAFIQ (SURAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus