SEORANG gadis penjaga toko di Phnom Penh bilang, "Rasanya kami selalu berperang, di zaman Lon Nol, di zaman Pol Pot, di zaman Vietnam. Dan kini rasanya perang itu masih akan ada." Rasanya, kata-kata gadis penjaga toko itu lebih meyakinkan daripada analisa seorang pengamat Kamboja atau laporan seorang wartawan. Ia bukan orang asing, dan merasakan artinya perang. Maka, pekan lalu, pada hari terakhir penarikan pasukan Vietnam, ia berada di antara ribuan umat Budha, berdoa di hari suci Prachum Ben. Sebagaimana orang-orang yang lain, gadis itu pun, selain mendoakan arwah nenek moyang, juga berdoa untuk keselamatan nyawa sendiri. Kamboja memang sedang berdoa, begitu tentara Vietnam dipulangkan. Di balik senyum selamat jalan di pinggir-pinggir jalan, adalah kecemasan. Mereka takut teror kembali meluas, berkelebatnya bayangan di tengah malam bisa berarti maut. Bayangan itu adalah hantu yang bernama Khmer Merah kelompok perlawanan Kamboja yng pernah berkuasa dan terkenal dengan reputasinya sebagai pembantai sejuta rakyat. Di Phnom Penh kecemasan rakyat pun tercermin dari harga emas. Beberapa bulan lalu satu gram emas di ibu kota Kamboja ini kira-kira seharga Rp 68.000. Pekan lalu, naik sekitar 25%, menjadi Rp 85.000. Rakyat percaya, lebih aman menyimpan emas daripada uang di masa ketidakpastian kini. Di utara dan barat, dekat perbatasan dengan Muangthai, kecemasan itu nyata terasa. Di Pailin, kota kecil 15 km dari perbatasan, misalnya, sejak Sabtu pekan lalu seperti tak pernah sepi dari letusan mortir dan meriam. Ada yang mencoba menghitung, kata dia, "Sekitar dua ibu letusan tiap harinya." Kamboja seolah sekali lagi dipersiapkan menjadi ladang pembantaian. Dari pihak Khmer Merah memang ada suara marah, bahwa tak benar tentara Vietnam sudah habis dari Kamboja. Sekitar 70 tentara Hun Sen yang pekan lalu membelot, kata berita itu, menjadi saksi bahwa ribuan tentara masih berada di kota terbesar kedua, Battambang dan sekitarnya. Sinyalemen ini dibenarkan oleh Satuan Tugas Chantaburi-Trat, pasukan Muangthai yang bertugas di perbatasan. Kata seorang perwira Chantaburi-Trat, ada sekitar 3 ribu tentara Vietnam yang tinggal, lengkap dengan persenjataannya. Tampaknya kedua belah pihak sudah punya antisipasi, bahwa wilayah perbatasan merupakan daerah strategis. Ada dua alasan mengapa Khmer Merah berambisi merebut Battambang dan kota-ota kecil seperti Pailin (lihat peta). Yaitu karena daerah itu dekat dengan perbatasan Muangthai, dan bisa dipakai untuk meningkatkan posisi tawar-menawar terhadap rezim Phnom Penh. Dengan menguasai sebuah wilayah, gerilyawan komunis radikal itu berharap bisa menekan Phnom Penh agar mau menerima Khmer Merah dalam pemerintahan koalisi. Kabar akhir pekan lalu menyebutkan. heherapa pos pinggir kota sudah di tangan Khmer Merah. Soalnya, jalan ke wilayah ini sempit, hingga rezim Phnom Penh terlambat mengirimkan bantuan. Dan sebentar lagi, bila musim hujan tiba, Khmer Merah akan menggunakan pos-pos itu .sebagai markas komando untuk merebut kota-kota di sekitarnya. Musim hujan, itulah yang ditunggu Khmer Merah. Alam Kamboja di musim itu jadi pelindung penuh rahmat bagi gerakan gerilya anak-anak Pol Pot. Mereka bisa tiba-tiba muncul di sebuah pos penjagaan dan membantai semuanya, lalu lenyap untuk muncul di pos yang lain. Maka, sungguh beralasan kecemasan itu, yang kini sudah menjalar ke Phnom Penh. Satu lagi faktor yang bisa merepotkan pihak rezim Hun Sen. Yakni, tetangga dekat di barat laut alias Muangthai. Itu sebabnya menjelang penarikan pasukan Vietnam Hun Sen aktif mendekati Perdana Menteri Muangthai Chatichai Choonavan. Kabarnya, Hun Sen minta jaminan Muangthai agar negeri itu tak dipakai jalan mengirimkan bantuan pihak luar kepada pihak perlawanan di Kamboja. Kali ini bisa jadi Hun Sen salah langkah. Chatichai bukan orang yang tepat. Menurut Sukhumband Paribatra, bekas penasihat politik luar negeri Chatichai dan ahli masalah Kamboja, di Bangkok ada dua pihak yang punya kepentingan berbeda. Yakni militer dan pengusaha. Pihak militer menghendaki Muangthai tak menghentikan atau menghalangi bantuan kepada gerilyawan. Harapan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Chavalit Jongchaiyut, beradanya Muangthai di belakang pihak perlawanan Kamboja bisa menaikkan posisi kelompok ini untuk memperoleh porsi lebih besar dalam pemerintahan koalisi mendatang. Dengan demikian, Muangthai nanti mudah memperoleh konsesi politik dan ekonomi lebih besar. Tapi Paribatra melihat ada udang di balik batu. Militer sengaja memelihara kekacauan di Kamboja, agar kehadirannya sebagai ujung tombak menghadapi ancaman komunisme tak berakhir. Dengan demikian, keterlibatan para jenderal dalam kancah politik praktis bisa tetap diterima oleh rakyat. Sebaliknya, kaum pengusaha menginginkan perang segera dihentikan. Mereka berambisi menjadi pengusaha pertama yang membuka ladang bisnis di negeri itu. Untuk sementara tampaknya pihak angkatan bersenjata Muangthai memegang peranan. Sabtu pekan lalu, umpamanya, terbetik berita bahwa Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (FPNRK) pimpinan Son Sann, kelompok gerilyawan yang dikenal paling lemah, mengaku berhasil menguasai jalan raya nomor 69 dan dua buah desa di wilayah perbatasan. Katanya, sebuah gudang senjata berisi seribu senapan AK dan sebuah tank buatan Soviet termasuk yang mereka rebut. "Keberhasilan mereka karena tentara lawan tak mau bertempur," kata Abdul Gafar Teangmeath, juru bicara FPNRK, kepada wartawan. Benarkah hanya tentara Son Sann di situ? Ada dugaan FPNRK mendapat bantuan dari para pemberontak Vietnam yang didukung oleh Muanthai. Menurut Yin Souan, komandan pasukan pemerintah Hun Sen yang bertugas di perbatasan, para pelarian Vietnam membentuk organisasi bernama Front Persatuan untuk Pembebasan Rakyat Tertindas. Organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Vietnam yang tak menyukai rezim Hanoi ini aktif membantu kubu Sihanouk dan Son Sann. Bukan sekali dua kali Pemerintah Vietnam memprotes Muangthai yang berdiri di belakang gerakan itu. Terakhir, Jumat pekan lalu, radio Hanoi sekali lagi mengumumkan protes terhadap Muangthai sehubungan dengan dukungan mereka kepada para pemberontak. Lalu RRC, tak kurang merepotkan Hun Sen. Lebih daripada Muangthai, Cina komunis ini belum -- lebih tepat tak mau percaya soal penarikan pasukan Vietnam. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Li Zhaoxing menduga masih ada sekitar 30 ribu pasukan Vietnam yang menyamar sebagai tentara Phnom Penh. (Menurut Muangthai, jumlah itu lebih besar, 50 ribu.) Karena itu, RRC terus saja mengirimkan bantuan kepada kelompok Pol Pot. Namun, seandainya ada bukti lewat pengawasan internasional bahwa seluruh pasukan Vietnam benar-benar ditarik dari Kamboja, maukah RRC menghentikan bantuannya? Keras diduga, RRC akan tetap berkeras kepala bahwa itu tidak benar. Bagi Beijing soalnya bukan penarikan seluruhnya atau penarikan sebagian, melainkan menginginkan Kamboja bersih dari pengaruh Vietnam. Sejarah mencatat, Vietnam dan Cina sulit rukun. Peta politik itu tentunya dipahami Hun Sen. Sebagaimana ia memahami kekuatan militernya. Ada yang bilang, sementara ia menepuk dada bahwa tentaranya bisa mengatasi keadaan, sebenarnya ia cemas. Rezim Phnom Penh punya 40.000 tentara nasional, plus 30.000 tentara daerah. Kekuatan milisi, terdiri dari warga sipil konon kebaynakan petani -- 60.000 orang. Selain senjata dari Soviet dan Vietnam, kebanyakan AK-47 dan tank T-54, ada juga warisan Lon Nol, yakni senapan Amerika M-16. Tapi bukan senjata itu benar persoalannya. Menurut sumber militer Vietnam, Kamboja kekurangan komandan yang berpengalaman. Dalam pertempuran-pertempuran selalu tentara Vietnam yang ambil inisiatif. Menurut seorang pejabat di kota kecil dekat perbatasan, bila tentara Kamboja kehabisan makanan, "Mereka jual senjata mereka kepada kami." Selain itu, bila kepada tentara Kamboja ditanyakan siapa musuh mereka, jawabnya: "Orang-orang Pol Pot." Benar, seringkali terhadap gerilyawan pimpinan Son Sann dan Sihanouk mereka enggan bertempur. (Inilah mengapa dua desa di perbatasan Sabtu pekan lalu jatuh ke tangan gerilyawan Son Sann, konon, tanpa perlawanan.) Mengingat itu semua bisa dimengerti bila Hun sen lalu membuka medan perang baru, di New York. Pekan lalu, dia minta Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar mengosongkan kursi Kamboja, yang sejak 10 tahun silam diisi oleh Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja pimpinan Sihanouk. Permintaan itu akan menguji siapa yang lebih dipercaya oleh dunia. Hun Sen tentunya melihat, perang di Kamboja sekali menyala mungkin terus marak dari pada padam. Pihak Khmer Merah tentulah tak ingin berperang sekadar untuk memperoleh kekuatan di meja perundingan, sebagaimana tujuan kelompok gerilyawan nonkomunis. Selain bantuan RRC, semangat nasionalistis yang membenci Vietnam sebagai bekas penjajah (lihat Kembali ke Ladang Pembantaian) tak akan padam begitu saja. Ini tentu akan sangat merepotkan tentara Hun Sen. Memang, bisa saja perdana menteri yang dulu anggota Khmer Merah -- dan karena itu ia dianggap pengkhianat -- ini minta bantuan Vietnam lagi. Tapi bila hal itu terjadi, penyelesaian damai memang akan makin jauh. "Kamboja akan kembali seperti 10 tahun lampau," ujar Paribatra. Melihat itu semua, jangan-jangan masalah Kamboja memang harus diselesaikan di medan perang, hingga salah satu pihak runyam dan menyerah. Suatu gagasan yang oleh Menlu Indonesia Ali Alatas sulit diterima. Alatas, yang pekan lalu menghadiri sidang PBB di New York, tetap yakin meja perundingan bisa menyelesaikan persoalan. Sementara itu, musim hujan sudah tiba -- musim yang ditunggu-tunggu oleh Khmer Merah. Konon rencana mereka sudah rapi, menguasai kota-kota perbatasan, lalu serbuan besar ke Battambang, kota terbesar kedua di Kamboja. Seandainya kelompok ini bisa menghapuskan citranya sebagai jagal sejuta orang, sungguh berbahaya bagi Hun Sen. Yuli Ismartono (Phnom Penh) Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini