Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Coca-cola, dan korupsi, di tengah..

Kondisi ekonomi kamboja memprihatinkan. selain industri, pertanian nyaris macet. pendapatan per kapita jauh di bawah indonesia. pemerintahan mulai berbenah, tapi korupsi merajalela.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMBOJA memang porak poranda. Jangankan industri, pertanian pun nyaris macet total. Penghasilan per kapita negeri itu tak lebih dari US$ 60 per tahun (Indonesia, US$ 560). Tapi barang-barang konsumtif dan mewah buatan negara industri maju, yang di banyak negara Dunia Ketiga tergolong barang wah, banyak terlihat. Bisa jadi, melihat itu. Muangthai dan Singapura sudah pasang kuda-kuda untuk menanamkan modal di negeri dengan 6,X juta penduduk ini. Di warung-warung bisa ditemui berderet-deret botol minuman berbagai merk. Coca-Cola, Pepsi Cola Sprite. dan lain-lain semacamnya selalu siap melepaskan dahaga siapa pun, asal bisa membayar. Bila berniat sedikit teler. Anda bisa memesan bir Heineken, Asahi, Tiger. atau merk-merk lainnya. Di etalase toko-toko elektronik, mesin video buatan Sony atau JVC sudah umum. Dan sedan-sedan Jepang hasil rakitan Muangthai terus membanjir lewat Kompong Som. Di tengah pertempuran yang tak kunjung reda, rakyat Kamboja ternyata tak menutup mata pada perkembangan dunia. Itu bisa dilihat dari makin lakunya kursus-kursus bahasa Inggris. Padahal, sebagaimana lazimnya di negeri komunis, rakyat selalu dicekoki soal pentingnya bahasa Rusia sebagai bahasa internasional. Mereka yang paling berjasa dalam impor besar-besaran itu adalah para penyelundup. Mereka selalu gencar memburu barang-barang bekas dan baru di mancanegara, terutama Singapura dan Muangthai. Berkat "persahabatan" dengan petugas bea cukai Kamboja, harang-barang dagangan mereka bisa sampai di Phnom Penh dengan harga yang tak jauh berbeda dari harga asli. Perubahan itu mulai semarak pada 1986, ketika Dewan Nasional -- semacam parlemen-mengesahkan undang-undang bam yang memberi peluang kepada ekonomi swasta. Supaya lebih bergairah, pada 1987, Bank Perdagangan Luar Negeri mengizinkan masuknya duit dari orang-orang Kamboja di luar negeri. Sasaran kebijaksanaan ini adalah ratusan ribu imigran Kamboja di negara-negara maju, yang berniat membantu ekonomi sanak saudara di tanah air. Pada Oktober 1987 pemerintah melakukan devaluasi 70%. Nilai tukar dolar AS yang semula hanya 30 riel menjadi 100 riel. Dengan harapan, para pelancong dari mancanegara tak perlu lagi pergi ke pasar gelap. Bahkan Bank Sentral Phnom Penh juga menerima travellers' cheque. Sebab, perbedaan antara kurs resmi dan tak resmi tipis sekali. Namun, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tetap belum cukup untuk mengimbangi boikot ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Karena itu, kemiskin an tetap merajalela. Sebagian besar rakyat harus tinggal di rumah-rumah gubuk, dan senantiasa terancam penyakit malaria. Perlu dicatat, di sana korban perang tak lebih banyak dari korban penyakit itu. Sedangkan pegawai negeri boleh dibilang tak jauh berbeda dengan nasib para pegawai negeri lain di Dunia Ketiga. Gaji mereka jauh di bawah kebutuhan normal. Pada 1987. di Kamboja ada 200 ribu pengawai negeri dengan gaji rata rata 900 riel per bulan. Padahal, biaya hidup minimal sekitar 4 ribu riel. Maka, korupsi pun mewabah. "Banyak pejabat mengunakan kedudukannya untuk mempengaruhi dunia bisnis," ujar Khieu Kanarith, redaktur koran mingguan Kampuchea. Karena itu, seorang pemilik toko di Phnom Penh mengaku kepada TEMPO bahwa dia harus membayar pajak tak resmi untuk mendapatkan korting pajak resmi yang mencapai 60%. Permainan pajak dan derasnya arus penyelundupan membuat sejumlah pejabat jadi kaya-raya. Di Kep, kota peristirahatan dekat kota pantai Kompot, seorang kepala bagian propaganda di sebuah kantor pemerintah daerah bahkan mampu membeli vila seharga 27 ribu riel. Sebaliknya, pemerintah tetap kelabakan menutup anggaran belanja, lantaran pajak yang masuk sangat jauh di bawah target. Akibatnya, menurut hasil survai PBB tahun 1987, hanya 50 pabrik di Phnom Penh beroperasi kembali, hampir semuanya dikelola oleh pemerintah, dan tak berjalan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Bahkan ada dugaan, pengoperasian kembali pabrik-pabrik itu dipaksakan demi prestise politik dan penampungan tenaga kerja. Biaya produksi pabrik-pabrik itu jauh di atas harga normal. Soviet sebenarnya sudah berusaha menyelamatkan ekonomKamboja dari keban gkrutan. Pada 1987, radio resmi Phnom Penh mengumumkan, sejak 1979 Soviet telah mengucurkan 285 juta rubel untuk membantu perekonomian Kamboja. Lalu, tahun lalu, karena Soviet tak bisa lagi memberikan utang, Moskow dan Phnom Penh menandatangani perjanjian barter. Soviet mengirim sejumlah mesin pertanian dan pupuk, dan Phnom Penh membayar dengan komoditi ekspor tradisional, terutama karet. YI (Phnom Penh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus