HUN SEN Wajahnya terkesan seperti boL cah. Ia lebih sering tampil dengan kaca mata hitam, karena mata kirinya cacat. Cacat itu didapatnya dalam suatu pertempuran, ketika ia, sebagai seorang komandan batalyon Khmer Merah, berperang melawan pemerintahan Lon Nol yang didukung Amerika pada 1970-an. Dan karena penampilannya yang kekanakkanakan itu, ia sering mendapat julukan "Daniel Ortega dari Asia Tenggara". "Hun Sen adalah anakku yang hilang, yang dulu nakal," kata salah satu saingannya, Pangeran Norodom Sihanouk, ketika keduanya berjumpa lagi di meja perundingan di Paris. Nakal atau tidak, yang jelas dengan terbawanya si "muka bocah" berusia 38 tahun itu ke perundingan untuk menentukan hari depan negaranya, berarti ia telah mendapat pengakuan internasional. Bayangkan saja, hanya dua atau tiga tahun yang lampau ia cuma dianggap "wayang" yang dimainkan oleh dalang yang datang dari Hanoi. Namun, bagi para bekas kameradnya dalam Khmer Merah yang masih bergerilya di hutan-hutan, ia tak lebih dari seorang pengkhianat yang pada suatu kesempatan nanti harus dibinasakan. Ketika terjadi perpecahan dalam Khmer Merah, 1977, Hun Sen ikut lari dengan Heng Samrin (kini Presiden Kamboja) ke Vietnam. Khieu Samphan, yang mewakili Khmer Merah dalam Perundingan Paris, tak menyembunyikan kebenciannya. Sepanjang perundingan ia terus memandang ke arah Hun Sen dengan tegang, seakan hendak mengerkahnya. Bisa dimengerti bahwa Hun Sen selalu mengatakan "tidak" tanpa bisa ditawar lagi, bila berbicara tentang mengikutsertakan Khmer Merah dalam pemerintahan koalisi. Dan itu bukan saja didasarkan pada kekhawatiran pribadi, tetapi juga pada kesaksiannya melihat bagaimana Khmer Merah membantai lebih dari satu juta rakyat Kamboja. Dialah yang menginginkan agar Pol Pot diseret ke muka pengadilan internasional sebagai "penjagal" rakyat Kamboja. Banyak yang menduga, nasib Hun Sen bersama dengan pemerintahannya sedang berada di ujung tanduk, setelah tentara Vietnam meninggalkan bumi Kamboja. Tapi ia sendiri tak khawatir, bahkan punya kepercayaan diri cukup besar. Ada yang menduga, kekuatan Hun Sen terletak pada masih hadirnya sekitar 50 ribu tentara Vietnam yang menyamar sebagai "imigran" dan orang sipil. Mereka itu, pada saat-saat genting, setiap waktu bisa dimobilisasikan. Yang jelas, Hun Sen selama ini mengandalkan diri pada kepiawaiannya berdiplomasi. Dan ia tak jemu-jemunya membujuk Pangeran Sihanouk agar meninggalkan front koalisi perlawanannya. Untuk itu, ia sudah empat kali bertemu dengan bekas raja yang gemar meniup saksofon itu. Ia selalu mengatakan, kedatangan Sihanouk di Phnom Penh sangat diharapkan dan akan disambut hangat. Tapi -- mungkin dalam rangka perang urat sarafnya -- kadang-kadang ia mengatakan pula, sang pengeran tak bisa kembali ke Kamboja karena pertalian eratnya dengan Khmer Merah. Selain itu ia pun selalu mencoba menarik dukungan dari rakyat Kamboja. Bila mengadakan kunjungan ke daerah -- sebagaimana yang ia lakukan ketika meninjau Siem Reap, dekat sebelum penarikan mundur pasukan Vietnam -- ia mengadakan dialog langsung dengan rakyat. Ia pun membagi-bagikan uang receh kepada anak-anak, dan sarung untuk ibu-ibu, serta makanan untuk para biku. Banyak pengamat mengatakan, kelangsungan hidup pemerintahan Hun Sen, selain tergantung dukungan Vietnam, juga bergantung pada keberhasilannya mengajak Sihanouk menyeberang ke pihaknya. Karena Sihanouk bagaimanapun masih menjadi faktor terpenting dalam mencari jalan damai, untuk tanah yang tak hentinya dirundung kemalangan itu. SIHANOUK Langkah-langkah bekas kepala negara Kamboja ini sering sukar diduga. Tapi ia tetap dianggap sebagai lambang pemersatu dan pemegang kunci gerbang keluar dari kemelut sekarang, meski ia sendiri bersama istrinya, Putri Monique, berpindah-pindah antara Beijing dan Pyongyang. Bekas playboy yang menginjak usia ke67 dan pintar main musik itu dikenal kekiri-kirian, baik pada masa lalu maupun sekarang. Itu sebenarnya julukan yang kurang pas. Berbaik-baiknya dia dengan pihak komunis lebih banyak disebabkan oleh letak negaranya yang dekat dengan RRC dan Vietnam. Sekarang pun, bila ia berpelukan dengan Khmer Merah, itu karena terpaksa -- itulah jalan satu-satunya (paling tidak menurut firasatnya) untuk bisa berkuasa kembali di Kamboja. Sebagai bapak dan kakek yang 5 anak serta 14 cucunya dibantai Khmer Merah, bila ia berbaik-baik dengan kelompok yang garang itu, bila tak terpojok, tentulah ada tujuan besar tersembunyi. Sihanouk memang dikenal punya taktik tak terduga. Misalnya setelah Pertemuan Paris gagal, ia mengeluarkan pernyataan, tertulis bahwa ia sama sekali tak berniat dan tak berminat mengadakan hubungan dengan "para pengkhianat bangsa Khmer pimpinan Hun Sen." Tapi baru-baru ini, lewat perantaraan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan dari Muangthai, ia mengatakan bahwa ada "berita baik" darinya. Berita itu, demi mencari jalan damai di negerinya, ia bersedia bertemu dengan "faksi mana pun". Tentulah itu termasuk dengan Hun Sen yang dicapnya "pengkhianat". Beberapa pengamat Kamboja menilai Sihanouk sudah tak punya akar lagi di Kamboja karena ia sudah lama meninggalkan negeri yang dicintainya itu. Tapi, kata pendapat lain, jangan dilupakan, bagaimanapun ia adalah figur internasional. Bila Sihanouk kembali duduk di kursi kekuasaan, ia bisa menjadi figur guna menarik kembali kepercayaan masyarakat dunia llntuk mengulurkan tangan menolong negeri malang ini. Berdasarkan pada anggapan terakhir itu, mungkin masuk akal juga kalau ada jalan tengah: aliansi antara Hun Sen dan Sihanouk. Hun Sen akan mengatasi masalahmasalah domestik, sedangkan Sihanouk akan berbicara atas nama bangsa Khmer di panggung dunia. Susahnya, citra Hun Sen sebagai "boneka" Vietnam tampaknya menyulitkan jalan tengah itu. POL POT Orang yang mendapat julukan sebagai"jagal rakyat Khmer" ini aslinya bernama Saloth Sar. Dilahirkan pada 1928 di Provinsi Kompong Chom dari perkawinan campuran Khmer -- Cina, semasa kecilnya, konon, ia kurang bahagia. Di sekolah pun katanya pula, dia bukan seorang murid pintar. Tapi pada usia 19 tahun, lewat koneksi, ia berhasil mendapat beasiswa untuk belaiar di Paris. Di kota kaum intelektual itulah ia bersekolah pada Sekolah Tinggi Teknik, Ecole Francaise de Radio-electricite . Di sanalah ia mulai berkenalan dengan komunisme. Di kamar penginapannya ia memasang potret besar Stalin. Di Paris itu pula ia menjalin persahabatan dengan Ieng Sary, salah satu pentolan Khmer Merah lainnya. Ia menikah dengan Khieu Ponnary, ipar Khieu Samphan. Perkawinan dengan kerabat sahabatnya itu merupakan bibit terbentuknya Khmer Merah sebagai organisasi. Ternyata, ia gagal dalam ujian-ujiannya. Terpaksalah ia pulang kampung. Begitu pulang, ia bergabung dengan organisasi terlarang, Partai Komunis Indocina, yang anggota-anggotanya campuran orang-orang Vietnam dan Kamboja. Tapi kemudian ia kecewa. Ternyata, organisasi itu didominasi oleh orang-orang Vietnam, sedangkan orang Kamboja hanya dijadikan embel-embel. Karena itu, pada 1963 ia mendirikan Khmer Merah yang bebas dari pengaruh Vietnam. Kejatuhan Sihanouk pada 1973 dan naiknya Lon Nol merupakan awal menanjaknya Khmer Merah dan Saloth Sar. Sihanouk, yang terguling, tanpa disangka-sangka bergabung dengan mereka. Bersamaan waktunya dengan tumbangnya rezim pro Amerika di Vietnam Selatan, Lon Nol pun turut rontok. Sihanouk menjadi penguasa kembali di Kamboja, tapi hanya di kertas. Pada dasarnya ia menjadi tawanan Khmer Merah. Itulah masa yang paling gelap untuk rakyat Kamboja. Lebih dari satu juta penduduknya tertumpas oleh Khmer Merah. Ketika Khmer Merah pun akhirnya bergerilya kembali, barulah nama Pol Pot dikenal dunia, dan sebagaimana biasanya ia selalu bergerak di belakang layar. Dewasa ini Khmer Merah merupakan faksi yang terkuat dalam koalisi pimpinan Sihanouk, karena mendapat dukungan Cina. Kesulitan kelompok ini untuk tampil kembali berkuasa, bagaimana menghapuskan citra sebagai jagal sejuta orang, yang telanjur menjadi capnya. Bagaimanapun. ia harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor penting untuk perdamaian di Kamboja, karena konon, memiliki sekitar 40 ribu serdadu bersenjata lengkap. SON SANN Ia pernah duduk dalam beberapa jabatan penting di bawah Sihanouk -- antara lain Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri, malahan pada 1968 menjadi wakil presiden yang mengatur perekonomian. Dalam usia 78 tahun kini Son Sann adalah pemimpin faksi nonkomunis dalam koalisi Sihanouk. Tadinya ia tinggal di Paris, di sebuah apartemen mewah, sambil mengatur strategi menentang pemerintahan Lon Nol. Ketika Lon Nol jatuh dan Khmer Merah berkuasa, ia merasa terpanggil, dan pada 1975 pergi secara rahasia ke Kamboja Utara. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan dalam pertempuran, pasukan yang dipimpinnya hanya tersisa sekitar 8.000 orang. Namun, ia punya kartu kuat. Faksi yang dipimpinnya mendapat dukungan dari Barat dan Muangthai, di samping dari para warga Kamboja yang bermukim di luar negeri. Mungkin karena itu dari Bangkok ia bisa mengatur gerakan pasukannya yang bersenjata cukup lengkap. Barangkali, sadar karena posisi dan kekuatannya yang tak begitu besar, ia bersedia bergabung dengan Sihanouk dan Khmer Merah. Hubungannya dengan Sihanouk tak selalu mulus. Pasukan-pasukannya sering bentrok dengan. pasukan Sihanouk -- ini menjadi sebab beberapa kali Sihanouk meletakkan jabatan sebagai ketua koalisi. Di kertas kekuatan Son Sann memang tak seberapa. Tapi, mengingat dukungan Barat dan Muangthai itulah ia masih masuk hitungan. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini