SEMULA, dikira Bali telah "tersesat" di kaki Gunung Merapi. Tempatnya di Prumpung, Desa Taman Agung, Jawa Tengah. Di sana berjajar aneka ragam patung yang sekilas memang mirip patung Bali. Padahal, tidak semua patung itu berciri Bali. Ada ciri lain, bila ditelaah lebih dalam. "Arca-arca ini asli sini," kata Soetjipto. "Nenek moyang kami memang pemahat, sehingga anak keturunannya juga pandai memahat. Dan kerja ini susah ditinggalkan." Wajah alam seputar Taman Agung seperti membenarkan pernyataan pematung itu. Loreng Merapi, yang bagai dinding batu mengelilingi desa di Kecamatan Muntilan ini, telah merangsang kehendak menciptakan arca. Tapi, entah bagaimana awalnya, kemudian lahir kebiasaan membuat arca kepala Budha dan batu nisan di lembah tersebut. Bahkan lereng di Kabupaten Magelang ini bukan hanya menggoda penduduknya. Pematung-pematung Bali yang punya latar belakang memahat yang kental berduyun pula datang. "Saya ikut ayah saya kemari pada 1968," kata Nyoman Alim Mustafa. Ia lahir di Denpasar. Para pendatang berbaur dalam kehidupan dan melahirkan karya. Nyoman Alim kemudian menikah dengan gadis Prumpung. Sementara itu, patung-patung karyanya punya napas baru, atawa benar tak sama dengan patung Bali. Arca-arca hasil akulturasi inilah yang kini dikenal masyarakat sebagai patung Muntilan. Memang, ada lagi gapura bergaya Bali. Malah duplikat arca-arca Pradnyaparaminta, Ganesha, dan Budha dengan citra candi di Jawa Tengah. Di sini ada pula patung Gupala (raksasa penjaga gerbang) dan arca Wishnu di atas garuda, sehingga ini justru menunjukkan gaya campuran Prumpung-Bali. Campuran budaya ini kemudian jadi muara bisnis. Patung-patung itu diproduksi untuk dijual. Dan laku. Misalnya, arca berukuran 1 meter sekitar Rp 100.000. Pembelinya muncul dari serata tanah air, apalagi Jakarta. Patung-patung ini bahkan diekspor. Sekitar 100 kelompok pemahat, kegiatan di Prumpung itu lebih pantas disebut industri patung. Mereka bekerja dengan pola dan sistem produksi yang dicari bersama. Karena itu, patung yang dihasilkan persis sama bentuknya. Tidak bersaing? "Tidak. Semua pemahat dan pengusaha di sini masih keluarga," jawab Nyoman Alim Mustafa. Jim Supangkat dan Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini