BENDERA merah-putih-hitam, lambang persatuan Republik Yaman, kini benar-benar tercabik dua. Perang saudara antara Yaman Utara dan Selatan, yang berkecamuk sejak awal Mei lalu, semakin tak terkendalikan. Pihak Selatan memperingatkan warga Sanaa, ibu kota Yaman Utara, agar menjauhi istana Presiden Ali Abdullah Saleh. "Kediaman presiden yang menjijikkan itu menjadi target utama serangan militer yang dilakukan demi persatuan bangsa dan demokrasi," bunyi seruan Radio Aden, Kamis pekan lalu. "Keluarga presiden bakal diburu, sampai di mana pun," bunyinya lebih lanjut. Ancaman militer pihak Selatan itu bukannya sekadar gertak di udara. Awal pekan lalu, serangan rudal Scudnya berhasil mengoyak kawasan dekat istana, menewaskan 23 korban. Kota Zingibar, 60 km sebelah timur Aden, diklaim dapat direbut kembali dari tangan brigade Amaliqa, satuan tentara elite Yaman Utara. Pihak Selatan dikabarkan berhasil mempertahankan kawasan Dhalea, yang merupakan jalur utama menuju markas besarnya di Aden, dari serbuan militer pihak Utara. Wakil Presiden Yaman, Ali Salem al-Baidh, yang menjadi pemimpin pihak Selatan bersama sejumlah pemimpin militer -- yang dicap oleh Utara sebagai pemberontak itu -- tak menggubris peringatan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh agar meninggalkan Aden. Setiap serangan Utara selalu dibalasnya dengan pukulan balik. Pihak Selatan juga melakukan manuver politik internasional dengan menawarkan gencatan senjata dan menerima kehadiran pasukan Arab Saudi sebagai penjaga perdamaian di Yaman. Gencatan senjata itu diusulkan, menurut utusan khusus Yaman Selatan yang mondar-mandir ke sejumlah negara Arab untuk mencari bantuan penyelesaian, Saleh Abu Bakar bin Husaynun: "Bukan karena kami lemah, tapi untuk menyelamatkan rakyat Yaman." Sebuah tim damai Liga Arab menurut rencana akan bertolak ke ibu kota Yaman, Sanaa, dari negara tetangganya, Arab Saudi. Mereka berniat mengatur gencatan senjata kedua Yaman yang bertikai itu. Namun, sampai akhir pekan lalu belum ada pertanda bahwa tim tersebut bakal berhasil. Yaman Utara terang-terangan menolak usul Selatan untuk mengadakan gencatan senjata dan mengundang pasukan Arab Saudi. Alasannya, gencatan senjata dianggapnya menyetujui pemisahan kembali Yaman Utara dan Selatan. Pihak Utara selalu menuduh Selatan ingin memisahkan diri karena tuntutannya untuk federasi dan otonomi penuh atas wilayah Selatan. Lantas, adakah alternatif untuk mengakhiri perang saudara ini tanpa membelah Yaman menjadi dua lagi? Kemungkinan untuk utuh menjadi satu seperti diputuskan tahun 1990 memang kecil. Apalagi kedua pihak sudah patah arang dan saling curiga. Menurut sejumlah pengamat, penyelesaian dengan membelah lagi Yaman menjadi dua negara mungkin memang dikehendaki sejumlah negara Arab. Ada dua alasan mengapa mereka tak menghendaki adanya negara Yaman bersatu. Pertama, dikhawatirkan bahwa negara seluas 500 km persegi lebih yang membentang di Semenanjung Arab bagian selatan ini akan menjadi sebuah negara yang memiliki kemampuan militer cukup kuat. Sekarang ini, gabungan dua Yaman itu punya 66.000 personel militer (38.500 orang dari Utara dan 27.500 orang Selatan). Andaikata terjadi konflik dengan negara Arab lainnya, Yaman bersatu yang menguasai Semenanjung Arab itu dengan mudah bisa memblokir Selat Bab el-Mandeb, pintu gerbang perdagangan Arab dan Eropa ke Asia, yang menghubungkan Laut Merah dan Teluk Aden menuju Samudra Hindia. Kedua, akan munculnya pemerintahan yang demokratis di Yaman. Tahun lalu, misalnya, Yaman bersatu telah mengadakan pemilihan umum multipartai -- suatu hal yang dianggap bisa mengancam pemerintahan monarki di sejumlah negara Arab. Apalagi Yaman bersatu ternyata telah menerapkan kebebasan pers segala. Karena itu, tulis majalah The Middle East, "Pecahnya perang saudara di Yaman bisa dijadikan bukti bahwa demokrasi tak cocok dijalankan di Arab." Desakan agar Yaman berpisah lagi sebenarnya bisa dilihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi sejak pemilu Mei tahun lalu. Beberapa bulan setelah pemilu, Sultan Qabus dari Oman tiba-tiba membatalkan kunjungannya ke Aden, ibu kota Yaman Selatan, setelah berkunjung ke Ibu Kota Sanaa di Utara. "Sultan tak ingin dianggap memecah belah Yaman dengan menjabat tangan Wakil Presiden Al Beidh," tulis koran-koran di Sanaa. Tapi, tak sampai setahun, koran-koran di Yaman juga mengabarkan bahwa Oman mengirimkan sejumlah tank dan senjata mesinnya ke Selatan. Demikian pula dengan Arab Saudi, yang membekukan US$ 1 miliar bantuannya dan mengusir satu juta warga Yaman dari negerinya. Tindakan ini dilakukan karena Yaman mendukung invasi militer Irak ke Kuwait tahun 1990. Sementara itu, pemerintah Riyadh memang tak mengusik warga Yaman asal Hadramaut -- kawasan kaya minyak di Yaman Selatan -- yang mencari nafkah di Arab Saudi. Malah, warga Yaman Selatan yang umumnya kaya itu mampu melakukan investasi senilai US$ 11,7 juta di Hadramaut dan Mukalla. Tak cuma itu. Perusahaan minyak Saudi Nimr dan perusahaan minyak Oman Strong Arm juga mulai beroperasi di lepas pantai Hadramaut. Maka, jangan heran bila terdengar isu bahwa pemerintah Saudi mendukung Al Beidh -- berasal dari Hadramaut -- sebagai perdana menteri sekaligus menteri perminyakan dan Ketua Dewan Produksi dan Eksplorasi Minyak Yaman. Besarnya dukungan terhadap Pemerintahan Sosialis Yaman Selatan itu memang tak terlepas dari kepentingan bisnis negara- negara Arab sendiri. Dan itu tak dimiliki oleh Utara, yang miskin sumber daya alam, kecuali sebuah pemerintahan yang disebut-sebut demokratis -- walau tak efisien dan korup. Kepincangan sosial, kesenjangan kaya-miskin, sangat mencolok. Itu pula yang sempat memicu ledakan aksi kerusuhan tahun 1990- an. Karena itu, tak mengherankan bila Al-Baidh bersikeras mempertahankan wilayah Selatan sebagai sebuah negara federasi yang punya otonomi. Suatu langkah yang didukung negara-negara Arab lainnya. Paling tidak, Al Beidh menguasai 335 ribu barel minyak yang dipompa setiap harinya dari sejumlah sumurnya di Selatan, untuk mengangkat taraf hidup 2,5 juta rakyat Selatan, yang kini jauh ketinggalan ketimbang 10 juta rakyat Utara. Mengingat konflik yang berkepanjangan itu, sejumlah pengamat menduga, tim damai Liga Arab, yang akan berunding di Sanaa Jumat pekan ini, belum tentu menghasilkan solusi. Konflik Utara-Selatan itu mungkin akan semakin ruwet. Apalagi bila perang saudara ini melibatkan pula "saudara-saudara"-nya, negara Arab di sekitarnya. Didi P. & Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini