KOTA Yerikho benar-benar ceria akhir pekan lalu. Hujan batu yang hampir setiap hari terjadi di kota kecil Tepi Barat itu berganti jadi hujan permen dan beras. Bau mesiu dan gas air mata, yang biasanya mengepul di jalan-jalan raya, pun telah berganti dengan bau keringat dan pekik gembira sekitar satu juta warga Palestina yang berdesakan menyambut kedatangan 400 polisi Palestina. Suasana gembira yang menandai penyerahan kekuasaan oleh penguasa Israel, Jumat pekan lalu, itu tiba-tiba dikejutkan sebuah insiden berdarah. Seorang bocah berusia sembilan tahun tewas dan seorang ibu luka parah terkena peluru nyasar sebuah senjata AK-47 (milik polisi Palestina), yang dijadikan mainan oleh seorang bocah kecil lainnya. "Peraturan hukum akan segera diterapkan. Untuk itulah kami hadir di sini," kata seorang perwira polisi kebingungan tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia memang tak sendiri. Hampir setiap warga Palestina di Yerikho maupun Jalur Gaza mengalami kebingungan seperti itu. Seperti juga para polisi Palestina yang rata-rata berusia 15 sampai 45 tahun. Mereka tak tahu tugas apa saja yang harus dijalankannya, dan di mana markas mereka, malam itu. Beberapa polisi muda tampak bertanya-tanya -- soal batas Yerikho yang harus dijaganya -- kepada penduduk lokal. Sementara itu, jalan- jalan kecil berdebu di Yerikho macet total akibat kendaraan lalu lalang tak tentu arah. Kantor pajak dan bea cukai ditutup selama seminggu karena tak ada pegawainya. Masalah-masalah detail seperti itulah yang harus diselesaikan oleh Penguasa Nasional Palestina (PNA). Badan beranggotakan 24 orang, yang berfungsi sebagai kabinet de fakto -- sampai terpilihnya pemerintahan baru Palestina, hasil pemilu yang dijadwalkan akhir tahun ini -- diharapkan sudah bisa memulai tugasnya Selasa pekan ini. Tapi, batas waktu itu tampaknya sulit dipenuhi, mengingat baru 15 nama yang berhasil dipilih Komite Eksekutif PLO di Tunis Kamis pekan lalu. Itu pun setelah Komite Eksekutif PLO melakukan bongkar pasang berkali-kali selama beberapa hari ini. Apalagi pengumuman daftar nama Badan Otoritas itu melenceng jauh dari rencana semula. Yakni bersamaan dengan penandatanganan akhir PLO-Israel di Kairo awal bulan ini. "Sisanya akan diumumkan Arafat dalam waktu dekat ini," kata Nabil Shaath, salah seorang anggota badan penguasa tersebut. Bahkan, dari Jembatan Allenby, Yerikho, diperoleh kabar, tak lengkapnya daftar nama PNA ini menyebabkan Israel menunda kedatangan dua ribu polisi tambahan Palestina. Rupanya, banyak soal yang membuat pemilihan anggota PNA ini tertunda-tunda. Yang pertama adalah faktor Israel. Agaknya, mereka tak mau memberikan kebebasan penuh pada pemimpin badan itu untuk menunjuk pembantunya. Arafat harus mengkonsultasikan pilihannya pada PM Yitzhak Rabin. Terpilihnya Faisal Huseini, misalnya, sempat menimbulkan protes. Ini lantaran Israel khawatir, masuknya tokoh PLO dari Jerusalem Timur itu bakal menyeret warga muslim di kawasan Israel itu lebih pro pada Palestina. Soal yang kedua jauh lebih rumit. Kendati sudah diminta berkali-kali, ternyata banyak tokoh senior PLO yang enggan menjadi anggota PNA. Di antara mereka yang menolak ini adalah Abu Mazen, Farouk Khadoumi (Menteri Luar Negeri Palestina selama ini), dan Jamal Sourani. Abu Mazen, anggota Komite Eksekutif PLO yang dikenal sebagai arsitek perdamaian terakhir di Kairo, misalnya, merasa dipermalukan dengan tindakan Arafat yang tak mau meneken sebagian perjanjian -- soal tapal batas Yerikho -- di Kairo awal bulan ini. Padahal, sebelumnya naskah perjanjian itu sudah dikonsultasikan Abu Mazen kepada Arafat. "Abu Mazen bersumpah, peristiwa itu merupakan kali terakhir Arafat mempermalukannya," kata seorang pejabat senior PLO. Salah seorang pejabat senior lainnya di PLO menjelaskan bahwa mereka juga meragukan lembaga PNA di bawah Arafat itu bisa berjalan demokratis. Kekhawatiran ini bukannya tak berdasar. Selama ini Arafat-lah tokoh sentral di PLO. Sejumlah perunding PLO ulung, seperti Hanan Ashrawi dan Youssef Sayigh, terpaksa harus menyingkir setelah berselisih paham dengan Abu Amar, sebutan untuk Arafat. Majalah The Midlle East pernah menggambarkan bagaimana Arafat lebih menyukai para loyalis kendati tak cakap dalam bidangnya ketimbang mereka yang pintar tapi buta politik. Karena itu, para teknokrat pilihan Arafat dipenuhi politikus. Kelambatan penyusunan anggota PNA ini agaknya juga mencerminkan kurangnya kepekaan Arafat menyerap aspirasi kalangan bawah. Semula ia hanya menunjuk dua orang dari daerah pendudukan untuk menjadi anggota PNA. Itu pun bukan untuk posisi kunci. Untunglah, setelah beberapa staf senior PLO mengingatkan kemungkinan timbulnya pemberontakan dari dalam, Arafat berubah sikap. "Kalau Arafat tak demokratis, maka akan ada revolusi yang tak hanya menentang kediktatoran, tapi juga proses perdamaian," kata Soufian Abu Azda, seorang pendukung Arafat dan tokoh senior Fatah. Setelah menghadapi tekanan yang bertubi-tubi itu muncullah ke-15 nama anggota PNA yang mayoritas berasal dari wilayah pendudukan. Selain Hanan Ashrawi, juga tertera nama-nama seperti Zakaria al-Aqha, seorang dokter kelompok Fatah dari Jalur Gaza atau Freih Abu Median, Ketua sindikasi pengacara Jalur Gaza dan yang tak kalah pentingnya, dua warga Palestina yang pernah diusir dari wilayah pendudukan, yaitu Abdel Aziz al-Haj Ahmed dan Azmi al Shuaibi. Serta satu orang lagi, Elias Freij, Wali Kota Betlehem warga Palestina asli. Seperti diketahui, mayoritas penduduk Bethlehem adalah warga Palestina beragama Kristen. Masalahnya kini, bila sampai akhir bulan ini daftar nama ke- 24 anggota PNA itu belum juga lengkap, pemerintahan Palestina di Jalur Gaza dan Yerikho dikhawatirkan tetap akan kacau. Dengan alasan itu, Israel, misalnya, bisa saja menunda kedatangan sisa personel polisi Palestina yang jumlahnya diperkirakan 8.000 orang, dari jumlah keseluruhan 9.000 orang. Nah, yang paling gawat lagi adalah tertundanya bantuan internasional bagi Palestina lantaran negara-negara donor tak yakin dana itu diprioritaskan untuk apa. Selama ini Arafat lebih sibuk mengurusi soal-soal sepele -- seperti prangko, atau kode telepon -- ketimbang memperhatikan hal-hal yang lebih prinsip. Misalnya di bidang kesehatan: Rumah Sakit Shifa di Gaza, yang banyak merawat korban Intifadah, harus menggunakan botol oksigen dari sebuah garasi bengkel mobil karena persediaan habis gara-gara perbatasan ditutup Israel. Tertundanya kucuran dana internasional mengakibatkan PLO kerepotan membiayai kedatangan sembilan ribu personel polisinya. Dalam kawatnya yang dikirim ke meja kerja Arafat di Tunis, Nabil Sahaath meminta tambahan dana lagi. "Dana sebesar US$ 60 ribu ternyata belum cukup. Kalau tambahannya tak dikirim, situasi bisa tambah gawat," demikian bunyi kawat yang dikirim Selasa pekan lalu. "Sumbangan dana dari Amerika Serikat sebesar US$ 5 juta mungkin tertunda karena birokrasi yang panjang," sambungnya. Atau disengaja sambil menunggu kesiapan pemerintah Palestina itu.Didi Prambadi & Dwi S. Irawanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini