Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unit Penilaian Zona Departemen Kepolisian New York (NYPD) dibentuk setahun setelah terjadi serangan 11 September 2001 di daratan Amerika Serikat. Beroperasi lebih dari satu dekade, kesatuan yang dulu bernama Unit Demografi itu—dengan alasan yang tak disebutkan jelas—resmi diakhiri pada 15 April lalu. "Personelnya dipindahkan ke tugas lain di Biro Intelijen," kata pernyataan yang dirilis NYPD, keesokan harinya.
Pengumuman itu mengakhiri unit yang tugasnya menyusun semacam katalog informasi kehidupan komunitas muslim di New York tersebut. Kebijakan baru diambil di tengah kritik keras dari organisasi hak sipil dan pergantian pemerintahan di New York, dari Michael Bloomberg ke Bill de Blasio sebagai wali kota, dari Raymond Kelly ke William Barton untuk posisi Komisaris NYPD.
Pemicu lahirnya Unit Demografi di NYPD, juga pengawasan dan infiltrasi terhadap komunitas muslim oleh Biro Penyelidik Federal (FBI), adalah peristiwa 9/11—sebutan umum untuk serangan 11 September. Kelly, yang menjadi komisaris hanya beberapa bulan setelah hari nahas itu, merasa perlu memiliki unit kontraterorisme sendiri. Ia pun meminta bantuan David Cohen untuk memimpin divisi intelijennya.
Cohen tak pernah jadi polisi, tapi ia veteran 35 tahun di badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA). "Pasca-9/11, kami membutuhkan seseorang yang tahu bagaimana benar-benar mengumpulkan data intelijen," ujar John Cutter, perwira NYPD di era Cohen, kepada Associated Press. Cohen mulai bertugas pada Januari 2002, hanya beberapa minggu setelah puing-puing menara kembar World Trade Center, yang dihantam bom berupa pesawat komersial dalam peristiwa 9/11, dipadamkan.
Sebagai eks agen, Cohen memimpikan punya sebuah unit yang akan menganalisis intelijen, menjalankan operasi rahasia, dan membangun jaringan informan. Singkatnya, ia ingin New York memiliki CIA-nya sendiri. Ia punya pandangan sama dengan Kelly bahwa 9/11 membuktikan mereka tak bisa hanya mengandalkan FBI. "Jika sesuatu terjadi di New York, itu salahmu," kata salah seorang eks perwira NYPD mengenang ucapan Cohen kepada anggota stafnya.
Untuk mewujudkan rencana itu, Cohen menelepon kolega lamanya di markas CIA di Langley, Virginia. Karena akan membangun unit operasi baru, ia butuh seseorang yang kaya pengalaman dan pengaruh. Namun yang paling penting: orang itu memiliki akses ke data intelijen terbaru sehingga NYPD tak harus bergantung pada FBI untuk berbagi informasi.
Direktur CIA saat itu, George Tenet, memenuhi permintaan Cohen dan menugasi Larry Sanchez. Sanchez kemudian menjadi wakil Cohen dan masih digaji CIA. Ketika berkantor di New York, pada Maret 2002, Sanchez memiliki kantor di NYPD dan CIA di New York. Dual identitas ini sempat dipertanyakan karena CIA dilarang melakukan operasi intelijen di dalam negeri. CIA membela keputusan ini. "Setelah 9/11, CIA meningkatkan kerja sama dengan penegak hukum pada isu-isu kontraterorisme," kata juru bicara CIA, Jennifer Youngblood.
Sebagai eks agen intelijen, tak mudah bagi Cohen untuk mengikuti aturan polisi. Sejak 1985, operasi NYPD dibatasi pengadilan federal dalam pengumpulan intelijen. Ini buntut dari penggunaan informan dan agen yang menyamar untuk menyusup ke kelompok antiperang dan aktivis lain pada 1960-an dan 1970-an. NYPD lantas digugat, yang kemudian berujung pada keluarnya Machdu Guideline. Pedoman ini mewajibkan NYPD memiliki "informasi spesifik" soal adanya kegiatan kriminal sebelum memantau aktivitas politik.
Cohen menganggap panduan itu menghambat kinerjanya. Pada September 2002, ia meminta hakim federal mengubahnya karena regulasi itu membuatnya "hampir mustahil" mendeteksi plot teroris. Hakim distrik Charles S. Haight Jr. memberi lampu hijau untuk melonggarkan ketentuan itu.
Dengan kewenangan baru, Cohen menciptakan skuad rahasia untuk menyusup ke komunitas muslim. Menggunakan data sensus, NYPD mencocokkan petugas yang menyamar dengan komunitas etnisnya dan memerintahkan mereka ke sana untuk berbaur. Detektif kelahiran Pakistan-Amerika diminta menyusup ke komunitas Pakistan, detektif kelahiran Palestina ke lingkungan Palestina, dan seterusnya. Selain membuat katalog kehidupan komunitas muslim, mereka mengidentifikasi adanya "hot spot" gerakan radikal.
Keberadaan Unit Demografi NYPD diungkap pertama kali oleh kantor berita AP pada 2011. Liputan mendalam soal ini membuatnya diganjar Hadiah Pulitzer pada 2012. Menurut AP, mengutip pengacara komunitas muslim, sejak unit itu dibentuk, NYPD telah memata-matai setidaknya 20 masjid, 14 restoran, 11 toko retail, 2 sekolah dasar muslim, dan 2 cabang himpunan mahasiswa muslim di kampus-kampus di New Jersey. New York disebut sebagai satu-satunya yang punya program ini.
Saat unit itu diungkap, NYPD mengatakan yang ada kini Unit Penilaian Zona, bukan Unit Demografi. Juru bicara NYPD saat itu, Paul Browne, membela tindakan lembaganya dan berkata, "NYPD akan melakukan segalanya untuk memastikan tidak ada lagi 9/11 di sini dan tidak ada orang New York tak berdosa yang dibunuh teroris." Peristiwa 9/11 menelan korban jiwa sekitar 3.000 orang.
Setelah AP mengekspos pengintaian NYPD atas komunitas muslim itu, FBI angkat bicara. Michael Ward, pejabat FBI di New Jersey, mengkritik program yang memata-matai warga muslim tak berdosa tanpa surat perintah dan itu berisiko membuat mereka tak mau bekerja sama dengan penegak hukum.
Creating Law Enforcement Accountability & Responsibility (CLEAR) di City University of New York, badan yang memberi bantuan hukum bagi muslim Arab dan komunitas Asia Selatan di New York, mengkritik Ward. "Berdasarkan pengalaman klien kami, FBI memiliki kebijakan yang sangat mirip," ucap Diala Shamas, legal fellow di CLEAR. Menurut Shamas, FBI juga melakukan penjebakan terhadap komunitas muslim melalui jaringan informannya.
Menurut Alex Kane di situs Alternet, Center on National Security at Fordham Law School, hingga Juli 2013, mencatat ada 138 kasus terorisme yang melibatkan informan sejak 2001. Informan ini tak hanya mengamati adanya potensi perilaku kriminal, tapi "malah mendorong dan membantu masyarakat untuk berpartisipasi dalam plot yang sebagian besar skenarionya ditulis FBI sendiri".
Ada sejumlah kasus yang disebut sebagai skenario penjebakan FBI. Salah satunya Newburgh Four. Pada 20 Mei 2009, empat mualaf muslim kulit hitam ditangkap di Newburgh, 60 kilometer sebelah utara dari Manhattan, dengan tuduhan terorisme karena berusaha meledakkan sinagoge di Riverdale, Bronx, New York, dan hendak menembakkan rudal Stinger ke pesawat militer di Newburgh.
Paul Harris dalam The Guardian mengatakan seluruh plot serangan itu karya informan FBI, Shahed Husain. Kepada James Cromitie, David Williams, Onta Williams, dan Laguerre Payen ditawarkan iming-iming uang US$ 250 ribu, mobil mewah, dan liburan sebagai imbalan untuk melaksanakan plot itu.
Trevor Aaronson, penulis buku The Terror Factory: Inside the FBI's Manufactured War on Terrorism, mengatakan kepada Alternet pada Juli 2013 bahwa 10 tahun setelah 9/11 ada sekitar 500 orang yang didakwa dengan kejahatan federal yang melibatkan terorisme internasional. Dari jumlah itu, sekitar 150 orang di antaranya tertangkap dalam sting operation—operasi ciptaan FBI melalui informannya atau agen rahasia yang menyediakan sarana dan kesempatan, bom, ide, dan sebagainya.
Aaronson mengungkapkan hanya lima orang yang didakwa dengan terorisme, yang pelakunya mendapatkan senjata sendiri atau memiliki hubungan dengan teroris internasional. Tiga di antaranya Najibullah Zazi, Faisal Shahzad, dan Jose Padilla. Zazi ditangkap pada September 2009 karena berencana mengebom kereta bawah tanah Kota New York; Shahzad ditangkap karena memasang bom di Times Square pada 1 Mei 2010; dan Padilla ditangkap pada 8 Mei 2002 karena membantu terorisme.
Aaronson menyebut operasi penjebakan itu sebagai dampak jahatnya birokrasi karena setiap tahun Kongres Amerika mengalokasikan anggaran kontraterorisme sebesar US$ 3 miliar—bagian terbesar dari anggaran FBI. Alokasi itu membuat petinggi FBI menekan bawahannya dan pada gilirannya membuat agennya harus memiliki kasus kontraterorisme bersama para informannya.
"Kritik saya ini bukan hanya soal jahatnya birokrasi, melainkan mengapa dengan semua uang ini dan 15 ribu informan yang dimilikinya mereka kehilangan orang-orang yang benar-benar berbahaya?" kata Aaronson. Ia menyebut kasus Shahzad, meski bomnya tak jadi meledak, serta Dzhokhar dan Tamerlan Tsarnaev, pelaku bom Boston 15 April 2013 yang menewaskan tiga orang.
Pengumuman dari Kepolisian New York pada Selasa empat pekan lalu itu tak lantas mengakhiri program intelijennya untuk melindungi kota terpadat di Amerika dengan populasi 8,4 juta jiwa tersebut dari serangan teroris. Menurut Michael Daly, dalam The Daily Beast edisi 16 April lalu, pejabat NYPD mengatakan pengawasan terhadap komunitas muslim akan tetap dilakukan sebagai bagian dari upaya kontraterorisme, termasuk penggunaan agen penyamaran dan informan. "Bahkan departemen melatih lebih banyak agen penyamaran sekarang," tulis Daly.
Tak mengherankan jika pejuang hak sipil muslim masih khawatir meski mengaku gembira terhadap pembubaran Unit Demografi. "Kami perlu mendengar dari Wali Kota dan NYPD bahwa kebijakan itu berakhir dan departemen tidak akan lagi melakukan pengawasan massal atau bentuk lain terhadap komunitas berbasis agama," kata Ryan Mahoney, presiden kelompok hak-hak sipil Council on American-Islamic Relations cabang New York. Kini dua kasus masih bergulir di pengadilan untuk menghentikan aksi pengawasan terhadap komunitas muslim.
Abdul Manan (AP, The New York Times, The Guardian, The Daily Beast)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo